Jumat, 26 Mei 2023

Latihan Memeluk Diri





Di ambang hatimu, kau berdiri dan menatap kasihan pada dirimu sendiri. Hidup melulu memberi luka yang sama melalui orang-orang paling kau percaya. Pisau di tangan mereka menoreh berbagai bentuk luka yang kesemuanya berujung perih, "kami tak sengaja dan tak ingin melakukannya, percayalah"


Kau masuki hatimu dengan perasaan yang kau coba tenang-tenangkan. Kau ingin sekali memeluk orang-orang yang kau cintai itu, tapi dadamu yang telah penuh oleh kecewa menimbulkan rasa sesak. Kau bahkan tak punya tenaga untuk sekadar bersapa, menghadap mereka dengan senyum terbaik yang kau punya. 


Kau menepuk bahumu sendiri, tubuh yang begitu akrab dengan luka ini, rasanya lelah sekali. Kau ingin tidur panjang di dalam dadamu, melepas semua beban yang kau punya, sampai semuanya terasa membaik, hingga akhirnya kau bisa kembali bangun menata diri di hari-hari. Kau membayangkan ruang sunyimu yang hanya kau isi dengan dirimu, bermesraan, dan memeluk diri siang dan malam. Kau tidak ingin orang lain, sebab orang-orang yang bahkan kau anggap penting, menganggapmu tidak. 


Kau biarkan datang-pergi sesiapa saja dalam hidupmu, sebab begitulah manusia. Barangkali kau pada akhirnya benar-benar bersendirian. Berada dalam duniamu sendiri semoga tak membosankan. Nanti ada hari kau akan percaya bahwa kebahagiaan bisa hadir dari hal kecil sekalipun. Lain hari kau ada di tempat, di mana rasa sedih seolah tak bergerak sedetikpun darimu. Kehidupan berganti wajah dari hari ke hari di hadapanmu. Kau akan belajar menerima, memahami, dan menjalani.



Kau harus berjanji akan lebih sering memeluk diri, memberi kasih padanya, itu akan membuatmu kuat sendiri. Kau akan melihat dirimu yang tumbuh baik dari peluk-pelukmu, percayamu, dan ketakhinggaan dari kasihmu untuk diri. Meski orang-orang pergi, kau terus kokoh berdiri.

Jumat, 26 Agustus 2022

Suara dalam Kepalamu


Di tengah hiruk pikuk sibuknya pekerjaan dan tulisan yang belum kau selesaikan, kau termenung dan kemudian sadar kau sedang merindukan ia dengan tiba-tiba. Kau tak menyiapkan apapun untuk rindu. Ia datang tanpa persiapan, dan yang kau tahu betapa kau ingin sesuatu tentangnya. 

Kau lalu mencari suaranya di rekaman terakhir kali. Kau putar berkali-kali sampai telingamu hapal setiap katanya, setiap tarik nadanya. Kau putar terus menerus seperti suatu malam kau minta ia tak berhenti menyanyikan lagu apa saja untuk temani tidurmu, atau ketika ia bosan dan dengan sopan minta keizinanmu agar ia boleh menyanyi. 

Suatu hari dulu, ketika perasaan begitu hangat dan kalian tidak tahu apakah itu cinta atau bukan, ia memetik gitar dan menyanyikanmu 'Entah' milik Iwan Fals, penyanyi favoritnya. Ia memandangmu dalam-dalam dan Kau sadar, ia sedang menyampaikan perasaannya yang ragu-ragu terhadapmu. Kau ingat malam-malam di mana kalian saling bersambung menyanyikan 'sepuluh malaikat' atau mengulang Al Waqiah bersama sembari mengingat momen awal ia mengimami salat di ruang komunitas. Dan semua temanmu tahu, kau menginginkan jutaan lagi rakaat berdua dengannya sepanjang hidup. 

Kau begitu merindukannya. 

Kau ingat saat ia memintamu menyanyi dan seperti selalunya ia, mendengarkanmu meski suaramu bukanlah sebagus miliknya. Kau ingat saat mantan kekasihnya satu per satu menikah, kau menyanyikannya lagu perpisahan seraya menggodanya. Ia tertawa, dan kau bahagia sebab berhasil mendengar tawanya. 

Hidup begitu riang saat itu. 

Setiap kau membicarakan rumah tinggal, perpindahan tempat, ia akan mengulang-ulang 'lebih baik di sini, rumah kita sendiri', atau kau ingat saat ia menggodamu dan suara nyanyinya bercampur sedikit tawa, kau mendengar ia menyanyi dalam kepalamu, 

Kuyakin diriku memang tampan
menebarkan pesona aroma jantan
yang membuatku paham
Kau ingin menggoda aku 

Kau merindukan tawanya kemudian setengah mati. Rindumu mengembang berikut dengan ingatanmu yang ikut serta, pelan naik serupa balon udara. Kau khawatir semuanya pecah jadi air mata.

Kau suka mendengar suaranya, yang katamu berat dan jatuhnya ke dasar hatimu. Kau suka mendengar seraknya di pagi hari ketika kau bangunkan. Kau suka mendengar petik gitar yang baur dengan nyanyinya. Kau suka ia bicara panjang entah topik apa. Kau suka mendengar protes marahnya tentang kolega yang ditemui atau perkara pekerjaan lainnya. Kau suka mendengarnya mengeluh padamu tentang hari panjangnya, atau malah riang bercerita tentang impian. Kau suka menghabiskan waktu dengannya. 

Kau senantiasa mendengar.

Suaranya tinggal, jauh di hatimu.

Kau sadar, sepenuhnya sadar bahwa di sana di hatimu ia selalu punya rumah untuk pulang. Ia, dalam ketiadaannya tetap ada, ia dalam diamnya senantiasa bersuara. 

*)

Sabtu, 02 Juli 2022

Merayakan Perpisahan

Di sebuah meja kedai kopi bernamakan ibukota suatu negara, ia letakkan dua gelas kopi aren berhadapan. Ia ingat bagaimana kopi ini kemudian mengikat ia dan seorang teman untuk terus kembali ke kedai kopi itu. Tak ada kedai lain yang rasanya seenak ini, ungkap temannya kala itu. Hari ini ia putuskan duduk dengan dua gelas kopi, merayakan perpisahan. 

Ia ingat bagaimana sebuah perjumpaan yang mengawal persahabatan mereka. Siang begitu terik dan hanya AC dalam ruangan bank yang mampu meredamnya saat itu. Ia duduk di sana membereskan berkas untuk pekerjaan barunya di kota itu. Temannya yang belum menjadi temannya pada waktu itu melintas di depannya. Dia coba menyapa, menyebutkan nama penanya, lantas mereka bertukar nomor telepon untuk janji temu berikutnya.

Mereka janji bertemu dan teman barunya ini memberikan beberapa buku untuknya. Kau boleh meminjam yang lain kalau mau, aku punya beberapa lain yang menarik, kata temannya itu. Di kantin kantor teman barunya itu, mereka duduk diskusi dan begitulah semesta bekerja, selalu ada tarikan jika ada ada satu kecocokan. Mereka pun dekat. 

Perjalanan mereka berikutnya membawa mereka ke sebuah kota di mana seorang penulis ternama di kota mereka akan berbincang dalam diskusi. Mereka sepakat pergi bersama. Selalu ada yang pertama untuk kemudian ada kedua, ketiga, dan berikutnya. Ke barat, ke timur, ke pantai, ke pasar, ke semua kedai kopi, mereka senantiasa bersama.

Pertemanan baru bermunculan, perkenalan keluarga, antarteman, antarsaudara, semuanya itu berlangsung begitu cepat. Tahun terlewat dengan sangat menyenangkan. Aku bisa gila kalau kita tak pernah bertemu, kepalaku bisa meledak, kata temannya di tahun kedua pertemuan. Sedikit orang yang bisa memahami apa isi otakku, tambahnya kemudian. Ya, ia pun merasakan hal yang sama. Kita akan sulit untuk bebas bercerita pada orang yang tak mengerti kita, yang menghakimi apa isi kepala kita, yang selalu merasa diri mereka benar. Jadi, pertemuan mereka benar sebuah hadiah semesta. 

Masa berganti, hingga sampailah saat hidup mendepak ia pada titik terbawah, di sana ia terkurung dalam gelap, semak belukar pikirannya menjulur sampai menutup kepalanya sendiri. Ia tak sadar lagi akan waktu. Ia kehilangan dirinya. Ia juga kehilangan kepercayaan pada semua orang, termasuk temannya. Sebuah status menyeret mereka berdua pada pertengkaran besar, panjang, dan tak terselesaikan. 

Ia berusaha menjelaskan kesalahpahaman mereka lewat berbagai cara. Tak ada jalan. Semua pintu tertutup, terkunci, dan tak terbuka lagi. Ia masuki semua lorong sembunyi. Tapi yang ada hanya sunyi. Semua maaf pulang kembali padanya tanpa balasan.

Ia ingat kalimat terakhir itu, kau bukan penting sekali pun. 

Ia tandaskan dua gelas kopi aren di hadapannya. Temannya tak akan pernah datang untuk merayakan perpisahan. Ia terima dirinya sendiri karena tak semua orang bisa menerimanya. Ia katakan pada dirinya sendiri, tak ada yang kekal selain Tuhan dalam hidup ini.

Ia peluk tubuhnya, jiwanya, lebihnya, kurangnya.

Selamat berpisah. Ia lepas apa yang ingin terlepas. 

Sabtu, 25 Juni 2022

PULANG

galeri pribadi


Ia baru tiba dari sebuah perjalanan panjang. 


Kini ia telah berdiri di muka rumah itu, rumah kenangan, masa lalunya yang indah dan jauh. Semuanya masih sama seperti saat ia tinggali dulu. Rumah itu masih kokoh, hanya sedikit pudar warna cat dindingnya setelah terakhir ia lihat lima tahun lalu. Sebatang kamboja kuning di dekat pagar telah bercabang banyak, bunganya gugur ke tanah. Dulu, ia memungut bebungaan itu bersama teman-temannya. Mereka akan bermain pengantin-pengantinan seraya meronce bebunga itu dan mengalungkannya sebagai hiasan. Ia ingat, ia selalu menjadi pengantin. Mengenang itu ia tersenyum. Apa kabar teman-temannya itu. Tentu sudah semuanya menjadi pengantin atau malah beranak pinak ramai. 


Pintu pagar itu berderit ketika dibuka. Sejak bapaknya meninggal, tak ada lagi yang meminyaki engsel pagar itu. Ia berjanji akan memperbaikinya besok. Di halaman, rumput liar tumbuh sudah tinggi. Ini juga menjadi tugasnya besok. Rumput-rumput ini tidak mungkin dibiarkan lagi. Sudah terlalu lama memerdekakan mereka selama ini. Di kiri kanannya, tanaman lidah mertua yang ditanam ibu memanjang dari pintu masuk sampai ke teras tampak tak terurus. Berapa lama sudah tanaman ini hanya pasrah menerima kebaikan hujan.


Sekali lagi, ia pandang rumah itu, tanaman ibu yang menyemak, kolam ikan bapak yang sudah kering, sampah daun. Mereka semua tampak begitu menyedihkan. Ia berjalan ke teras. Sepasang kursi kayu sudah menunggu, satu menampung lelah tubuhnya, satu lagi menjadi tumpuan ranselnya yang sejak beberapa hari lalu menggayut di bahunya. Pada sepasang kursi itulah, dulu ia dan bapaknya duduk. Mereka membaca berdua seraya menikmati sore dari beranda. Tempatnya kemudian digantikan ibu setelah lama ia tak pulang-pulang, setelah ia berjalan entah kemana dan mereka hanya menerima kabar tempat baru kedatangannya. Sesekali ia kirimi mereka gambar dengan latar belakang memesona entah di kota apa, selain juga surat-surat yang diharapkan mewakili bau tubuhnya ke pelukan mereka. 


Ia bangkit dan memasukkan kunci ke lubangnya. Bunyi klik dan pintu rumah terbuka, deritnya sama dengan pagar. Semua engsel memang butuh disentuh minyak esok hari, sebutnya dalam hati. Di hadapannya, bapak tersenyum menatapnya di balik bingkai foto. Masih berdiri tegak, ia pandang wajah lelaki itu lama sekali. "Pak, aku pulang." bisiknya kemudian. Ada jutaan rasa bersalah yang menyerangnya dari berbagai sisi kini. Juga ia ditindih perasaan menyesal silih berganti. Ia alih matanya pada gambar perempuan di samping Bapak, "Bu, maafkan aku." Kali ini semuanya pecah. Tangis bercampur isak begitu nyaring dalam rumah itu. Ia meratapi orang-orang yang dicintainya. Ia menyesali waktu yang tak bisa ia putar kembali. 



Jauh sudah ia berjalan. Pulang adalah tujuan akhirnya kali ini. 

Jumat, 29 September 2017

Lagu-lagu di Mp3 Handphone

Saya pengen nulis apa saja di sini. Setiap hari blog harus terisi, meskipun jaringan internet tak selalunya ada. Pagi ini, idenya adalah lagu-lagu dalam mp3 di handphone. Konon katanya, list lagu-lagu yang didengarkan seseorang itu sangat berpengaruh terhadap dirinya. Lagu-lagu itu mencerminkan seperti apa pribadinya.

Bagaimana dengan saya?

Playlist Mp3 saya sebagian besarnya lagu-lagu india soundtrack dari film-film yang saya suka setelah menontonnya. Kadang menguras airmata, kadang mengundang tawa. Lagu-lagu yang saya kira menarik, saya save di mp3. Contohnya, saya bisa belajar seperti apa keikhlasan seseorang dalam mencintai setelah "Hamari Adhuri Kahani" menghadirkan tokoh Aarav sebagai lelaki paling ikhlas ketika mencintai Vasudha. Lainnya, saya rindu Bapak saya setelah melihat Amir Khan dalam film "Dangal", maka saya punya lagu Naina, yang terjemahan liriknya bikin kita menangis sedih.

Iya, saya ini perempuan sensitif. Dulu, seseorang pernah heran melihat saya terisak sedih ketika membaca buku, bagaimana bisa? Tak lama sesudahnya, saya tertawa sendiri. Emosi saya bertukar-tukar. Apa yang terjadi? Saya bilang, saya ini selalu berusaha masuk ke dalam apa saja ketika membaca cerita dan kisah, menonton film, atau mendengarkan lagu, dsb. Hal itu supaya saya bisa mengerti apa yang dirasa tokoh, bisa memahami perasaan-perasaan tokoh di dalamnya.

Lagu lain, lagu kenangan saya. Ia senang bernyanyi. Suaranya lumayan enak untuk didengarkan. Ia selalu bernyanyi ketika kami diam, ketika kami tak tahu harus membicarakan apa lagi, ketika ia berusaha menggoda saya, ketika ingin memotong pembicaraan yang enggan didengarnya, atau ketika tiba-tiba saja "Nyanyi boleh? Lagi pengen!" Hahaha. Setelah saya mengangguk mengiyakan, ia akan bernyanyi, kadang dengan sedikit tertawa.

Nah, lagu-lagu yang biasanya dinyanyikan olehnya, saya simpan juga. Ketika kami tak ada kabar, ketika saya rindu mengingatnya, saya putar sendiri. Kadang rindu bukannya sembuh, malah makin parah. Saya jadi membayangkan ia tertawa besar, membayangkan matanya saat itu, membayangkan suara tawanya yang gema. Dengan memejamkan mata, segalanya jadi lebih jelas. Begitulah.

Diantara semuanya, ia paling senang dengan Iwan Fals. Berkarakter, katanya. Lagu-lagunya berisi, liriknya bagus, sebagian mengkritik, begitu katanya. Ia hafal semua lagu-lagu milik Iwan Fals. Yang paling berkesan buat saya itu "Entah". Ia nyanyikan dulu sambil bermain gitar, sambil menatap saya. Haha. Sudahlah. Pokoknya, saat itu bahagia.

Selebihnya, lagu malaysia. Oke, jangan bayangkan ini lagu lama pada zamannya Newboyz, Iklim, Screen, Lestari, atau Stings. Bukan. Ini lagu-lagu soundtrack film Malaysia yang senang saya tonton. Kebanyakan malah mirip dengan kisah saya. Baper yah?

Saya tak mendengarkan lagu inggris. Saya tak pandai bahasa inggris.Sebagian yang lirik dan terjemahannya saya tau, lalu suka, baru saya cari. Itupun sesekali saja didengarkan. Jika ada yang benar-benar saya suka, maka saya akan memutarnya sampai puas. Berkali-kali, sampai yang di luar kamar kadang protes. Haha

Saya juga punya beberapa surat yang saya suka, seperti Al Mulk, Yaasin, Alkahfi, dsb. Keseringan saya putar ketika butuh tenang, sedih atau akan tidur. Rasanya seperti dingajikan menjelang tidur. Rasanya waaah, menenangkan.

Hmm, begitulah. Setelah semuanya, bisa tebak saya perempuan seperti apa?


Selasa, 26 September 2017

Kepada Bapak; Surat I


Bapak, perempuan kita menangis malam ini. 

Aku sedang di kamar ketika kudengar ia menangis tiba-tiba. Suaranya terdengar pilu sekali. Aku bangkit mencari tahu penyebab kenapa ia menangis. Awalnya, kukira ada kabar duka. Barangkali setelah menerima telepon, seseorang memberinya kabar buruk. Ternyata bukan, ia sedang kesakitan. Jari jempol kakinya bekas operasi dulu, tak sengaja tersentuh dengan sandal yang biasa dipakainya ke kamar mandi. Katanya, ia hendak wudhu dan salat isya. Memang, jari yang luka itu sudah kubersihkan tadi, kupotong bagian-bagian yang terlihat akan membusuk, kulap sampai bersih, lalu kuberi salep lukanya.

Aku bingung, tidak tahu harus melakukan apa. Kulihat kakinya, tak ada darah. Hanya sedikit kemerahan dari jari-jari ke pertengahan telapak. Katanya sakit di dalamnya. Ia terus saja menangis. Meskipun sudah kukatakan, tak apa-apa. 

Sebenarnya, aku juga takut. Aku bisa saja mengatakan tak apa-apa, padahal di dalam sana lukanya mungkin tak baik-baik saja. Aku mencoba menghibur. Tapi ia terus saja menangis. Pilu sekali, Bapak. Seolah tangis itu sudah ditahannya sejak lama. Seperti kesakitan yang dideritanya tidak hanya di kaki yang luka itu, tapi juga di hati dan di pikirannya. 

Setelah kupastikan ia baik-baik saja, aku ke kamar untuk mengambilkan minyak rambut. Tapi ia masih menangis di belakang ku. Aku kembali ke kamarnya, membuka minyak, dan menggosok pelan pada betis dan kakinya. Tangisnya agak mereda. Kuurut pelan dari betis, kaki, telapak, sampai ke ujung semua jari kakinya. Pelan dan melakukan tekanan di titik-titik tertentu. Ia terlihat membaik. Tangisannya hanya menyisakan isak-isak kecil. Kuurut terus, sampai akhirnya tangis itu mereda. Aku lega.

Bapak, seingatku sepanjang sakitnya ia tak pernah menangis begitu, pun ketika ia kecewa padaku karena aku tak melakukan sesuatu yang dimintanya. Makanya, saat ia bereaksi begitu tadi, aku agak ketakutan.

Barangkali, jika kau yang di sini, kau tentu akan lebih khawatir dibanding aku. Aku ingat ketika ia masuk angin dulu, kau yang selalu menggosokkan minyak tanah ke badannya, atau ketika ia panas kau yang membuatkannya minyak kelapa dicampur bawang merah, lalu membalurinya ke tubuh. Apatah lagi ini, yang sakitnya lebih parah. Kau paling bersetia dibanding siapa saja, Bapak.

Bapak, mintalah pada Tuhan untuk kesembuhannya. Tolong, mintalah apa saja yang terbaik untuknya. Kebahagiaanya. Keriangan hatinya. Kebaikan dunia akhiratnya. Apa saja. 

Dan, maafkan aku. Karena rasanya aku memang tak pernah menjadi yang sempurna untuk menjaga perempuan kita. Tapi percayalah, aku sedang berusaha untuk itu. Semoga di sana, kau selalu mendoakan kami. 

Bapak, suatu hari kita akan berkumpul. Betapa aku tak sabar menunggu hari itu. 


rumahkampungkita, 26 Sept 2017

Para Lelaki dalam Catatan

Rasanya lama sekali tak menulis di sini. Ditinggalkan begitu saja tanpa tulisan, sampahkah itu, entahlah. Pokoknya tulisan.

September sudah menuju akhir. Hujan juga mulai turun sesekali. Ketika saya menuliskan catatan ini, dari atap terdengar suara tik tik tik yang tak beraturan sama sekali seperti di lagu, sesekali ditingkahi suara batuk umi dari kamarnya, juga kelentengan punggung wajan kakak warung sebelah rumah yang berjualan mie.

Saya sudah lama ingin menulis lagi. Memuisikan kesedihan kah, cerita-cerita cengeng, atau malah obrolan ringan seperti ini. Saya ingin bicara. Saya tak lagi punya teman berbincang apa saja. Waktu dan usia telah menyibukkan mereka. Seolah, yang tersisa di dunia ini hanya saya yang tak berguna.

Akhir-akhir ini, saya sering memperhatikan lelaki di sekeliling saya, terutama di keluarga. Ada CH, YL, OU, dan sebenarnya banyak, tapi tak perlu lah saya ceritakan semuanya.

CH, ia adalah tipikal lelaki rajin, tak banyak bicara, senang melakukan banyak hal, dan terlihat bertanggung jawab sekali. Ia punya tiga putra putri yang yang cantik, tampan, dan pintar. Sehari-hari, saya melihatnya bahwa ia berusaha menjadi ayah terbaik bagi mereka. Ia memanjakan mereka, namun juga bertegas sikap sesekali. Mereka kerap bercanda, punya quality time bersama keluarga, dan sesekali juga membawa anak-anaknya bermain ke pantai.

YL, juga hampir sama seperti CH, ia penyayang, bertanggung jawab, dan sayang pada keluarga. Namun, ia terlalu memproteksi putranya secara berlebihan. Mungkin sebagai anak pertama, wajar si putra ini terlihat di manja. Yah, ada beberapa hal soal parenting yang tak sejalan dengan saya. Istimewanya, YL ini amat mencintai ibunya. Ia anak bungsu yang tidak sesuai seperti kalimat "Aneuk tulot toet ate ma" (Anak bungsu sering menyakiti hati ibu). Setiap si ibu sakit, ia selalu berusaha ada, mengantar kemana pun jika diminta. YL dan CH, sama setianya terhadap keluarga mereka. Banyak kali saya sudah lihat kenyataannya.

OU, dibanding YL, imbanglah perasaan dua lelaki ini untuk soal menyayangi anak. OU akan melakukan apa saja untuk si anak, mengabulkan apa saja permintaan anak, tidak pernah memarahi anak, dan membenarkan semua hal yang dilakukan anak. Lagi-lagi, ada yang tak sesuai dengan saya. Tapi saya tetap mengacungi jempol tentang ia yang rajin, ulet, dan tangguh. Ia bertanggung jawab pada keluarganya, ringan tangan membantu si istri, dan ramah pada semua orang. Oleh karenanya, orang-orang mengenalnya sebagai orang yang baik, senang membantu, dan suka memberi.

Aneh ya, kenapa saya jadi memperhatikan tingkah laku mereka sehari-hari. Sebenarnya, (lagi-lagi persoalan ini) saya sedang melihat apa yang harus dipunyai oleh lelaki yang mendampingi saya nanti. Ya, tak ada manusia sempurna. Saya pun demikian. Tapi apa salahnya jika semua sifat baik para lelaki di sekeliling saya itu dipunyainya.

Saya membayangkan bersama seseorang yang penyayang, bertanggung jawab, jujur, senang bermain dengan anak, senang membantu istri, mencintai ibunya, dan paling penting ia mencintai keluarga.

Saya yakin, saya sudah bertemu dengan yang begini. Tapi Tuhan yang paling tahu mana tepat dan tidak. Semoga, PH.




Quote

Quote

Total Pageviews