Ia baru tiba dari sebuah perjalanan panjang.
Kini ia telah berdiri di muka rumah itu, rumah kenangan, masa lalunya yang indah dan jauh. Semuanya masih sama seperti saat ia tinggali dulu. Rumah itu masih kokoh, hanya sedikit pudar warna cat dindingnya setelah terakhir ia lihat lima tahun lalu. Sebatang kamboja kuning di dekat pagar telah bercabang banyak, bunganya gugur ke tanah. Dulu, ia memungut bebungaan itu bersama teman-temannya. Mereka akan bermain pengantin-pengantinan seraya meronce bebunga itu dan mengalungkannya sebagai hiasan. Ia ingat, ia selalu menjadi pengantin. Mengenang itu ia tersenyum. Apa kabar teman-temannya itu. Tentu sudah semuanya menjadi pengantin atau malah beranak pinak ramai.
Pintu pagar itu berderit ketika dibuka. Sejak bapaknya meninggal, tak ada lagi yang meminyaki engsel pagar itu. Ia berjanji akan memperbaikinya besok. Di halaman, rumput liar tumbuh sudah tinggi. Ini juga menjadi tugasnya besok. Rumput-rumput ini tidak mungkin dibiarkan lagi. Sudah terlalu lama memerdekakan mereka selama ini. Di kiri kanannya, tanaman lidah mertua yang ditanam ibu memanjang dari pintu masuk sampai ke teras tampak tak terurus. Berapa lama sudah tanaman ini hanya pasrah menerima kebaikan hujan.
Sekali lagi, ia pandang rumah itu, tanaman ibu yang menyemak, kolam ikan bapak yang sudah kering, sampah daun. Mereka semua tampak begitu menyedihkan. Ia berjalan ke teras. Sepasang kursi kayu sudah menunggu, satu menampung lelah tubuhnya, satu lagi menjadi tumpuan ranselnya yang sejak beberapa hari lalu menggayut di bahunya. Pada sepasang kursi itulah, dulu ia dan bapaknya duduk. Mereka membaca berdua seraya menikmati sore dari beranda. Tempatnya kemudian digantikan ibu setelah lama ia tak pulang-pulang, setelah ia berjalan entah kemana dan mereka hanya menerima kabar tempat baru kedatangannya. Sesekali ia kirimi mereka gambar dengan latar belakang memesona entah di kota apa, selain juga surat-surat yang diharapkan mewakili bau tubuhnya ke pelukan mereka.
Ia bangkit dan memasukkan kunci ke lubangnya. Bunyi klik dan pintu rumah terbuka, deritnya sama dengan pagar. Semua engsel memang butuh disentuh minyak esok hari, sebutnya dalam hati. Di hadapannya, bapak tersenyum menatapnya di balik bingkai foto. Masih berdiri tegak, ia pandang wajah lelaki itu lama sekali. "Pak, aku pulang." bisiknya kemudian. Ada jutaan rasa bersalah yang menyerangnya dari berbagai sisi kini. Juga ia ditindih perasaan menyesal silih berganti. Ia alih matanya pada gambar perempuan di samping Bapak, "Bu, maafkan aku." Kali ini semuanya pecah. Tangis bercampur isak begitu nyaring dalam rumah itu. Ia meratapi orang-orang yang dicintainya. Ia menyesali waktu yang tak bisa ia putar kembali.
Jauh sudah ia berjalan. Pulang adalah tujuan akhirnya kali ini.


0 komentar:
Posting Komentar