Letung, suatu waktu
dulu..
*Rumah Besar Bercat Putih di Hadapan Teras Belakang Kami
Saya sedang duduk di belakang
rumah. Melihat langit berwarna biru agak abu. Awan dengan garis-garis putih
mempercantik corak langit. Dari sebelah barat langit tampak sedikit memerah,
dipantul cahaya matahari yang akan terbenam, sedikit menyilaukan mata. Saya
sedang menikmati sore-sore menjelang kepulangan kami. Masih dua bulan lagi
memang. Tapi hari terasa lebih dekat, seolah ingin berjejer dengan kami yang
terburu. Thanks for the time.. (Someday I’ll miss this moment so much)
Di depan saya, barisan rumah
tampak acak. Semuanya dicat berbeda. Tepat di depan teras belakang kami yang
juga berhadapan dengan teras belakangnya, rumahnya berwarna putih. Dibuat
dengan gaya rumah besar pada umumnya di desa-desa kami. Atapnya dicat biru.
Jika dilihat malam hari, seolah rumah itu tanpa bubungan, tak ada atap. Saya
sering membayangkannya menyatu dengan langit. Dinding belakangnya dari kayu.
Mungkin awalnya dicat warna merah bata. Warna meluntur karena disapu hujan yang
rintiknya kadang sampai sepinggang rumah. Ada dua jendela berkaca agak biru
yang saya kira itu adalah jendela di dapur atau ruang makan. Kosennya dari
aluminium. Entah mengapa, orang-orang disini lebih senang dengan kosen seperti
itu. mungkin menghemat dari kewajiban menggonta-ganti kayu kosen karena dimakan rayap. Bagian atasnya ada
sepasang jendela lagi. Saya tidak mengerti kenapa pemilik rumah membuat jendela
tertindih seperti itu.
Rumah itu berlantai dua. Bersisian
dengan rumah kuning yang juga berlantai dua di sisinya. Di lantai atas, seperti
yang sudah saya katakan, ada teras belakangnya. Setiap magrib, ada satu hal
yang sering kami perhatikan. Ia, lelaki yang tinggal di kamar lantai atas itu
selalu melakukan hal yang sama ketika magrib. Usai wudhu, ia masuk ke kamarnya
yang bersebelahan dengan teras rumah itu. Dari teras belakang rumah, kami
kadang melihatnya tanpa baju, bayang-bayang tubuhnya yang tegap terlihat dari
jendela kamarnya yang masih setengah terbuka. Lalu setelah menggelar sesuatu di
lantai, ia akan menuju ke arah jendela dan menutupnya tanpa melihat ke arah
kami. Dari gorden kamarnya, bayangannya tampak sedang mengambil baju shalatyang
tersangkut di gantungan paku dinding kamarnya sebelah barat., lalu menunaikan
magribnya dengan khusyuk sekali.
Setiap menjelang magrib atau
setelah wudhu dari kamar mandi dan akan menutup pintu belakang, mata salah
seorang dari kami tetap akan singgah ke jendela kamarnya. Sekedar untuk melihat
apakah ia magrib ini tetap di sana. Setiap magrib, ia selalu demikian. Namun
hingga beberapa bulan setelahnya kami berada di sini, tak satupun dari kami
mengenalnya. Ia, tanpa kami kenali telah meninggalkan kenang-kenangan tentang
seorang lelaki di lantai dua rumah bercat putih.