Minggu, 28 Juni 2015

Surat untuk Nana (I)

Assalamu'alaikum, Nana


source http://sarinahyamin.blogspot.com/

Salam kenal.
Hai Nana, aku May, yang baru tadi subuh mengenalmu lewat beberapa tulisan teman facebook-ku di blog mereka. Mereka semua berbelasungkawa atas kepergianmu. Aku pun demikian. Rasanya menyesal tak mengenalmu sebelum ini. Tapi, jalan takdir memang sudah ada yang atur kan?

Beranjak dari tulisan mereka, aku penasaran ingin mencari kamu. Yang manakah Nana yang sedang mereka bicarakan? yang katanya sudah pergi beberapa hari yang lalu? 

Aku lalu masuk ke blog kamu, apik sekali. Tulisan-tulisan kamu rapi, teratur, hidup, dan enak sekali di baca. Tak banyak memang, katanya Kau sedang belajar menulis kembali demi menerapi dirimu sendiri dari kesakitan. Sakit yang katamu lewat semangkuk kolak berguna-guna dan sebab-sebab yang telah dulu ada. Sudah. Tak perlu kita bahas tentang itu. Meskipun sejujurnya, kau lelah. tapi kau tidak menyerah. Beberapa kali kau terlihat bicara tentang kematian yang begitu dekat, seolah kau tau bahwa kau sedang menghitung hari menuju pulang. 

Ah iya, Aku juga bertemu Wempy, tokoh imajinermu yang kurasa begitu menarik seandainya ia memang nyata. Wempy sang penghibur, pengacau, sekaligus pengoda. Wempy yang manis dan selalu kau minta mainkan atau nyanyikan beberapa lagu kesukaanmu menjelang tidur. Ah, aku membayangkan Wempy yang baik itu menemanimu membaca selama tiga puluh menit sebelum tidur. Berdiri di muka pintu kamarmu sambil memperhatikanmu membaca dengan cahaya lampu baca ke arahmu. Selepas kau pergi, apa kabar Wempy? Kau membawanya serta dalam dirimu?

Dan dia? dia yang berulangkali kau sebut, tapi tak pernah kami tau namanya. Dia yang barangkali (aku menebak) gurumu di masa lalu, tinggal di dekatmu, yang katamu ia memang tak tampan, tapi kau cintai selama empat tahun lebih dengan diam-diam, yang pernah kau coba sampaikan dan kau rasa ia memahami 'pertanyaan'mu, dia yang telah memiliki jawabannya sendiri. Dia yang mengajarkan tentang lautan dan pantai. Apa kabar dia? Akankah ia merasa kehilangan meskipun punya pantai?

Setiap kau menyebutnya, aku selalu mengingat seseorang. Yah, ia yang juga senang menulis, menyemangati menulis, kupanggil 'abang', dan yang cintanya entah berbentuk apa. Kau bilang, ia begini,
Sayapnya telah lama patah, namun dia masih melangkah karena tahu terbang sudah tak mungkin. Langkahnya satu-satu dan tertatih, tapi dia menolak lupakan impiannya.   "Dengan satu atau lain cara, saya akan meraih impian saya. Atau setidaknya saya akan menghadap Tuhan dengan bangga, karena bisa berkata, Saya mencobanya Tuhan. Semampu saya."
Na, sama persis. Apakah kita bercerita tentang orang yang sama? 

Nana..
Your life story as the stories in the novel.

Kehidupan ibukota. seorang teman baik seperti Kayla. Permasalahan keluarga. Abi dan ibu baru. Kepergian Abi. Memaafkan. Meninggalkan. Memulai hijab. Sakit. Pindah ke kampung halaman. Memulai hari baru. Mengurusi bisnis keluarga. Bertemu teman-teman baru. Kembali menulis. Menyepi ke kaki gunung. Bersama Umi dan Wempy. dan cinta. yang entah bagaimana itu menjadi sorotanku paling penting. Bagaimana Kau mencintai dengan benar-benar mencintai. Mengikhlaskan segalanya berpulang pada Tuhan, seolah Kau paham bahwa kehidupan tak memberimu banyak pilihan. Pada akhirnya, kau memang bersiap-siap untuk menuju padaNya.

Peristiwa. Yah, semua peristiwa itu seperti jembatan yang tak putus. Apa karena kau sudah memiliki akhir, maka kukatakan ini seperti novel? Entahlah.

Membaca postingan terakhirmu di sini, benar-benar membuatku tertegun. Seberapa sakit yang kau alami? Imaji-imajimu untuk melepas diri. Sakit yang menghentikanmu menulis. Hingga keputusanmu untuk menelponnya. Terakhir kalikah? Pahamkah kau isyarat-isyarat itu? Aku membayangkan Izrail yang mengendap-ngendap ketika Kau tidur, menemanimu bersama Wempy di malam-malam akhir, mengecup keningmu, lalu memutuskan mengajakmu pergi di malam terakhir. Seberapa sakit, Nana? 

Aku merindukan kematian yang indah. Seperti menjadi bidadari yang diajak makan malam ke surga oleh malaikat. Dijemput dengan kereta indah yang dibawa oleh sepasang unicorn warna-warni, aku memakai gaun indah, warnanya putih dengan hiasan batu-batu kemilau di sepanjang bawahannya. Aku ingin menuju mati seperti aku pulang ke rumah, seperti kunanti-nanti perpisahan ini, seperti di sana Bapakku sedang menunggu dengan bahagia. Tapi bekalku, barangkali tak sebanyak yang kau punya. Itulah kenapa, aku masih diberi waktu untuk mencari dan menambah-nambah.
Entahlah, na

Nana,
Kau membuatku menangis di baris akhir salah satu postinganmu ini
Mungkin aku akan mati dalam sepi. Tapi tidak tanpa meninggalkan jejak. Ini kata-kataku, ini caraku meninggalkan jejakku di dunia ini. 
Untuk siapa? bukan kamu, bukan mereka. Hanya agar dunia tak sepenuhnya lupa. Bahwa Nana pernah hidup di muka bumi ini.
Sekali lagi, (selain dia) kamu menyadarkanku untuk menulis. 
Terima kasih karena diperkenankan mengenalmu. Aku tau, ini terlambat. Tapi kamu sudah meninggalkan sesuatu di sini. Barangkali, suatu waktu aku akan berkabar lagi denganmu (aku menomori surat untukmu di atas). Terima kasih, Na karena telah berbagi. Senang bertemu denganmu.

Entah bagaimana, aku merasa kau sedang berbahagia bertemu Tuhan. 


Dariku, 
Al fatihah untukmu


Sarinah binti Yamin.
(Takengon: Kamis, 25 Juni 2015 pukul 16.00 wib)




source facebook nana (aku merasa ingin meletakkan ini, na!)






Jumat, 26 Juni 2015

Singgah


Sebatang pohon di tepi rumahmu
Menjadi makin rindang
sebab hujan Jumat lalu masih turun ke Jumat ini.
Bersambung bagai tali-tali hujan itu sendiri
“doamu adalah hujan. Tuhan mendengar.
Aku akan sejuk dengannya.”
Maka, aku singgah bertamu.


Sepanjang menujumu,
Aku mendengar Luqman berwasiat pada putranya;
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya”


Di mataku, berkaca wajah engkau.

Juni, 2015
Sumber : http://aceh.tribunnews.com/2015/06/21/kenapa-aku-tak-pulang?page=2

Sumber gambar: http://cdn-media.viva.id/thumbs2/2013/05/28/207146_rumah-pohon-di-florida_663_382.jpg

Suatu Hari Ketika Kita Bercerita

Kau bilang, kita terlalu asik dengan kejayaan
Seraya kita sibak sutera-sutera hitam
sulaman emas punya moyang kita di kerajaan
Kita buka halaman-halaman hadiah masa lalu dengan pongah
Ketika bendera kita di pucuk tiang,
Bergerak mengikut angin
Hingga barat timur selatan utara
Membalik badan menatap kita


Kau bilang, sekarang kita sedang menutup mata
Dari kecacatan tubuh sendiri
Kita sakit. Lingkungan kita kotor.
Pikiran kita mampat
Kita adalah got-got hitam dipenuhi sampah.
Lalat-lalat gemuk mengerumuni makanan busuk.
Tapi kita kenapa menjadi nyaman?


Kau bilang, (dengan nada pilumu)
Kau ingin pergi. Ke barat timur selatan utara.
“Aku menjadi pesakit di tanahku sendiri”
Tapi, bukankah kau yang memahami kesakitan itu
adalah obatnya sekaligus?


Juni, 2015
Sumber : http://aceh.tribunnews.com/2015/06/21/kenapa-aku-tak-pulang?page=2

sumber gambar: https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/736x/e3/dc/ef/e3dcef85b02b8e7c710646355667a051.jpg

Kenapa Aku Tak Pulang?

http://i916.photobucket.com/albums/ad3/ariannaveira/Hanya%20Perempuan/savespace_zpsaff465fc.jpg

Sepasang mata berlembing di sisimu
Selalu menahanku menuju pulang
Arahku semakin jauh
Tapi kenapa kau tak turut berlari?
Kau berdiri, tangismu tumpah
Ke bumi
Mengalir ke arahku
Kenapa kau tidak berlari kepadaku?

Sepasang mata berlembing di sisimu
Menjarakkan kita sampai berkilometer
Kenapa hatiku tidak pulang

Kau mendaras tentang kasih sayang
Kerinduan yang meruncing
Jadi pisau-pisau dan aku luka
Suaramu mantra penunduk
Tapi,
Bagaimana kutuju huma
Sedang aku, kakiku sandung pada lembing di mata.

Juni, 2015
sumber : http://aceh.tribunnews.com/2015/06/21/kenapa-aku-tak-pulang

Tukang Pos di Kampung Kami

MUNGKIN suatu waktu, entah kapan, kau akan mendengar tentang kampung yang setiap hari didatangi tukang pos. Itulah kampung kami.

Surat-surat selalu datang setiap waktu ke sana. Entah dari mana. Kami selalu menunggu si tukang pos di depan rumah kami masing-masing. Tukang pos akan lewat dan memanggil nama kami satu pe rsatu jika memang hari itu ada surat untuk kami. Tak pernah ada yang kecewa, bersedih, atau pun menangis ketika menerimanya. Yang ada hanya mata yang berkaca dan disesaki oleh rasa haru dan rindu. Kebanyakan dari kami menerima surat dari sanak kami yang jauh. Setelah tukang pos pergi dan menuju rumah lain, kami akan duduk di halaman rumah, di bawah sebatang pohon apel, dan membaca surat-surat itu.

Setelah selesai membaca surat tersebut, biasanya sebutir dua butir apel jatuh dari pohon. Buah itu akan menjadi penyegar dan penghilang rasa haus dan lapar. Setiap kali kami menerima surat-surat yang banyak, semakin melimpah apel-apel memenuhi keranjang rotan.

Ketika pertama kali aku datang ke kampung ini, aku tak tahu kenapa semua tetanggaku berdiri di halaman. Seperti menunggu sesuatu atau seseorang. Kukira, mereka menunggu kedatanganku sebagai tamu di lingkungan mereka. Ternyata bukan. Mereka hanya menyapaku sekilas. Menanyakan namaku dan dari mana aku berasal. Tak lama setelah kujawab pertanyaan mereka, suara dering bel berbunyi dari jauh. Mereka serentak bangun dan tak memedulikanku lagi. Mereka disibukkan dengan kedatangan seorang laki-laki dengan seragam putih, bersepeda ontel, dan di dudukan belakang sepedanya ada dua keranjang yang dipenuhi amplop-amplop. Lelaki itu menyapa mereka. Lalu menyerahkan surat di tiap-tiap rumah. Mereka ternyata menunggu-nunggu si tukang pos datang menuju rumah mereka. Di depan rumah baruku, ia berhenti. Ia meraih amplop dan membaca sederet huruf di sana,

“Soelaiman?” tanyanya penuh selidik
Aku mengangguk yakin. Diserahkan beberapa amplop untukku. 
“Tapi, aku baru tiba. Kenapa ada surat untukku?” 
Ia tersenyum. Lalu melenggang tanpa menjawab. Ditinggalkannya aku dalam ketakjuban. Setelah ia sampai ke rumah selanjutnya, aku masuk ke dalam rumah baruku. Rumahku sederhana. Hanya ada satu ruang bercat putih. Di situ ruang tamu, kamar tidur, dan juga dapur yang merangkap ruang makan. Ya, hanya itu saja. Tak apa, aku hanya sendiri.

Tujuh hari pertama kedatanganku, rumahku dipenuhi oleh tumpukan-tumpukan surat. Aku tak sempat membacanya satu demi satu. Di sini, kami membeli lemari yang kemudian akan kami isi surat-surat yang dikirimkan untuk kami. Aku sering membacanya ketika hari itu tak ada yang harus kulakukan atau ketika aku tak didatangi tukang pos karena tak ada surat.

Surat pertamaku datang dari putriku. Ia memberitahuku bahwa ia teramat mencintaiku. Kubayangkan matanya berkaca saat ia mengatakannya kepadaku sebelum terakhir kali kami bertemu. Penuh rindu, kuciumi surat itu sambil menyebut namanya berulang-ulang. Aku pun teramat mencintainya. Kemudian dari istriku. Ia menyelipkan sekuntum bunga matahari kecil pada suratnya. Ia pun mengabari betapa ia kehilanganku. Istriku cantik dan penyabar. Bunga matahari darinya kutaruh dalam vas dan kuletakkan di dekat jendela. Setiap orang bertamu ke rumahku, akan kukatakan kalau itu adalah bunga matahari dari istriku. Surat berikutnya dari ibuku, perempuan itu meskipun buta, namun ia tetap mengenaliku, dirabanya wajahku, dipanggilnya namaku ketika aku akan pergi. Oh, Ibu.

Surat-surat yang lain datang dari saudara dan kerabat, dari teman-temanku, bahkan dari teman-teman yang memusuhiku dulu. Ah, sudahlah! Aku tak lagi peduli tentang benci dan dendam. Sudah aku kuburkan, bahkan sebelum aku pergi. Mereka mengucapkan selamat jalan, semoga aku berbahagia, semoga tempat baruku lebih baik, semoga pencipta lebih mencintaiku.

Namun, setelah berselang waktu hampir setahun, aku sudah jarang menerima surat. Istriku mungkin sudah memiliki teman baru yang asyik, namun ia sesekali masih mengirimiku bertangkai-tangkai bunga matahari. Putriku pun terlalu sibuk. Ia tak lagi mengunjungiku lewat surat-suratnya. Apakah mungkin ia sudah tak lagi merasa kehilangan? Setiap tukang pos lewat, dari teras rumah aku berdiri hendak menjemputnya, ia lebih dahulu menyapaku,

“Tak ada surat untukmu, Soelaiman!”
Aku kembali terduduk lesu, menekuri tanah di depan rumahku. Lalu kucoret-coret nama istri dan putriku di sana. Mungkin mereka telah melupakanku. Waktu memang menghapus kenangan tentangku pelan-pelan.

Akhir-akhir ini, aku sering berdiri di bawah pohon apel di depan rumahku. Aku tak lagi menunggu tukang pos. Aku hanya melihatnya lewat dan tersenyum pedih ketika ia mulai membagi-bagikan surat kepada tetanggaku. Tak ada surat untukku.

Tapi pagi ini, ketika tukang pos mendekat ke pagar rumahku, matanya berbinar menyapa.

“Dari istri dan putrimu, Soelaiman!”
Kurenggut dengan cepat seraya mengucapkan terima kasih. Sambil berbalik, tergugu kuciumi surat itu berulang kali. Setelah sekian lama.

Anambas, December 2013.

May Yusra Soelaiman, Guru SM3T Aceh di Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau.



Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2014/01/12/tukang-pos-di-kampung-kami

Quote

Quote

Total Pageviews