Sabtu, 02 Juli 2022

Merayakan Perpisahan

Di sebuah meja kedai kopi bernamakan ibukota suatu negara, ia letakkan dua gelas kopi aren berhadapan. Ia ingat bagaimana kopi ini kemudian mengikat ia dan seorang teman untuk terus kembali ke kedai kopi itu. Tak ada kedai lain yang rasanya seenak ini, ungkap temannya kala itu. Hari ini ia putuskan duduk dengan dua gelas kopi, merayakan perpisahan. 

Ia ingat bagaimana sebuah perjumpaan yang mengawal persahabatan mereka. Siang begitu terik dan hanya AC dalam ruangan bank yang mampu meredamnya saat itu. Ia duduk di sana membereskan berkas untuk pekerjaan barunya di kota itu. Temannya yang belum menjadi temannya pada waktu itu melintas di depannya. Dia coba menyapa, menyebutkan nama penanya, lantas mereka bertukar nomor telepon untuk janji temu berikutnya.

Mereka janji bertemu dan teman barunya ini memberikan beberapa buku untuknya. Kau boleh meminjam yang lain kalau mau, aku punya beberapa lain yang menarik, kata temannya itu. Di kantin kantor teman barunya itu, mereka duduk diskusi dan begitulah semesta bekerja, selalu ada tarikan jika ada ada satu kecocokan. Mereka pun dekat. 

Perjalanan mereka berikutnya membawa mereka ke sebuah kota di mana seorang penulis ternama di kota mereka akan berbincang dalam diskusi. Mereka sepakat pergi bersama. Selalu ada yang pertama untuk kemudian ada kedua, ketiga, dan berikutnya. Ke barat, ke timur, ke pantai, ke pasar, ke semua kedai kopi, mereka senantiasa bersama.

Pertemanan baru bermunculan, perkenalan keluarga, antarteman, antarsaudara, semuanya itu berlangsung begitu cepat. Tahun terlewat dengan sangat menyenangkan. Aku bisa gila kalau kita tak pernah bertemu, kepalaku bisa meledak, kata temannya di tahun kedua pertemuan. Sedikit orang yang bisa memahami apa isi otakku, tambahnya kemudian. Ya, ia pun merasakan hal yang sama. Kita akan sulit untuk bebas bercerita pada orang yang tak mengerti kita, yang menghakimi apa isi kepala kita, yang selalu merasa diri mereka benar. Jadi, pertemuan mereka benar sebuah hadiah semesta. 

Masa berganti, hingga sampailah saat hidup mendepak ia pada titik terbawah, di sana ia terkurung dalam gelap, semak belukar pikirannya menjulur sampai menutup kepalanya sendiri. Ia tak sadar lagi akan waktu. Ia kehilangan dirinya. Ia juga kehilangan kepercayaan pada semua orang, termasuk temannya. Sebuah status menyeret mereka berdua pada pertengkaran besar, panjang, dan tak terselesaikan. 

Ia berusaha menjelaskan kesalahpahaman mereka lewat berbagai cara. Tak ada jalan. Semua pintu tertutup, terkunci, dan tak terbuka lagi. Ia masuki semua lorong sembunyi. Tapi yang ada hanya sunyi. Semua maaf pulang kembali padanya tanpa balasan.

Ia ingat kalimat terakhir itu, kau bukan penting sekali pun. 

Ia tandaskan dua gelas kopi aren di hadapannya. Temannya tak akan pernah datang untuk merayakan perpisahan. Ia terima dirinya sendiri karena tak semua orang bisa menerimanya. Ia katakan pada dirinya sendiri, tak ada yang kekal selain Tuhan dalam hidup ini.

Ia peluk tubuhnya, jiwanya, lebihnya, kurangnya.

Selamat berpisah. Ia lepas apa yang ingin terlepas. 

Quote

Quote

Total Pageviews