Jumat, 17 Februari 2017

Surat Pengakuan I


Dear Ibn Rusyd,

Maafkan saya.
Menerima pernikahanmu dalam keadaan sedini ini benar-benar sulit saya bayangkan. Saya tak bisa tanpa kamu di kehidupan saya. Saya tak bisa membayangkan kamu memiliki dunia baru. Meski saya juga tak bisa memaksa bahwa kamu harus punya dunia itu dengan saya. Terserah jika kamu sekalipun mengatakan bahwa saya dijebak kenangan, dijebak masa lalu, dijebak lingkaran yang tak saya usahakan untuk keluar. Saya hanya ingin ada di lingkaranmu. Begitu saja terus menerus, sampai Tuhan bilang saya harus pulang.

Kadang-kadang saya ingin sekali pulang. Saya merasa lelah dengan takdir yang berulang-ulang menguji iman saya ke kamu. Lelah dengan ketidakkuasaan diri sendiri untuk mendorong kamu sejauh saya bisa. Karena saya selalu berharap kamu pulang.

Di hati, saya membangun rumah. Entah untuk siapa. Tapi gaungnya di doa selalu saja menyebut namamu. Maafkan saya. Saya sebenarnya ingin belajar tak memaksa. Saya ingin ikhlas karena saya hanya ciptaan. Saya ingin tak menuntut dengan tetap saja menerima semua yang dilimpahi. Saya tidak ingin durhaka dengan semua pemberian. Saya ingin taat pada takdir. Baik dan buruk sekalipun.

Tapi, saya tetap merasa berdosa karena selalu bertanya kenapa takdir saya begini, kenapa kita begini, kenapa selalu tanpa akhir atau karena kita memang tak pernah memulai? Kenapa selalu saya yang ingin memulai dan kamu yang kegerahan? Kenapa kita memilih sendiri-sendiri. Bukan saya, tepatnya kamu. Hanya karena saya tak seimbang dengan kamu. Barangkali.

Ya, saya ingin ikhlas ketika kamu memilih pergi, memilih menjauh, memutuskan gelombang percakapan, mengubah arus tenang kita menjadi ribut, dan melupakan semua hal yang kita lakukan. Kamu ingin mengubah hal-hal manis dalam kepala saya menjadi kepahitan, jadi sebuah kenangan yang tak layak dikenang. Kenapa? Saya tahu saya bukan apa-apa dibanding mimpi dan semua citamu hingga ujung langit, saya tahu di mana letaknya saya.

Maafkan saya.
Saya hanya tak bisa membayangkan kamu di kepala saya bercabang menjadi dua. Seorang di sebelahmu menjadi titik buta saya. Yang cahayanya saja akan membuat kepala saya pecah. Mata saya bersungai sepanjang tahun. Menyedot semua sisa-sisa yang hidup. Lalu pelan-pelan meniup api mati di jiwa saya.

Jika begitu, kamu paling tahu saya ingin kemana. Ya, Saya hanya ingin pulang. Memeluk ke-Maha-an dengan sedih paling sendu. Menciptakan dunia saya sendiri di sana. Menemui apa yang patut saya temui, selain kesengsaraan.

Maafkan saya, Ibn Rusyd.
Di kelahiran ke berapapun setelah ini, saya tetap ingin memilih bertemu denganmu.

0 komentar:

Posting Komentar

Quote

Quote

Total Pageviews