MUNGKIN suatu waktu, entah kapan, kau akan mendengar tentang kampung yang setiap hari didatangi tukang pos. Itulah kampung kami.
Surat-surat selalu datang setiap waktu ke sana. Entah dari mana. Kami selalu menunggu si tukang pos di depan rumah kami masing-masing. Tukang pos akan lewat dan memanggil nama kami satu pe rsatu jika memang hari itu ada surat untuk kami. Tak pernah ada yang kecewa, bersedih, atau pun menangis ketika menerimanya. Yang ada hanya mata yang berkaca dan disesaki oleh rasa haru dan rindu. Kebanyakan dari kami menerima surat dari sanak kami yang jauh. Setelah tukang pos pergi dan menuju rumah lain, kami akan duduk di halaman rumah, di bawah sebatang pohon apel, dan membaca surat-surat itu.
Setelah selesai membaca surat tersebut, biasanya sebutir dua butir apel jatuh dari pohon. Buah itu akan menjadi penyegar dan penghilang rasa haus dan lapar. Setiap kali kami menerima surat-surat yang banyak, semakin melimpah apel-apel memenuhi keranjang rotan.
Ketika pertama kali aku datang ke kampung ini, aku tak tahu kenapa semua tetanggaku berdiri di halaman. Seperti menunggu sesuatu atau seseorang. Kukira, mereka menunggu kedatanganku sebagai tamu di lingkungan mereka. Ternyata bukan. Mereka hanya menyapaku sekilas. Menanyakan namaku dan dari mana aku berasal. Tak lama setelah kujawab pertanyaan mereka, suara dering bel berbunyi dari jauh. Mereka serentak bangun dan tak memedulikanku lagi. Mereka disibukkan dengan kedatangan seorang laki-laki dengan seragam putih, bersepeda ontel, dan di dudukan belakang sepedanya ada dua keranjang yang dipenuhi amplop-amplop. Lelaki itu menyapa mereka. Lalu menyerahkan surat di tiap-tiap rumah. Mereka ternyata menunggu-nunggu si tukang pos datang menuju rumah mereka. Di depan rumah baruku, ia berhenti. Ia meraih amplop dan membaca sederet huruf di sana,
“Soelaiman?” tanyanya penuh selidik
Aku mengangguk yakin. Diserahkan beberapa amplop untukku.
“Tapi, aku baru tiba. Kenapa ada surat untukku?”
Ia tersenyum. Lalu melenggang tanpa menjawab. Ditinggalkannya aku dalam ketakjuban. Setelah ia sampai ke rumah selanjutnya, aku masuk ke dalam rumah baruku. Rumahku sederhana. Hanya ada satu ruang bercat putih. Di situ ruang tamu, kamar tidur, dan juga dapur yang merangkap ruang makan. Ya, hanya itu saja. Tak apa, aku hanya sendiri.
Tujuh hari pertama kedatanganku, rumahku dipenuhi oleh tumpukan-tumpukan surat. Aku tak sempat membacanya satu demi satu. Di sini, kami membeli lemari yang kemudian akan kami isi surat-surat yang dikirimkan untuk kami. Aku sering membacanya ketika hari itu tak ada yang harus kulakukan atau ketika aku tak didatangi tukang pos karena tak ada surat.
Surat pertamaku datang dari putriku. Ia memberitahuku bahwa ia teramat mencintaiku. Kubayangkan matanya berkaca saat ia mengatakannya kepadaku sebelum terakhir kali kami bertemu. Penuh rindu, kuciumi surat itu sambil menyebut namanya berulang-ulang. Aku pun teramat mencintainya. Kemudian dari istriku. Ia menyelipkan sekuntum bunga matahari kecil pada suratnya. Ia pun mengabari betapa ia kehilanganku. Istriku cantik dan penyabar. Bunga matahari darinya kutaruh dalam vas dan kuletakkan di dekat jendela. Setiap orang bertamu ke rumahku, akan kukatakan kalau itu adalah bunga matahari dari istriku. Surat berikutnya dari ibuku, perempuan itu meskipun buta, namun ia tetap mengenaliku, dirabanya wajahku, dipanggilnya namaku ketika aku akan pergi. Oh, Ibu.
Surat-surat yang lain datang dari saudara dan kerabat, dari teman-temanku, bahkan dari teman-teman yang memusuhiku dulu. Ah, sudahlah! Aku tak lagi peduli tentang benci dan dendam. Sudah aku kuburkan, bahkan sebelum aku pergi. Mereka mengucapkan selamat jalan, semoga aku berbahagia, semoga tempat baruku lebih baik, semoga pencipta lebih mencintaiku.
Namun, setelah berselang waktu hampir setahun, aku sudah jarang menerima surat. Istriku mungkin sudah memiliki teman baru yang asyik, namun ia sesekali masih mengirimiku bertangkai-tangkai bunga matahari. Putriku pun terlalu sibuk. Ia tak lagi mengunjungiku lewat surat-suratnya. Apakah mungkin ia sudah tak lagi merasa kehilangan? Setiap tukang pos lewat, dari teras rumah aku berdiri hendak menjemputnya, ia lebih dahulu menyapaku,
“Tak ada surat untukmu, Soelaiman!”
Aku kembali terduduk lesu, menekuri tanah di depan rumahku. Lalu kucoret-coret nama istri dan putriku di sana. Mungkin mereka telah melupakanku. Waktu memang menghapus kenangan tentangku pelan-pelan.
Akhir-akhir ini, aku sering berdiri di bawah pohon apel di depan rumahku. Aku tak lagi menunggu tukang pos. Aku hanya melihatnya lewat dan tersenyum pedih ketika ia mulai membagi-bagikan surat kepada tetanggaku. Tak ada surat untukku.
Tapi pagi ini, ketika tukang pos mendekat ke pagar rumahku, matanya berbinar menyapa.
“Dari istri dan putrimu, Soelaiman!”
Kurenggut dengan cepat seraya mengucapkan terima kasih. Sambil berbalik, tergugu kuciumi surat itu berulang kali. Setelah sekian lama.
Anambas, December 2013.
May Yusra Soelaiman, Guru SM3T Aceh di Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau.
Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2014/01/12/tukang-pos-di-kampung-kami

0 komentar:
Posting Komentar