Selasa, 26 September 2017

Kepada Bapak; Surat I


Bapak, perempuan kita menangis malam ini. 

Aku sedang di kamar ketika kudengar ia menangis tiba-tiba. Suaranya terdengar pilu sekali. Aku bangkit mencari tahu penyebab kenapa ia menangis. Awalnya, kukira ada kabar duka. Barangkali setelah menerima telepon, seseorang memberinya kabar buruk. Ternyata bukan, ia sedang kesakitan. Jari jempol kakinya bekas operasi dulu, tak sengaja tersentuh dengan sandal yang biasa dipakainya ke kamar mandi. Katanya, ia hendak wudhu dan salat isya. Memang, jari yang luka itu sudah kubersihkan tadi, kupotong bagian-bagian yang terlihat akan membusuk, kulap sampai bersih, lalu kuberi salep lukanya.

Aku bingung, tidak tahu harus melakukan apa. Kulihat kakinya, tak ada darah. Hanya sedikit kemerahan dari jari-jari ke pertengahan telapak. Katanya sakit di dalamnya. Ia terus saja menangis. Meskipun sudah kukatakan, tak apa-apa. 

Sebenarnya, aku juga takut. Aku bisa saja mengatakan tak apa-apa, padahal di dalam sana lukanya mungkin tak baik-baik saja. Aku mencoba menghibur. Tapi ia terus saja menangis. Pilu sekali, Bapak. Seolah tangis itu sudah ditahannya sejak lama. Seperti kesakitan yang dideritanya tidak hanya di kaki yang luka itu, tapi juga di hati dan di pikirannya. 

Setelah kupastikan ia baik-baik saja, aku ke kamar untuk mengambilkan minyak rambut. Tapi ia masih menangis di belakang ku. Aku kembali ke kamarnya, membuka minyak, dan menggosok pelan pada betis dan kakinya. Tangisnya agak mereda. Kuurut pelan dari betis, kaki, telapak, sampai ke ujung semua jari kakinya. Pelan dan melakukan tekanan di titik-titik tertentu. Ia terlihat membaik. Tangisannya hanya menyisakan isak-isak kecil. Kuurut terus, sampai akhirnya tangis itu mereda. Aku lega.

Bapak, seingatku sepanjang sakitnya ia tak pernah menangis begitu, pun ketika ia kecewa padaku karena aku tak melakukan sesuatu yang dimintanya. Makanya, saat ia bereaksi begitu tadi, aku agak ketakutan.

Barangkali, jika kau yang di sini, kau tentu akan lebih khawatir dibanding aku. Aku ingat ketika ia masuk angin dulu, kau yang selalu menggosokkan minyak tanah ke badannya, atau ketika ia panas kau yang membuatkannya minyak kelapa dicampur bawang merah, lalu membalurinya ke tubuh. Apatah lagi ini, yang sakitnya lebih parah. Kau paling bersetia dibanding siapa saja, Bapak.

Bapak, mintalah pada Tuhan untuk kesembuhannya. Tolong, mintalah apa saja yang terbaik untuknya. Kebahagiaanya. Keriangan hatinya. Kebaikan dunia akhiratnya. Apa saja. 

Dan, maafkan aku. Karena rasanya aku memang tak pernah menjadi yang sempurna untuk menjaga perempuan kita. Tapi percayalah, aku sedang berusaha untuk itu. Semoga di sana, kau selalu mendoakan kami. 

Bapak, suatu hari kita akan berkumpul. Betapa aku tak sabar menunggu hari itu. 


rumahkampungkita, 26 Sept 2017

0 komentar:

Posting Komentar

Quote

Quote

Total Pageviews