Kamis, 08 Maret 2012

TRADISI INTAT BEUET

Pendidikan agama merupakan hal paling mendasar dan paling utama untuk diajarkan kepada anak-anak. Melalui pendidikan inilah mereka mengenal siapa Penciptanya, bagaimana Sang Pencipta berkomunikasi dengan ciptaannya, serta berbagai hal mendasar lainnya yang pada akhirnya ketika mereka cukup dewasa mereka akan mengerti dan memahami  untuk apa mereka dilahirkan ke dunia ini dan apa yang mesti mereka lakukan dalam kehidupan mereka.
Secara tradisi, pembelajaran agama bagi si anak berawal dari rumah sebagai madrasah utama untuk mengenal Tuhan. Orang tua mempunyai peran penting dalam hal itu. Selanjutnya, di bale gampong/rumoh teungku dan di dayah.  Bagi seorang anak yang telah berumur 7-8 tahun, bila orangtuanya tak mampu mengajari membaca Alquran, maka anak yang bersangkutan akan diantar ke tempat pengajian di kampungnya, baik di Meunasah atau di rumah Teungku.
Sama halnya dengan kebiasaan atau tradisi yang dilakukan oleh orang-orang di daerah Aceh Utara atau mungkin di beberapa daerah lainnya. Waktu/jam  belajar berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat pengajian lainnya, yakni antara sore dan malam hari. Namun, anak-anak biasanya akan belajar pada malam hari di tempat mengaji mereka. Di kampung saya, ada sekitar 10 tempat pengajian untuk anak. Ia boleh memilih dimana saja yang ia suka. Terkadang, anak akan memilih tempat yang sama dengan beberapa temannya.
Nah, hari yang dipakai untuk mengantar si anak biasanya jatuh pada malam Rabu atau malam Minggu karena malam-malam tersebut dianggap sangat baik dan afdhal untuk mengantar anak ke tempat pengajian (intat beuet). Karena konon katanya, supaya si anak betah di tempat pengajiannya maka dipilihlah malam tersebut.
Kebiasaan yang dilakukan oleh sang orang tua yang mengantar anak adalah membawa bu leukat ngon u mirah (nasi pulut dengan gula merah). U mirah atau u puteh adalah  kelapa yang dicampur gula merah atau gula putih yang dimasak atau disebut U teuwot. Lalu dimasukkan dalam talam kecil dan dihantar bersamaan dengan si anak.
Setiap hal yang dilakukan tersebut memiliki maksud tertentu. Misalkan nasi ketan, yaitu agar pelajaran yang diberikan cepat melekat di kepala (mudah diingat), karena nasi pulut itu bergetah/lekat. Sewaktu prosesi penerimaan yang dilakukan oleh guree, maka dikatakan "Sa, dua, lhee, peut, limong, nam, tujoh. Lage nyoe leukiet bulukat nyoe, meunan keuh beuleukiet ilme lam hatee"(satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh. Seperti nasi ketan yang lekat/bergetah ini, maka beginilah lengketnya ilmu dalam hatinya). Sang guree lantas menyuapi bu leukat pada si anak. Sementara, u mirah atau u puteh bermaksud supaya hati terang dan mudah menerima pelajaran (bek beunak hate).
Selain maksud di atas, bu leukat tadi juga berfungsi mengakrabkan pergaulan antara si murid baru dengan para murid lama. Sebab, setelah acara penyerahan murid baru selesai, maka bu leukat dan u mirah itu akan disantap bersama-sama.  Karena itu, para murid yang lama selalu berharap serta “berdo’a” agar sering ada murid baru yang diantar ke tempat pengajian sehingga mereka dapat lebih sering menikmati kenduri bu leukat.
Di tempat pengajian tertentu, ada pula ucapan khusus yang dilafalkan orangtua ketika menyerarahkan anaknya kepada Teungku. Yaitu: “Nyoe aneuklon lon jok keu Teungku, neupeubeuet!.  Meunye neupoh, meubek capiek ngon buta!” (Anak saya, diserahkan kepada teungku; ajarkan dia! Boleh dipukul, asal tidak pincang dan buta!). Pernyataan orangtua murid itu diucapkan sambil berjabat tangan/bersalaman antaranya dengan Teungku, sedang Teungku yang menerima murid baru itu  mengucapkan : “Insya Allah!”. Sejak hari pertama itu, maka bergelutlah sang anak -baik putra maupun putri- dengan pelajaran membaca  Alquran.
Tradisi mengantar anak semacam itu masih tetap ada di kampung kami. Anak akan diantar mengaji, maka sibuklah sang orang tua menyiapkan nasi ketan dan u teuwot.

Quote

Quote

Total Pageviews