Pendidikan agama merupakan hal paling mendasar dan paling utama untuk
diajarkan kepada anak-anak. Melalui pendidikan inilah mereka mengenal siapa
Penciptanya, bagaimana Sang Pencipta berkomunikasi dengan ciptaannya, serta
berbagai hal mendasar lainnya yang pada akhirnya ketika mereka cukup dewasa
mereka akan mengerti dan memahami untuk apa mereka dilahirkan ke dunia
ini dan apa yang mesti mereka lakukan dalam kehidupan mereka.
Secara tradisi, pembelajaran agama bagi si anak berawal dari rumah
sebagai madrasah utama untuk mengenal Tuhan. Orang tua mempunyai peran penting
dalam hal itu. Selanjutnya, di bale gampong/rumoh teungku dan di dayah. Bagi seorang anak yang telah berumur 7-8
tahun, bila orangtuanya tak mampu mengajari membaca Alquran, maka anak yang
bersangkutan akan diantar ke tempat pengajian di kampungnya, baik di Meunasah
atau di rumah Teungku.
Sama halnya dengan kebiasaan atau tradisi yang dilakukan oleh
orang-orang di daerah Aceh Utara atau mungkin di beberapa daerah lainnya. Waktu/jam belajar berbeda-beda antara satu tempat
dengan tempat pengajian lainnya, yakni antara sore dan malam hari. Namun,
anak-anak biasanya akan belajar pada malam hari di tempat mengaji mereka. Di
kampung saya, ada sekitar 10 tempat pengajian untuk anak. Ia boleh memilih
dimana saja yang ia suka. Terkadang, anak akan memilih tempat yang sama dengan
beberapa temannya.
Nah,
hari yang dipakai untuk mengantar si anak biasanya jatuh pada malam Rabu atau
malam Minggu karena malam-malam tersebut dianggap sangat baik dan afdhal untuk
mengantar anak ke tempat pengajian (intat
beuet). Karena konon katanya, supaya si anak betah di tempat pengajiannya
maka dipilihlah malam tersebut.
Kebiasaan
yang dilakukan oleh sang orang tua yang mengantar anak adalah membawa bu leukat ngon u mirah (nasi pulut dengan gula merah). U mirah atau u puteh
adalah kelapa yang dicampur gula merah
atau gula putih yang dimasak atau disebut U
teuwot. Lalu dimasukkan dalam talam
kecil dan dihantar bersamaan dengan si anak.
Setiap
hal yang dilakukan tersebut memiliki maksud tertentu. Misalkan nasi ketan,
yaitu agar pelajaran yang diberikan cepat melekat di kepala (mudah diingat),
karena nasi pulut itu bergetah/lekat. Sewaktu prosesi penerimaan yang dilakukan
oleh guree, maka dikatakan "Sa, dua, lhee, peut, limong, nam, tujoh.
Lage nyoe leukiet bulukat nyoe, meunan keuh beuleukiet ilme lam hatee"(satu,
dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh. Seperti nasi ketan yang lekat/bergetah
ini, maka beginilah lengketnya ilmu dalam hatinya). Sang guree lantas menyuapi bu
leukat pada si anak. Sementara, u
mirah atau u puteh bermaksud
supaya hati terang dan mudah menerima pelajaran (bek beunak hate).
Selain
maksud di atas, bu leukat tadi juga
berfungsi mengakrabkan pergaulan antara si murid baru dengan para murid lama.
Sebab, setelah acara penyerahan murid baru selesai, maka bu leukat dan u mirah itu
akan disantap bersama-sama. Karena itu,
para murid yang lama selalu berharap serta “berdo’a” agar sering ada murid baru
yang diantar ke tempat pengajian sehingga mereka dapat lebih sering menikmati
kenduri bu leukat.
Di tempat pengajian tertentu, ada pula ucapan khusus yang dilafalkan orangtua ketika menyerarahkan anaknya kepada Teungku. Yaitu: “Nyoe aneuklon lon jok keu Teungku, neupeubeuet!. Meunye neupoh, meubek capiek ngon buta!” (Anak saya, diserahkan kepada teungku; ajarkan dia! Boleh dipukul, asal tidak pincang dan buta!). Pernyataan orangtua murid itu diucapkan sambil berjabat tangan/bersalaman antaranya dengan Teungku, sedang Teungku yang menerima murid baru itu mengucapkan : “Insya Allah!”. Sejak hari pertama itu, maka bergelutlah sang anak -baik putra maupun putri- dengan pelajaran membaca Alquran.
Di tempat pengajian tertentu, ada pula ucapan khusus yang dilafalkan orangtua ketika menyerarahkan anaknya kepada Teungku. Yaitu: “Nyoe aneuklon lon jok keu Teungku, neupeubeuet!. Meunye neupoh, meubek capiek ngon buta!” (Anak saya, diserahkan kepada teungku; ajarkan dia! Boleh dipukul, asal tidak pincang dan buta!). Pernyataan orangtua murid itu diucapkan sambil berjabat tangan/bersalaman antaranya dengan Teungku, sedang Teungku yang menerima murid baru itu mengucapkan : “Insya Allah!”. Sejak hari pertama itu, maka bergelutlah sang anak -baik putra maupun putri- dengan pelajaran membaca Alquran.
Tradisi
mengantar anak semacam itu masih tetap ada di kampung kami. Anak akan diantar
mengaji, maka sibuklah sang orang tua menyiapkan nasi ketan dan u teuwot.

