Minggu, 14 September 2014

Catatan (II)


Letung, suatu waktu dulu..
*Malam Lebaran Jauh dari Aceh

Di luar rumah, suara anak-anak terdengar riuh ditingkahi bunyi kembang api yang meletup ke udara. Cahayanya berserak, mengambang acak di awang langit. Saya di teras belakang rumah, menyaksikan satu persatu dari berbagai penjuru, kembang-kembang yang mengapi di udara itu menyerbu langit, membuat gelap berwarna dan semarak.
Jauh di hati saya. Rindu pada rumah, ibu dan sanak menjadi kembang api yang meletup dan luruh dari mata.

Saya rindu. Rindu sekali


*Selamat Lebaran!
Suara takbir mendayu bersama susulan takbir jamaah yang menggema ke seantero mesjid kampung kami. Hari ini raya. Orang-orang dengan wajah berseri keluar dari rumah mereka. Mereka keluarkan baju-baju terbaik milik mereka, beriringan di jalan bersama, berwarna-warni menyemarakkan hari raya. Songket-songket yang lama tak dikeluarkan dari lemari selain pada hari tertentu semisal pernikahan anak atau saudara, sekarang melingkar apik di pinggang datuk-datuk seusia ayah. Anak-anak bersorak gembira menyambut raya. Seolah menabuh genderang ria hingga bunyinya sampai ke surga.

Mesjid kampung kami disesaki oleh jamaah dari berbagai usia. Dari anak-anak sampai atuk-atuk yang sudah tua. Semua ingin melaksanakan ibadah hari raya yang hanya setahun dua kali. 

Catatan


Letung, suatu waktu dulu..
*Rumah Besar Bercat Putih di Hadapan Teras Belakang Kami


Saya sedang duduk di belakang rumah. Melihat langit berwarna biru agak abu. Awan dengan garis-garis putih mempercantik corak langit. Dari sebelah barat langit tampak sedikit memerah, dipantul cahaya matahari yang akan terbenam, sedikit menyilaukan mata. Saya sedang menikmati sore-sore menjelang kepulangan kami. Masih dua bulan lagi memang. Tapi hari terasa lebih dekat, seolah ingin berjejer dengan kami yang terburu. Thanks for the time.. (Someday I’ll miss this moment so much)

Di depan saya, barisan rumah tampak acak. Semuanya dicat berbeda. Tepat di depan teras belakang kami yang juga berhadapan dengan teras belakangnya, rumahnya berwarna putih. Dibuat dengan gaya rumah besar pada umumnya di desa-desa kami. Atapnya dicat biru. Jika dilihat malam hari, seolah rumah itu tanpa bubungan, tak ada atap. Saya sering membayangkannya menyatu dengan langit. Dinding belakangnya dari kayu. Mungkin awalnya dicat warna merah bata. Warna meluntur karena disapu hujan yang rintiknya kadang sampai sepinggang rumah. Ada dua jendela berkaca agak biru yang saya kira itu adalah jendela di dapur atau ruang makan. Kosennya dari aluminium. Entah mengapa, orang-orang disini lebih senang dengan kosen seperti itu. mungkin menghemat dari kewajiban menggonta-ganti kayu kosen  karena dimakan rayap. Bagian atasnya ada sepasang jendela lagi. Saya tidak mengerti kenapa pemilik rumah membuat jendela tertindih seperti itu.

Rumah itu berlantai dua. Bersisian dengan rumah kuning yang juga berlantai dua di sisinya. Di lantai atas, seperti yang sudah saya katakan, ada teras belakangnya. Setiap magrib, ada satu hal yang sering kami perhatikan. Ia, lelaki yang tinggal di kamar lantai atas itu selalu melakukan hal yang sama ketika magrib. Usai wudhu, ia masuk ke kamarnya yang bersebelahan dengan teras rumah itu. Dari teras belakang rumah, kami kadang melihatnya tanpa baju, bayang-bayang tubuhnya yang tegap terlihat dari jendela kamarnya yang masih setengah terbuka. Lalu setelah menggelar sesuatu di lantai, ia akan menuju ke arah jendela dan menutupnya tanpa melihat ke arah kami. Dari gorden kamarnya, bayangannya tampak sedang mengambil baju shalatyang tersangkut di gantungan paku dinding kamarnya sebelah barat., lalu menunaikan magribnya dengan khusyuk sekali.

Setiap menjelang magrib atau setelah wudhu dari kamar mandi dan akan menutup pintu belakang, mata salah seorang dari kami tetap akan singgah ke jendela kamarnya. Sekedar untuk melihat apakah ia magrib ini tetap di sana. Setiap magrib, ia selalu demikian. Namun hingga beberapa bulan setelahnya kami berada di sini, tak satupun dari kami mengenalnya. Ia, tanpa kami kenali telah meninggalkan kenang-kenangan tentang seorang lelaki di lantai dua rumah bercat putih.




Quote

Quote

Total Pageviews