Jumat, 26 Agustus 2022

Suara dalam Kepalamu


Di tengah hiruk pikuk sibuknya pekerjaan dan tulisan yang belum kau selesaikan, kau termenung dan kemudian sadar kau sedang merindukan ia dengan tiba-tiba. Kau tak menyiapkan apapun untuk rindu. Ia datang tanpa persiapan, dan yang kau tahu betapa kau ingin sesuatu tentangnya. 

Kau lalu mencari suaranya di rekaman terakhir kali. Kau putar berkali-kali sampai telingamu hapal setiap katanya, setiap tarik nadanya. Kau putar terus menerus seperti suatu malam kau minta ia tak berhenti menyanyikan lagu apa saja untuk temani tidurmu, atau ketika ia bosan dan dengan sopan minta keizinanmu agar ia boleh menyanyi. 

Suatu hari dulu, ketika perasaan begitu hangat dan kalian tidak tahu apakah itu cinta atau bukan, ia memetik gitar dan menyanyikanmu 'Entah' milik Iwan Fals, penyanyi favoritnya. Ia memandangmu dalam-dalam dan Kau sadar, ia sedang menyampaikan perasaannya yang ragu-ragu terhadapmu. Kau ingat malam-malam di mana kalian saling bersambung menyanyikan 'sepuluh malaikat' atau mengulang Al Waqiah bersama sembari mengingat momen awal ia mengimami salat di ruang komunitas. Dan semua temanmu tahu, kau menginginkan jutaan lagi rakaat berdua dengannya sepanjang hidup. 

Kau begitu merindukannya. 

Kau ingat saat ia memintamu menyanyi dan seperti selalunya ia, mendengarkanmu meski suaramu bukanlah sebagus miliknya. Kau ingat saat mantan kekasihnya satu per satu menikah, kau menyanyikannya lagu perpisahan seraya menggodanya. Ia tertawa, dan kau bahagia sebab berhasil mendengar tawanya. 

Hidup begitu riang saat itu. 

Setiap kau membicarakan rumah tinggal, perpindahan tempat, ia akan mengulang-ulang 'lebih baik di sini, rumah kita sendiri', atau kau ingat saat ia menggodamu dan suara nyanyinya bercampur sedikit tawa, kau mendengar ia menyanyi dalam kepalamu, 

Kuyakin diriku memang tampan
menebarkan pesona aroma jantan
yang membuatku paham
Kau ingin menggoda aku 

Kau merindukan tawanya kemudian setengah mati. Rindumu mengembang berikut dengan ingatanmu yang ikut serta, pelan naik serupa balon udara. Kau khawatir semuanya pecah jadi air mata.

Kau suka mendengar suaranya, yang katamu berat dan jatuhnya ke dasar hatimu. Kau suka mendengar seraknya di pagi hari ketika kau bangunkan. Kau suka mendengar petik gitar yang baur dengan nyanyinya. Kau suka ia bicara panjang entah topik apa. Kau suka mendengar protes marahnya tentang kolega yang ditemui atau perkara pekerjaan lainnya. Kau suka mendengarnya mengeluh padamu tentang hari panjangnya, atau malah riang bercerita tentang impian. Kau suka menghabiskan waktu dengannya. 

Kau senantiasa mendengar.

Suaranya tinggal, jauh di hatimu.

Kau sadar, sepenuhnya sadar bahwa di sana di hatimu ia selalu punya rumah untuk pulang. Ia, dalam ketiadaannya tetap ada, ia dalam diamnya senantiasa bersuara. 

*)

Sabtu, 02 Juli 2022

Merayakan Perpisahan

Di sebuah meja kedai kopi bernamakan ibukota suatu negara, ia letakkan dua gelas kopi aren berhadapan. Ia ingat bagaimana kopi ini kemudian mengikat ia dan seorang teman untuk terus kembali ke kedai kopi itu. Tak ada kedai lain yang rasanya seenak ini, ungkap temannya kala itu. Hari ini ia putuskan duduk dengan dua gelas kopi, merayakan perpisahan. 

Ia ingat bagaimana sebuah perjumpaan yang mengawal persahabatan mereka. Siang begitu terik dan hanya AC dalam ruangan bank yang mampu meredamnya saat itu. Ia duduk di sana membereskan berkas untuk pekerjaan barunya di kota itu. Temannya yang belum menjadi temannya pada waktu itu melintas di depannya. Dia coba menyapa, menyebutkan nama penanya, lantas mereka bertukar nomor telepon untuk janji temu berikutnya.

Mereka janji bertemu dan teman barunya ini memberikan beberapa buku untuknya. Kau boleh meminjam yang lain kalau mau, aku punya beberapa lain yang menarik, kata temannya itu. Di kantin kantor teman barunya itu, mereka duduk diskusi dan begitulah semesta bekerja, selalu ada tarikan jika ada ada satu kecocokan. Mereka pun dekat. 

Perjalanan mereka berikutnya membawa mereka ke sebuah kota di mana seorang penulis ternama di kota mereka akan berbincang dalam diskusi. Mereka sepakat pergi bersama. Selalu ada yang pertama untuk kemudian ada kedua, ketiga, dan berikutnya. Ke barat, ke timur, ke pantai, ke pasar, ke semua kedai kopi, mereka senantiasa bersama.

Pertemanan baru bermunculan, perkenalan keluarga, antarteman, antarsaudara, semuanya itu berlangsung begitu cepat. Tahun terlewat dengan sangat menyenangkan. Aku bisa gila kalau kita tak pernah bertemu, kepalaku bisa meledak, kata temannya di tahun kedua pertemuan. Sedikit orang yang bisa memahami apa isi otakku, tambahnya kemudian. Ya, ia pun merasakan hal yang sama. Kita akan sulit untuk bebas bercerita pada orang yang tak mengerti kita, yang menghakimi apa isi kepala kita, yang selalu merasa diri mereka benar. Jadi, pertemuan mereka benar sebuah hadiah semesta. 

Masa berganti, hingga sampailah saat hidup mendepak ia pada titik terbawah, di sana ia terkurung dalam gelap, semak belukar pikirannya menjulur sampai menutup kepalanya sendiri. Ia tak sadar lagi akan waktu. Ia kehilangan dirinya. Ia juga kehilangan kepercayaan pada semua orang, termasuk temannya. Sebuah status menyeret mereka berdua pada pertengkaran besar, panjang, dan tak terselesaikan. 

Ia berusaha menjelaskan kesalahpahaman mereka lewat berbagai cara. Tak ada jalan. Semua pintu tertutup, terkunci, dan tak terbuka lagi. Ia masuki semua lorong sembunyi. Tapi yang ada hanya sunyi. Semua maaf pulang kembali padanya tanpa balasan.

Ia ingat kalimat terakhir itu, kau bukan penting sekali pun. 

Ia tandaskan dua gelas kopi aren di hadapannya. Temannya tak akan pernah datang untuk merayakan perpisahan. Ia terima dirinya sendiri karena tak semua orang bisa menerimanya. Ia katakan pada dirinya sendiri, tak ada yang kekal selain Tuhan dalam hidup ini.

Ia peluk tubuhnya, jiwanya, lebihnya, kurangnya.

Selamat berpisah. Ia lepas apa yang ingin terlepas. 

Sabtu, 25 Juni 2022

PULANG

galeri pribadi


Ia baru tiba dari sebuah perjalanan panjang. 


Kini ia telah berdiri di muka rumah itu, rumah kenangan, masa lalunya yang indah dan jauh. Semuanya masih sama seperti saat ia tinggali dulu. Rumah itu masih kokoh, hanya sedikit pudar warna cat dindingnya setelah terakhir ia lihat lima tahun lalu. Sebatang kamboja kuning di dekat pagar telah bercabang banyak, bunganya gugur ke tanah. Dulu, ia memungut bebungaan itu bersama teman-temannya. Mereka akan bermain pengantin-pengantinan seraya meronce bebunga itu dan mengalungkannya sebagai hiasan. Ia ingat, ia selalu menjadi pengantin. Mengenang itu ia tersenyum. Apa kabar teman-temannya itu. Tentu sudah semuanya menjadi pengantin atau malah beranak pinak ramai. 


Pintu pagar itu berderit ketika dibuka. Sejak bapaknya meninggal, tak ada lagi yang meminyaki engsel pagar itu. Ia berjanji akan memperbaikinya besok. Di halaman, rumput liar tumbuh sudah tinggi. Ini juga menjadi tugasnya besok. Rumput-rumput ini tidak mungkin dibiarkan lagi. Sudah terlalu lama memerdekakan mereka selama ini. Di kiri kanannya, tanaman lidah mertua yang ditanam ibu memanjang dari pintu masuk sampai ke teras tampak tak terurus. Berapa lama sudah tanaman ini hanya pasrah menerima kebaikan hujan.


Sekali lagi, ia pandang rumah itu, tanaman ibu yang menyemak, kolam ikan bapak yang sudah kering, sampah daun. Mereka semua tampak begitu menyedihkan. Ia berjalan ke teras. Sepasang kursi kayu sudah menunggu, satu menampung lelah tubuhnya, satu lagi menjadi tumpuan ranselnya yang sejak beberapa hari lalu menggayut di bahunya. Pada sepasang kursi itulah, dulu ia dan bapaknya duduk. Mereka membaca berdua seraya menikmati sore dari beranda. Tempatnya kemudian digantikan ibu setelah lama ia tak pulang-pulang, setelah ia berjalan entah kemana dan mereka hanya menerima kabar tempat baru kedatangannya. Sesekali ia kirimi mereka gambar dengan latar belakang memesona entah di kota apa, selain juga surat-surat yang diharapkan mewakili bau tubuhnya ke pelukan mereka. 


Ia bangkit dan memasukkan kunci ke lubangnya. Bunyi klik dan pintu rumah terbuka, deritnya sama dengan pagar. Semua engsel memang butuh disentuh minyak esok hari, sebutnya dalam hati. Di hadapannya, bapak tersenyum menatapnya di balik bingkai foto. Masih berdiri tegak, ia pandang wajah lelaki itu lama sekali. "Pak, aku pulang." bisiknya kemudian. Ada jutaan rasa bersalah yang menyerangnya dari berbagai sisi kini. Juga ia ditindih perasaan menyesal silih berganti. Ia alih matanya pada gambar perempuan di samping Bapak, "Bu, maafkan aku." Kali ini semuanya pecah. Tangis bercampur isak begitu nyaring dalam rumah itu. Ia meratapi orang-orang yang dicintainya. Ia menyesali waktu yang tak bisa ia putar kembali. 



Jauh sudah ia berjalan. Pulang adalah tujuan akhirnya kali ini. 

Quote

Quote

Total Pageviews