
Jika ibu tak ada dimana-mana, ia selalu kudapati berada di ruang belakang sedang melukis. Waktu ibu melukis tidaklah tentu. Entah itu pagi buta, tengah hari, sore, atau menjelang tidur. Ruangan belakang itu tak pernah tertutup. Ia memberiku izin untuk keluar masuk di sana, jika ia sedang berada di dalam. Ruangan itu dikunci dan kuncinya dipegang ibu. Dulu ayah membbuat ruangan itu sebagai gudang tempat penyimpanan barang-barang yang tak terpakai. Di sana ada tempat tidurku ketika bayi, sepeda miniku dengan rumbai-rumbai di setang yang sudah copot sebelah, koper-koper yang tak digunakan, kardus, kotak-kotak, dan masih banyak lagi. Tapi semenjak ayah tak ada, ibu menyulap ruangan belakang itu menjadi ruangannya melukis.Barang-barang yang tak terpakai itu, ibu sumbangkan pada saudara ataupun orang lain yang membutuhkan.
Ruangan yang semula kukira sempit, ternyata sangat luas ketika kosong. Ibu mengecat sisi temboknya dengan warna kuning dan meminta tukang untuk memasang jendela besar di arah belakang yang menghadap taman. Ia memasang tirai krem dengan bunga-bunga matahari kecil di sana. Hanya tersisa tempat tidur bayiku di pojok ruangan. Itu pun sudah di cat ulang oleh ibu.
“Kenapa ibu hanya menyimpan ini?”
“Hadiah dari seseorang dan banyak sekali kenangan dengan tempat tidur ini, Sayang!”
Aku diam. Ibu pun diam. Tangannya kembali meraih kuas dan menarik garis-garis di kanvas.
***
Ibu akhir-akhir ini sering sekali melukis sesosok laki-laki. Lukisan itu berbeda, tapi aku tahu bahwa di sana ada lelaki yang sama di setiap lukisannya. Lelaki itu beberapa centi lebih tinggi dibanding ayah, alisnya tebal, matanya tajam dan masuk ke dalam, hidungnya mancung, ada rambut-rambut tipis di sekitar pipinya menurun hingga ke dagu. Lukisan ibu kadang berupa sketsa kabur, sebagian paras wajahnya dari jarak dekat, entah itu dari samping atau depan, sebagian yang lain dilukis ibu dengan jarak yang jauh. Hitam putih kah atau berwarna, tapi tak pernah benar-benar jelas kelihatannya.
“Itu siapa di lukisan ibu?”
“Ibu tak tahu. Ini hanya lukisan”
“Apakah itu ayah?”
“Ibu tak tahu, Sayang. Tapi sepertinya itu bukan ayah.”
“Lalu siapa?”
“Entahlah.”
Ibu menghela nafas panjang. Aku tahu, ia ingin aku berhenti bertanya.
***
Sayangnya, bakat melukis ibu tak pernah turun padaku. Kata ibu aku lebih mirip ayah ketimbang ia sendiri. Konon, jika seseorang hilang atau meninggal, maka akan ada seseorang dalam keluarganya yang sengaja dimiripkan Tuhan agar yang kehilangan dapat mengingat dia yang hilang. Begitu pun ayah, ia mewariskan segalanya padaku. Luar dan dalam.
Aku kehilangan ayah ketika umurku menginjak lima tahun. Dalam ingatanku, ayah dan ibu pernah bertengkar hebat di malam yang berhujan deras. Sedangkan aku terdesak ke sudut ruang tengah dan menangis diam-diam. Aku tidak tahu awal punca pertengkaran itu, hingga aku besar barulahibu kembali mengulang cerita itu. Ayah adalah seorang dosen di salah satu universitas negeri di kota kami dan ibu adalah pegawai bank yang baru tiga tahun mulai bekerja ketika menikah dengan Ayah. Usia ayah dan ibu terpaut agak jauh, tiga belas tahun. Mereka telah lebih dulu saling mengenal di kampus ketika ibu masih menjadi mahasiswa ayah hingga akhirnya memutuskan menikah. Ibu tidak pernah bercerita alasannya memilih ayah yang lebih tua, karena hakikatnya ia bisa saja mendapatkan orang lain yang lebih muda dan tampan dari ayah. Lalu kehadiranku pada tahun pertama pernikahan mereka, benar-benar menghibur ayah dan ibu yang di antara mereka jarang berbicara. Aku lalu menjadi topik yang dibicarakan setiap hari di meja makan. Ketika aku semakin besar, hubungan mereka semakin rapat seolah-olah merekaingin menjadi orangtua yang ideal bagi buah hati mereka. Setiap minggu, kami berakhir pekan bersama atau makan malam bertiga di luar rumah. Ibu tahu, ayah sangat mencintainya. Tapi aku tak pernah mendengar sekalipun dari mulut ibu kalau dia pun mencintai ayah.
Pertengkaran itu bermula ketika ayah baru dua minggu pulang dari Inggris seusai menyelesaikan kuliah doktornya di bidang ekonomi. Ibu mencium gelagat aneh dari sikap ayah yang baru pulang. Ayah semakin rapi, bersih, jarang menyapa ibu, rajin bermain ponsel pintar, mengecek email setiap pagi hingga kadang-kadang ia lupa memandikan aku yang masih ingin manja dengannya dan berharap diantarkan ke sekolah. Ibu tahu, ada seseorang yang ayah tinggalkan di Inggris. Tapi Ibu tak peduli dan sedikitpun tak cemburu. Ibu marah karena ayah tidak menjemputku di sekolah hingga pukul empat sore karena dia asyik di depan komputer.
“Barangkali ayah memang berniat meninggalkan ibu. Tapi ia tidak tahu caranya.”
“Bukankah Ayah sangat mencintai ibu?”
Ibu menggeleng.
“Itu dulu. Kau tahu? Ia bahkan sudah dendam pada ibu sejak sehari sebelum kau lahir. Ketika seseorang mengirimkan tempat tidur bayi untukmu.”
“Siapa yang menghadiahkan tempat tidur itu?”
Ibu tersenyum. Lalu menarik selimutku hingga ke dada.
“Selamat malam, anak ibu.”
***
Semakin dewasa, aku menjadi penasaran dengan cerita ibu yang terputus. Seperti ada luka yang akan kembali menyakitinya apabila ia mengulang kisahnya. Lalu kutanyakan perihal itu pada Acik Zana, adik semata wayang ibu.
Dulu seorang lelaki memang pernah hadir dalam kehidupan ibu. Mereka dekat bahkan semenjak ibu masih lagi duduk di bangku sekolahan. Menurut teman-temannya, mereka merupakan pasangan yang sangat serasi. Ibu berpipi gempal yang cantik menggemaskan, bermata bundar, bulu mata lentik, sangat cocok sekali dengan lelaki itu yang tak kalah rupawan dari turunan bangsawan pula. Ibu senang melukis, ia suka menulis. Beberapa temannya malah menyarankan mereka menikah saja usai sekolah.
Hubungan mereka rekat sampai penghujung tahun akhir perkuliahan. Lelaki itu lalu mengajak ibu ke rumahnya untuk dikenalkan kepada orangtuanya. Disanalah bermula keretakan itu. Ibu meskipun jelita dan baik budi bahasa, tapi ibu bukan keturunan bangsawan, tidak ada pertalian darah dengan kerajaan. Tak ada gelar bangsawan di depan nama ibu. Maka sejak itu, ibu lelaki itu mulai memberi rambu-rambu peringatan kepada putranya untuk menjauhi ibu. Ibu yang tahu diri dan paham dengan kondisinya, meskipun dengan berat hati, memilih mundur dan menjauh dari lelaki itu. Ibu tahu, hubungan semacam ini tidak akanada penghujungnya. Mereka lalu memilihberpisah.Setelah tiga tahun kemudian, ibu menikah dengan salah satu dosen di kampusnya. Ayah. Ayah sama sekali tak tahu-menahu tentang hubungan ibu dan laki-laki itu.
“Apakah lelaki itu kemudian menikah dengan orang lain, Acik?”
Perempuan itu menggeleng.
“Ia mencintai ibumu, juga kamu.”
“Karena itu ibu tak pernah mencintai ayah?”
“Acik tak tahu. Ibumu, lelaki itu, cinta mereka. Rasanya pelik sekali. Ayahmu adalah orang di antara dan tak tahu apa-apa.”
Sejak itu, aku tak pernah lagi bertanya pada ibu tentang perihal itu. Bagaimanapun aku berpihak pada ibu. Ibu dan cintanya yang tak sampai. Ibu dan lukisan-lukisannya. Ibu dan rindu-rindu yang dipendam.
***
Suatu pagi sepulang dari rumah Acik Zana, kulihat ibu dengan pakaian hitam berkabung sedang terburu-burumenghidupkan mobil. Matanya sembab, menyisakan warna merah yang tak hilang dari bola matanya. Ia habis menangis semalaman. Ketika kutanya mengapa, dia bilang ada saudara jauhnya yang meninggal. Ia akan pergi melayat.
Malam-malam selanjutnya ketika aku ke ruang melukisnya, ibu selalu terduduk di depan kanvas kosong. Kuas menggantung di tangannya.Pada matanya yang berjelaga, kulihatibu kehilangan ia yang selama ini berada dalam kanvasnya.
Punteuet, 30 November 2014
* May Yusra Soelaiman, alumnus Unsyiah dan seorang penikmat sastra.
dimuat di Serambi Indonesia 4 Januari 2015