Aku delapan belas tahun ketika Tuhan mengenalkan duka cita itu pada kita.
Aku di kanan, kau di kiri, dan air mata menggandeng di antara
Suaramu yang serak, jatuh basah di telinga
“Lelaki kita pulang ke surga”
Sambil kau seka ujung mata dengan selendang hitam tua
Aku di kanan, kau di kiri, dan air mata menggandeng di antara
Suaramu yang serak, jatuh basah di telinga
“Lelaki kita pulang ke surga”
Sambil kau seka ujung mata dengan selendang hitam tua
Selendangmu menjalin rupa duka kita jadi makin legam
Kau tumpuk di kepala
Kau sembunyikan cerita-cerita
Hingga suatu malam seorang pesulap singgah dan mulai membaca mantra
Kau tumpuk di kepala
Kau sembunyikan cerita-cerita
Hingga suatu malam seorang pesulap singgah dan mulai membaca mantra
Kau dan orang-orang kampung kita mengerumuni keganjilan
Selendang itu kau bawa sekali
Demi menyamarkanmu dan duka luka
Aku mengintip di balik tenda
Kudengar kau tertawa,
Selendang hitam tuamu yang legam disulap jadi merpati
Merpati dan tawamu terbang jauh sekali.
Selendang itu kau bawa sekali
Demi menyamarkanmu dan duka luka
Aku mengintip di balik tenda
Kudengar kau tertawa,
Selendang hitam tuamu yang legam disulap jadi merpati
Merpati dan tawamu terbang jauh sekali.
Kau tak tahu, selendangmu jatuh di kepalaku
Ketika kau dan orang-orang pulang, aku berjalan menuju gelap
Selendang itu tiba-tiba berubah jadi air mata.
Ketika kau dan orang-orang pulang, aku berjalan menuju gelap
Selendang itu tiba-tiba berubah jadi air mata.
Punteuet, 2015
* May Yusra Soelaiman, menulis puisi dan cerita pendek. Bermukim di Punteuet, Aceh Utara.
dimuat di Serambi Indonesia, 22 Februari 2015


0 komentar:
Posting Komentar