Jumat, 31 Agustus 2012

KEPADA MUTIA

 
Mutia, mengapa kita mencintai bintang sama yang bersandar di dada langit? Bukankah banyak bintang yang lain dan bisa kita pilih sesuka hati untuk kita kagumi? Lalu mengapa Tuhan menggaris segitiga diantara kita? Menghubungkan kita dalam duka yang teramat pedih? Adakah semua memiliki jawaban? Aku tak suka bertanya-tanya sendirian, mereka-reka makna kejadian. Aku yakin, kau pun sama.

Mutia, kau harus tau, aku mencintainya seperti kau mencintainya, mengagumi tiap jengkal yang menjadi miliknya, milik kita bersama. Aku mencintai matanya, mengagumi senyumnya, menyukai tawa lepasnya, suaranya, semua hal Mutia. Aku tau, kaupun sama. Yang ku sesali adalah mengapa aku menjadi yang ketiga diantara kalian? Mengapa aku datang terlambat? Mengapa tak sebelum kau? Lalu aku bertanya kembali dengan satu kalimat yang selalu menohokku, seandainya aku hadir sebagai yang pertama, apakah aku sedemikian tabah saat kau datang di posisiku? Apa aku ridha? Bisakah aku rela?

Tuhan memang telah mengatur tentang poligami, tapi aku paham perasaanmu sebagaimana aku paham diriku sendiri. Kita perempuan dan susah untuk berbagi. Berbeda dengan laki-laki yang kukira punya hati yang luas untuk mereka bagi-bagi pada perempuan. Sedang kita hanya punya satu cinta untuk kita simpan di hati. Aku paham betapa sulitnya berbagi. Ataukah menurutmu aku yang harus mundur? Menenggelamkan semua cintaku yang maha pada Fathar? Lalu aku harus membawa hati kemana? Mencari perlindungan siapa saat aku lemah?

Mutia, mengapa segala hal menjadi terlambat? Mengapa aku terlambat mengenal Fathar? Terlambat mengetahui tentang tiga segi liku cinta kita? Mungkin kau akan menyalahkanku, mengatakan ini itu terhadapku, atau menghujat Fathar yang setia. Tapi aku tak ingin mempersalah sesiapa, karena di pengadilan manapun aku selalu menganggap diriku paling bersalah. Andai saja tak ada program TV dokumenter, andai saja aku dan Fathar tidak satu tim, andai saja hari itu tidak hujan hingga membuat kami harus pergi berdua, andai saja aku dan Fathar mampu menjaga diri dan hati, andai saja aku tak mengiyakan ajakan makan siang setelah syuting, andai saja aku tak mengungkapkan segala hal pada Fathar, oh.. ada banyak andai-andai, Mutia dan yang paling ingin kukatakan, andai saja aku tak jatuh cinta pada lelakimu!

Mutia, jika kau ingin aku pergi, aku akan bangkit, menata hati, lalu pergi. Aku sudah terbiasa dengan sepi dan kesendirian. Pada saat bertemu Fathar-lah, aku menemukan sebagian dari diriku yang hilang, aku membuang sepi jauh-jauh, karena aku dapat tertawa lepas dengan Fathar, menertawakan apa saja. Aku bertemu duniaku yang baru. Fathar menjadi pelengkap, ia menjadi jawaban untuk teka-tekiku yang belum dijawab Tuhan. Fatharku dengan segala kelebihan dan kekurangan. Kenapa Mutia, kenapa harus lelaki yang sama, Fathar yang sama? Tolong jawab..! Haruskah aku yang pergi dan mengembalikannya padamu?

Sebenarnya, dari awal aku tak pernah mempermasalahkan masa lalu, begitu pula Fathar. Kami menikmati hari-hari tanpa beban. Mungkin, menurutmu aku juga salah karena tak pernah mempertanyakan statusnya. Begitukah? Tapi kenapa Mutia, yang kulihat di matanya adalah cinta-cinta untukku saja? Tak ada perempuan lain, hanya aku… Zavina-nya saja. Maafkan jika hal itu semakin membuatmu terluka. Aku pun sama, Mutia.

Mutia, bolehkan kutanyakan beberapa hal? Berharap ini dapat menjawab dan menyelesaikan masalahku dan masalah kita. Mutia, apa yang akan kau lakukan jika satu pagi kau menemukan sebuah pesan singkat “Selamat pagi sayang -My Fiancee-“ di telepon genggam suamimu tepat seminggu setelah pernikahan kalian? Apa yang akan kau lakukan ketika tahu suamimu belum memutuskan pertunangan dengan seorang gadis  ketika kalian menikah? Mutia, aku istri Fathar, apa yang harus aku lakukan untukmu, untuk tunangan suamiku yang masih menunggunya?

Zavina-

Punteuet, 16 Agustus 2012

Untuk MH dan IM, aku menyayangi kalian berdua :)

Quote

Quote

Total Pageviews