Sabtu, 28 Maret 2015

A book: Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu

oleh : 
Norman Erikson Pasaribu




Kamu tahu, mungkin hidup semua orang, termasuk kamu dan aku, akan lebih mudah jika kita boleh menikah dengan bantal yang menyangga kepala kita setiap malam, yang mengusir demam, menjauhkan kuntilanak dari mimpi, mengamini doa-doa, merindukan kita di siang hari, menyimpan aroma sampo yang kita sukai, menyerap keringat, liur, air mata, tumpahan kopi tanpa sekalipun protes, dan berbisik ke telinga kita di tiap malam yang murung: "Berbahagialah. Berbahagialah. Di luar sana. Seseorang mencintaimu, seseorang tengah mencintaimu.." Tetapi, apakah dunia ini akan membiarkan kita menikahi sesuatu yang tidak berasal dari kita, meskipun ia mencintai kita tanpa merasakan duka dan damba? Sepertinya tidak. Semoga hanya "belum" sehingga kita bisa menunggu datangnya hari itu. Sekarang, coba bayangkan gunung terdekat dari rumahmu.(Kalau tak ada, kamu boleh membayangkan Gunung Fuji ataupun Everest.) Coba bayangkan gunung itu pecinta sedang menunggu orang yang dicintainya. Dan dia menunggu semenjak dia ada di dunia. Kurasa sebesar itulah bakatku dalam menunggu. Kurasa sebesar itulah aku ingin bertemu dengan hari itu. Dan berkata kepadanya, "Hanya kamu yang tahu berapa lama lagi aku harus menunggu.”



*sinopsis di Gramedia. 

Senin, 23 Maret 2015

Selamat Ulang Tahun, Athaya





Athaya Alifa,

selamat Ulang tahun, buah hati Cut Nyak


Athaya, cahaya mata..
jika di bawah kaki bunda ada surga
maka carilah cinta di mata-matanya
jangan kau bikin ia berkaca
karena setiap duka yang lahir karena engkau
Tuhan menulis 'durhaka' di kertas-kertasmu


Athaya, pelipur lara..
Ayah yang barangkali diam dan wibawa
suatu waktu mungkin akan murka
bukan karena ia kehilangan cinta
tapi ada lakumu yang tak ia suka
Nak, rendahkan suara. Carilah ridha


sepanjang malam-malam yang dirimbuni gelap
kau barangkali lelap
dan tak pernah melihat juntaian cahaya
melayang bagai kunang di ujung rumputan
;doa-doa 
menjadi mantra sepanjang hidup


Athaya,
di hati ibu bapa Tuhan menyelip ridha
kau buru,nak.
Ridha Tuhan
Ridha mereka
Bahagialah hidup. bahagialah kau buah hati.


/Banda Aceh. 4 Jan-23 Maret 2015
*Maaf, Terlambat Cut Nyak selesaikan.
4 Tahun Athaya nya Cut Nyak.

Rabu, 04 Maret 2015

Selendang Duka Cita



Aku delapan belas tahun ketika Tuhan mengenalkan duka cita itu pada kita.
Aku di kanan, kau di kiri, dan air mata menggandeng di antara
Suaramu yang serak, jatuh basah di telinga
“Lelaki kita pulang ke surga”
Sambil kau seka ujung mata dengan selendang hitam tua
Selendangmu menjalin rupa duka kita jadi makin legam
Kau tumpuk di kepala
Kau sembunyikan cerita-cerita
Hingga suatu malam seorang pesulap singgah dan mulai membaca mantra

Kau dan orang-orang kampung kita mengerumuni keganjilan
Selendang itu kau bawa sekali
Demi menyamarkanmu dan duka luka
Aku mengintip di balik tenda
Kudengar kau tertawa,
Selendang hitam tuamu yang legam disulap jadi merpati
Merpati dan tawamu terbang jauh sekali.
Kau tak tahu, selendangmu jatuh di kepalaku
Ketika kau dan orang-orang pulang, aku berjalan menuju gelap
Selendang itu tiba-tiba berubah jadi air mata.
Punteuet, 2015
* May Yusra Soelaiman, menulis puisi dan cerita pendek. Bermukim di Punteuet, Aceh Utara.

dimuat di Serambi Indonesia, 22 Februari 2015

Perjamuan



Di meja makan, aku tersedu sendirian
Betapa tahun-tahun telah memisahkan kita
dan jadi asing
Kau, aku. Tiba-tiba jadi kelu yang kekal.
Meja makan sepi
Tapi bukankah di sini kita menyimpan kenangan dengan rapi?
Pada meja kayu dan kursi.
Pada benda-benda bersamanya
Seperti ia yang merawat suaramu di serat-serat.
Malam ini,
Kau tiba-tiba di sini, menyimak hujan denganku di meja makan
Di antara doa dan rindu yang pelan-pelan kau lafal tanpa ku tahu
Di hujung meja jarak dua depa,
Kau menungguku di kursi beda
Maaf, aku jarang pulang
Padahal di sana, setiap kali kudatang.
Aku menemukanmu di meja makan.
Kau; diantar serat kayu yang menyimpan kenangan.
/Punteuet, 2015

*dimuat di Serambi Indonesia, 22 Februari 2015
http://aceh.tribunnews.com/2015/02/22/malam-perayaan?page=2

Malam Perayaan



Di malam kau sedang berpesta,
Penanggalanmu dikoyak seseorang
“Aku mendahului yang ada dan menjadikannya tiada”

Tergesa, kau lipat tahun dan menyembunyikannya di almari
Angka-angka dosa bertabur
Langit berwarna di malam itu
Oleh api.
Oleh luka dan kecewa yang merembes dari angka

Hujan tiba-tiba turun dari matamu
Mati api. Mati semua
Kau pulang dengan hati kuyup
“Dimanakah Tuhan yang sudah berjanji”

Aku dan segala yang ada pelan-pelan layu
Sendirian,
Kau menunggu jadi abu.

Kualirkan sepanjang sungai-sungai bercabang di kota kita
Biar di tiapnya, ada kau dengan rupa baru

/Punteuet, 2015



*dimuat di Serambi Indonesia, 22 Februari 2014 
http://aceh.tribunnews.com/2015/02/22/malam-perayaan

Quote

Quote

Total Pageviews