Assalamu'alaikum, Nana
Salam kenal.
Hai Nana, aku May, yang baru tadi subuh mengenalmu lewat beberapa tulisan teman facebook-ku di blog mereka. Mereka semua berbelasungkawa atas kepergianmu. Aku pun demikian. Rasanya menyesal tak mengenalmu sebelum ini. Tapi, jalan takdir memang sudah ada yang atur kan?
Beranjak dari tulisan mereka, aku penasaran ingin mencari kamu. Yang manakah Nana yang sedang mereka bicarakan? yang katanya sudah pergi beberapa hari yang lalu?
Aku lalu masuk ke blog kamu, apik sekali. Tulisan-tulisan kamu rapi, teratur, hidup, dan enak sekali di baca. Tak banyak memang, katanya Kau sedang belajar menulis kembali demi menerapi dirimu sendiri dari kesakitan. Sakit yang katamu lewat semangkuk kolak berguna-guna dan sebab-sebab yang telah dulu ada. Sudah. Tak perlu kita bahas tentang itu. Meskipun sejujurnya, kau lelah. tapi kau tidak menyerah. Beberapa kali kau terlihat bicara tentang kematian yang begitu dekat, seolah kau tau bahwa kau sedang menghitung hari menuju pulang.
Ah iya, Aku juga bertemu Wempy, tokoh imajinermu yang kurasa begitu menarik seandainya ia memang nyata. Wempy sang penghibur, pengacau, sekaligus pengoda. Wempy yang manis dan selalu kau minta mainkan atau nyanyikan beberapa lagu kesukaanmu menjelang tidur. Ah, aku membayangkan Wempy yang baik itu menemanimu membaca selama tiga puluh menit sebelum tidur. Berdiri di muka pintu kamarmu sambil memperhatikanmu membaca dengan cahaya lampu baca ke arahmu. Selepas kau pergi, apa kabar Wempy? Kau membawanya serta dalam dirimu?
Dan dia? dia yang berulangkali kau sebut, tapi tak pernah kami tau namanya. Dia yang barangkali (aku menebak) gurumu di masa lalu, tinggal di dekatmu, yang katamu ia memang tak tampan, tapi kau cintai selama empat tahun lebih dengan diam-diam, yang pernah kau coba sampaikan dan kau rasa ia memahami 'pertanyaan'mu, dia yang telah memiliki jawabannya sendiri. Dia yang mengajarkan tentang lautan dan pantai. Apa kabar dia? Akankah ia merasa kehilangan meskipun punya pantai?
Setiap kau menyebutnya, aku selalu mengingat seseorang. Yah, ia yang juga senang menulis, menyemangati menulis, kupanggil 'abang', dan yang cintanya entah berbentuk apa. Kau bilang, ia begini,
Nana..
Your life story as the stories in the novel.
Kehidupan ibukota. seorang teman baik seperti Kayla. Permasalahan keluarga. Abi dan ibu baru. Kepergian Abi. Memaafkan. Meninggalkan. Memulai hijab. Sakit. Pindah ke kampung halaman. Memulai hari baru. Mengurusi bisnis keluarga. Bertemu teman-teman baru. Kembali menulis. Menyepi ke kaki gunung. Bersama Umi dan Wempy. dan cinta. yang entah bagaimana itu menjadi sorotanku paling penting. Bagaimana Kau mencintai dengan benar-benar mencintai. Mengikhlaskan segalanya berpulang pada Tuhan, seolah Kau paham bahwa kehidupan tak memberimu banyak pilihan. Pada akhirnya, kau memang bersiap-siap untuk menuju padaNya.
Peristiwa. Yah, semua peristiwa itu seperti jembatan yang tak putus. Apa karena kau sudah memiliki akhir, maka kukatakan ini seperti novel? Entahlah.
Membaca postingan terakhirmu di sini, benar-benar membuatku tertegun. Seberapa sakit yang kau alami? Imaji-imajimu untuk melepas diri. Sakit yang menghentikanmu menulis. Hingga keputusanmu untuk menelponnya. Terakhir kalikah? Pahamkah kau isyarat-isyarat itu? Aku membayangkan Izrail yang mengendap-ngendap ketika Kau tidur, menemanimu bersama Wempy di malam-malam akhir, mengecup keningmu, lalu memutuskan mengajakmu pergi di malam terakhir. Seberapa sakit, Nana?
Aku merindukan kematian yang indah. Seperti menjadi bidadari yang diajak makan malam ke surga oleh malaikat. Dijemput dengan kereta indah yang dibawa oleh sepasang unicorn warna-warni, aku memakai gaun indah, warnanya putih dengan hiasan batu-batu kemilau di sepanjang bawahannya. Aku ingin menuju mati seperti aku pulang ke rumah, seperti kunanti-nanti perpisahan ini, seperti di sana Bapakku sedang menunggu dengan bahagia. Tapi bekalku, barangkali tak sebanyak yang kau punya. Itulah kenapa, aku masih diberi waktu untuk mencari dan menambah-nambah.
Entahlah, na
Nana,
Kau membuatku menangis di baris akhir salah satu postinganmu ini,
Terima kasih karena diperkenankan mengenalmu. Aku tau, ini terlambat. Tapi kamu sudah meninggalkan sesuatu di sini. Barangkali, suatu waktu aku akan berkabar lagi denganmu (aku menomori surat untukmu di atas). Terima kasih, Na karena telah berbagi. Senang bertemu denganmu.
Entah bagaimana, aku merasa kau sedang berbahagia bertemu Tuhan.
Dariku,
Al fatihah untukmu
Sarinah binti Yamin.
(Takengon: Kamis, 25 Juni 2015 pukul 16.00 wib)
![]() |
| source http://sarinahyamin.blogspot.com/ |
Salam kenal.
Hai Nana, aku May, yang baru tadi subuh mengenalmu lewat beberapa tulisan teman facebook-ku di blog mereka. Mereka semua berbelasungkawa atas kepergianmu. Aku pun demikian. Rasanya menyesal tak mengenalmu sebelum ini. Tapi, jalan takdir memang sudah ada yang atur kan?
Beranjak dari tulisan mereka, aku penasaran ingin mencari kamu. Yang manakah Nana yang sedang mereka bicarakan? yang katanya sudah pergi beberapa hari yang lalu?
Aku lalu masuk ke blog kamu, apik sekali. Tulisan-tulisan kamu rapi, teratur, hidup, dan enak sekali di baca. Tak banyak memang, katanya Kau sedang belajar menulis kembali demi menerapi dirimu sendiri dari kesakitan. Sakit yang katamu lewat semangkuk kolak berguna-guna dan sebab-sebab yang telah dulu ada. Sudah. Tak perlu kita bahas tentang itu. Meskipun sejujurnya, kau lelah. tapi kau tidak menyerah. Beberapa kali kau terlihat bicara tentang kematian yang begitu dekat, seolah kau tau bahwa kau sedang menghitung hari menuju pulang.
Ah iya, Aku juga bertemu Wempy, tokoh imajinermu yang kurasa begitu menarik seandainya ia memang nyata. Wempy sang penghibur, pengacau, sekaligus pengoda. Wempy yang manis dan selalu kau minta mainkan atau nyanyikan beberapa lagu kesukaanmu menjelang tidur. Ah, aku membayangkan Wempy yang baik itu menemanimu membaca selama tiga puluh menit sebelum tidur. Berdiri di muka pintu kamarmu sambil memperhatikanmu membaca dengan cahaya lampu baca ke arahmu. Selepas kau pergi, apa kabar Wempy? Kau membawanya serta dalam dirimu?
Dan dia? dia yang berulangkali kau sebut, tapi tak pernah kami tau namanya. Dia yang barangkali (aku menebak) gurumu di masa lalu, tinggal di dekatmu, yang katamu ia memang tak tampan, tapi kau cintai selama empat tahun lebih dengan diam-diam, yang pernah kau coba sampaikan dan kau rasa ia memahami 'pertanyaan'mu, dia yang telah memiliki jawabannya sendiri. Dia yang mengajarkan tentang lautan dan pantai. Apa kabar dia? Akankah ia merasa kehilangan meskipun punya pantai?
Setiap kau menyebutnya, aku selalu mengingat seseorang. Yah, ia yang juga senang menulis, menyemangati menulis, kupanggil 'abang', dan yang cintanya entah berbentuk apa. Kau bilang, ia begini,
Sayapnya telah lama patah, namun dia masih melangkah karena tahu terbang sudah tak mungkin. Langkahnya satu-satu dan tertatih, tapi dia menolak lupakan impiannya. "Dengan satu atau lain cara, saya akan meraih impian saya. Atau setidaknya saya akan menghadap Tuhan dengan bangga, karena bisa berkata, Saya mencobanya Tuhan. Semampu saya."Na, sama persis. Apakah kita bercerita tentang orang yang sama?
Nana..
Your life story as the stories in the novel.
Kehidupan ibukota. seorang teman baik seperti Kayla. Permasalahan keluarga. Abi dan ibu baru. Kepergian Abi. Memaafkan. Meninggalkan. Memulai hijab. Sakit. Pindah ke kampung halaman. Memulai hari baru. Mengurusi bisnis keluarga. Bertemu teman-teman baru. Kembali menulis. Menyepi ke kaki gunung. Bersama Umi dan Wempy. dan cinta. yang entah bagaimana itu menjadi sorotanku paling penting. Bagaimana Kau mencintai dengan benar-benar mencintai. Mengikhlaskan segalanya berpulang pada Tuhan, seolah Kau paham bahwa kehidupan tak memberimu banyak pilihan. Pada akhirnya, kau memang bersiap-siap untuk menuju padaNya.
Peristiwa. Yah, semua peristiwa itu seperti jembatan yang tak putus. Apa karena kau sudah memiliki akhir, maka kukatakan ini seperti novel? Entahlah.
Membaca postingan terakhirmu di sini, benar-benar membuatku tertegun. Seberapa sakit yang kau alami? Imaji-imajimu untuk melepas diri. Sakit yang menghentikanmu menulis. Hingga keputusanmu untuk menelponnya. Terakhir kalikah? Pahamkah kau isyarat-isyarat itu? Aku membayangkan Izrail yang mengendap-ngendap ketika Kau tidur, menemanimu bersama Wempy di malam-malam akhir, mengecup keningmu, lalu memutuskan mengajakmu pergi di malam terakhir. Seberapa sakit, Nana?
Aku merindukan kematian yang indah. Seperti menjadi bidadari yang diajak makan malam ke surga oleh malaikat. Dijemput dengan kereta indah yang dibawa oleh sepasang unicorn warna-warni, aku memakai gaun indah, warnanya putih dengan hiasan batu-batu kemilau di sepanjang bawahannya. Aku ingin menuju mati seperti aku pulang ke rumah, seperti kunanti-nanti perpisahan ini, seperti di sana Bapakku sedang menunggu dengan bahagia. Tapi bekalku, barangkali tak sebanyak yang kau punya. Itulah kenapa, aku masih diberi waktu untuk mencari dan menambah-nambah.
Entahlah, na
Nana,
Kau membuatku menangis di baris akhir salah satu postinganmu ini,
Mungkin aku akan mati dalam sepi. Tapi tidak tanpa meninggalkan jejak. Ini kata-kataku, ini caraku meninggalkan jejakku di dunia ini.Sekali lagi, (selain dia) kamu menyadarkanku untuk menulis.
Untuk siapa? bukan kamu, bukan mereka. Hanya agar dunia tak sepenuhnya lupa. Bahwa Nana pernah hidup di muka bumi ini.
Terima kasih karena diperkenankan mengenalmu. Aku tau, ini terlambat. Tapi kamu sudah meninggalkan sesuatu di sini. Barangkali, suatu waktu aku akan berkabar lagi denganmu (aku menomori surat untukmu di atas). Terima kasih, Na karena telah berbagi. Senang bertemu denganmu.
Entah bagaimana, aku merasa kau sedang berbahagia bertemu Tuhan.
Dariku,
Al fatihah untukmu
Sarinah binti Yamin.
(Takengon: Kamis, 25 Juni 2015 pukul 16.00 wib)
![]() |
| source facebook nana (aku merasa ingin meletakkan ini, na!) |






