Selasa, 26 Juni 2012

MENUNGGUI SENJA


Senja membayang pada langit sore. Memayungi berbondong burung yang  pulang ke sarang. Angin mendesau pelan dari arah pantai. Menyibak pelan bagian bawah kemeja Qabil yang masih berdiri menunggui matahari tenggelam. Petang ini adalah petang ke sekian yang tak terhitung saat ia menatapi pantai dengan pandangan kosong, melihat bola merah di ujung barat. Ia seperti sedang menunggui seseorang yang tak kunjung datang. Beberapa pasang remaja terlihat bergandengan tangan mesra tak jauh dari tempatnya. Sama seperti Qabil, menatapi bola raksasa yang akan dipeluk langit.
Entah mengapa ia merasa sore ini akan menjadi sore terakhir ia berdiri di sini. Ia merasa lelah. Lelah menunggu sesuatu yang tak pernah ada dan tak datang untuknya. Ia lelah pada permintaan Sarah sebelum pergi.
"Berjanjilah, bahwa pada senja-senja yang akan datang kau akan berdiri menungguiku di sini." Ia hanya mengangguk, lidahnya terasa kelu untuk mengatakan sesuatu.
Awalnya, Qabil memang tak pernah ingin datang ke pantai. Itu sangat aneh menurutnya. Berdiri, menatap, lalu pulang. Untuk apa? Toh itu hanya membuang waktu. Harusnya seusai kantor ia bisa langsung pulang, mandi, istirahat. Ya, ia memang tak pernah ke pantai seminggu dua minggu setelahnya. Namun, pada hari-hari selanjutnya ia seperti kehilangan sesuatu. Ia seperti kehilangan hal yang paling dekat dengannya, sangat dekat. Ia tau, Ia tak menemukan Sarah dalam hari-harinya.
Dengan terburu, ia menghidupkan Laptop, membuka folder-folder, tapi ia tak menemukan gambar Sarah. Qabil menyesal tak pernah menyimpannya selembarpun.
Sore berikutnya, ia datang ke pantai, menatap senja, menunggui Sarah datang. Ia berharap dapat menghilangkan rasa ‘hilang’ itu. Ia benci keadaan ini, karena saat mengenang seperti ini, ia tak tau harus bagaimana. Ia hanya mampu menggambar wajah Sarah pelan-pelan pada gurat senja yang akan hilang. Ia hanya bisa mengingat senyum terakhir Sarah saat mengucapkan selamat tinggal. Hanya itu.
Senja hari itu berlanjut hingga senja selanjutnya, lalu senja-senja seterusnya. Sarah tak jua datang.
---

Ia mengenal Sarah pada tahun ke empat kuliahnya. Pada satu petang di depan mesjid kampus. Sebelumnya, ia telah membuat janji untuk bertemu seorang teman. Qabil menunggunya di tangga mesjid. Tiga puluh menit kemudian, Sarah yang datang. Teman yang ditunggu harus buru-buru pulang karena ada urusan penting, lalu terpaksa menitipkan pesan pada Sarah. Jadilah mereka bertemu, lantas berkenalan.
Bagi Sarah, Qabil adalah kakak tingkat yang istimewa. Sarah kagum dengan prestasi-prestasi Qabil, kagum pada kemandirian Qabil, Sarah kagum pada semua hal yang dimiliki Qabil. Hingga akhirnya semua kekaguman itu bermuara pada satu kata, Cinta. Ya, Sarah mencintai Qabil. Sayangnya, ia tak pernah mencintai Sarah seperti Sarah mencintainya dengan cinta yang penuh. Seperti Sarah mengaguminya meski ia dalam keadaan bagaimanapun. Seperti Sarah yang tak pernah lelah memahaminya. Ia menyesal kenapa harus mencintai Sarah pada saat Sarah harus pergi meninggalkannya. Saat beberapa hari sebelum Sarah mengucapkan perpisahan.
---

Qabil menghela nafas, lalu beranjak beberapa langkah ke depan. Tampak beberapa remaja sudah akan meninggalkan pantai. Hari semakin gelap, senja sudah tenggelam seluruhnya. Tiba-tiba Qabil teringat saat senja terakhirnya bersama Sarah, Ia mengatakan satu hal yang pelik untuk dipahami,
"Qabil, Aku seperti menuju senja. Seperti tak kembali. Padahal aku sangat ingin di sini. Di sampingmu"
Ya, Sarah memang tak pernah kembali padanya. Qabil yakin, ia harus pulang dan tak kan pernah kembali.
"Aku tau, Kau selalu datang Qabil", Ia menoleh, melihat ke belakang, berharap Sarah datang pada akhirnya. Namun, ia hanya menemukan sepi. Sendiri.
---

Banda Aceh, 25 Juni 2012
Untuk Khalil dan Sarah


Tugas KJ Minggu ke-2

Minggu, 24 Juni 2012

NYAK RINDU BAPAK


Bapak,
Rindu nyak pada Bapak adalah rindu-rindu yang nyak kumpul menjadi bongkahan yang indah di hati nyak. Rindu yang semakin membuat nyak ingin ada dan hadir dalam wujud sempurna sebagai seorang anak untuk Bapak. Meskipun nyak tau, nyak tidak pernah bisa untuk itu. Rindu nyak semakin menguat untuk memeluk Bapak, untuk tidur di pangkuan Bapak, bermanja pada bapakku, dan bercerita tentang kuliah nyak pada Bapak.
Kenangan nyak dengan Bapak masih nyak ingat di hati. Ketika langkah kecil nyak berlari, lalu jatuh. Tangan Bapak yang pertama mengangkat nyak. Nyak mulai pandai bicara, Bapak yang selalu mendengarkan nyak. Nyak meniti Alif – Ba-Ta Nya, Bapak yang ajarkan nyak mengenal tiap potongan huruf itu. Nyak mulai sekolah, Bapak juga yang antarkan nyak untuk belajar ilmu dunia dan akhirat. Nyak ingat, saat nilai nyak bagus Bapak pula yang bangga karena memiliki nyak, karena Bapak berhasil mengajarkan nyak dengan baik. Nyak juga ingat, saat nyak sakit Bapak yang selalu menjaga nyak, meminum kan nyak obat, dan  Bapak terus ada untuk nyak.
Dulu, sebelum berangkat sekolah Bapak yang menyisir rambut nyak, mengikatnya dengan rapi. Nyak ingat, saat potongan daging masuk ke gigi nyak yang berlobang, Bapak pula yang mengambilnya untuk nyak.
Nyak kangen suara Bapak saat memanggil nyak untuk shalat, saat menyuruh sesuatu pada nyak, saat Bapak marah pada nyak karena membantah ummi. Nyak kangen pada tiap elusan tangan Bapak di kepala nyak, pada tiap pujian Bapak untuk nyak, pada semua komentar Bapak tentang baju yang nyak pakai, dan nyak kangen pada semua larangan Bapak. Semuanya begitu bernilai untuk nyak. Dan Bapak selalu marah pada nyak karena nyak sering menunda sesuatu yang bisa nyak lakukan. Maafkan nyak, Bapak. Karena nyak tidak pernah bisa membuat Bapak bahagia memiliki nyak.
Bapak, maafkan nyak..
Nyak gak pernah ada saat Bapak butuhkan nyak, saat Bapak sakit nyak tak ada di samping Bapak, saat Bapak rindu nyak Bapak cuma bisa lihat foto nyak di Handphone Bapak, saat Bapak panggil nyak, nyak entah berada di mana. Nyak gak merawat Bapak seperti Bapak merawat nyak waktu kecil. Maafkan nyak..
Bapak, nyak cuma beberapa kali menyuapi Bapak makan, tapi Bapak..nyak gak sanggup menghitung entah itu berapa kali. Nyak juga sangat ingat ketika Bapak pulang dari Makkah, Bapak memeluk nyak dengan sangat kuat. Itukah rindu untuk nyak selama satu bulan lebih di sana?. Nyak juga merasakan hal yang sama, Bapak.
Nyak tahu, saat nyak lulus di TK, Bapak senang. Nyak sudah besar dan bisa masuk SD. Prestasi nyak membanggakan Bapak saat itu. Nyak lulus SD, Bapak memilih nyak untuk sekolah di pesantren supaya nyak bisa mengimbangi ilmu dunia dan akhirat, supaya Bapak bisa mempertanggungjawabkan semuanya pada Allah dengan baik, bahwa anak Bapak telah Bapak didik baik-baik. Nyak habiskan waktu nyak di pesantren selama 6 tahun, tanpa Bapak di dekat nyak. Namun saat nyak lulus, nyak tahu Bapak bangga pada nyak. Nyak melihat jutaan pelangi di mata Bapak untuk nyak. Hari itu, nyak bahagia telah mengukir senyum kebahagiaan di wajah Bapak. Di rumah, nyak Cuma beberapa Minggu. Karena selanjutnya Bapak meminta nyak untuk ikut bimbingan belajar di Banda Aceh. Lagi-lagi nyak tinggalkan Bapak. Satu bulan kemudian, nyak punya dunia baru di sini, nyak telah menjadi mahasiswa. Dan akhirnya di sinilah nyak.. nyak terpisah jauh dari Bapak. Hingga Bapak sakit, nyak gak pernah ada dekat Bapak. Maafkan nyak, Bapak..
Hari-hari terakhir nyak dengan Bapak, gak akan pernah nyak lupakan dalam hidup nyak. Ketika nyak menjaga Bapak, ketika nyak tidur dekat Bapak, ketika tangan nyak mengkusuk Bapak, semuanya masih membayang di mata nyak. Dan nyak selalu ingat ketika untuk terakhir kalinya nyak melepaskan Bapak berangkat ke Kuala Lumpur, nyak masih bisa menciumi Bapak, nyak do’akan Bapak, nyak mengharap Bapak sembuh untuk nyak lihat lagi sepulang dari sana. Harapan nyak kian kuat saat itu. Meski nyak lihat, matahari nyak di mata Bapak kian redup dan hampir gelap. Nyak takut dan belum siap di tinggal, nyak masih perlu Bapak.
Mimpi itu datang tiga malam berturut-turut, Bapak. Nyak seolah melihat, Bapak meninggal. Tapi, nyak masih optimis bahwa mimpi itu adalah umur panjang. Nyak gak tau, kalau itu adalah tanda pamit Bapak pada nyak. Sekedar isyarat selamat tinggal buat nyak. Hati nyak gundah untuk beberapa hari, nyak tiba-tiba sangat rindu pada Bapak, nyak ingin menyuapi Bapak makan seperti biasa di rumah sakit, nyak ingin mendengar petuah Bapak di sela-sela obrolan kita yang singkat.
Hari itu datang. Nyak seolah hilang arah, sosok yang paling nyak sayang dan sayang pada nyak pergi, nyak harus merelakannya meski sakit. Tak sempat nyak menatap wajah Bapak untuk terakhir kalinya. Kain putih itu menghalangi kita untuk bertemu. Nyak hanya bisa menciumi wajah Bapak yang sudah berbalut kain kafan. Ya Rabb, begitu sakit…
Sekarang, nyak begitu merindukan Bapak. Mengharap Bapak datang dan memeluk nyak, menciumi kepala nyak dengan penuh sayang, membelai rambut nyak seperti biasa. Nyak ingat, saat Bapak mencium tangan nyak di bangsal rumah sakit, saat nyak cium Bapak di bandara, saat Bapak peluk nyak sepulang haji di asrama haji. Nyak rindu Bapak… nyak sayang Bapak…
Do’a untuk nyak dari Bapak saat Bapak tahajud tiap malam seolah hilang, tak ada yang menghiba mengharap keridhaan Allah bagi hidup nyak, tak ada yang mengingatkan nyak saat telat shalat, bangun kan sahur ketika Ramadhan, dan semuanya kini hampa tanpa Bapak. Nyak hanya akan berusaha untuk bahagiain ummi, satu-satunya kenangan terindah Bapak buat nyak jaga dan nyak cinta. Do’a nyak untuk Bapak akan selalu nyak kirim, karena itu yang bisa membuat bahagia di sana, nyak juga akan belajar menjadi anak yang baik untuk ummi, seperti yang Bapak harap pada nyak…


Serenade kerinduan di tengah malam buta
Untuk : Bapak paling nyak sayang

3 Februari 2009,
setelah saya sadari, ternyata saya menulis ini setelah 1 bulan 1 minggu 1 hari Bapak pergi.

Jumat, 22 Juni 2012

HATI YANG BUNTUNG III (Dari Marlina)


Sayang !!
Bulan tinggal separuh ditutup awan. Malam merangkak memeluk langit. Aku juga masih di sini, mengenang kembali tentang penggalan kisah kita yang tak berujung. Maaf, aku pergi tanpa pamit, tanpa berucap salam pisah, tanpa memapar rentetan khilafku di masa lalu. Kurasa, Tuhan telah menggaris takdir yang menurutNya paling baik untuk kita. Tak ada yang benar-benar indah untuk sebuah perpisahan, bukan? Ia telah memilihku untuk melawat keabadian itu pertama kali. Kaupun demikian pada satu ketika.


Perpisahan itu sayang, yang kemudian memupuskan jarak kita dan memotong jalin kisah kita dengan terpaksa. Namun, pada perpisahan itu aku belajar untuk memberi dan menerima. Memberi yang bukan hak dan menerima pilihan takdir yang telah digariskan. Aku tak pernah punya cara untuk menolak. Kaupun juga pada nantinya.


Demikian juga dengan takdir yang menemukan kita tanpa sengaja di tepi pantai pagi itu. Hingga kita mengawal pagi-pagi lain bersama lagi. Pertemuan berkesinambung itulah yang kemudian menjadikan cerita kita semakin lengkap. Kau meminang hatiku tanpa kusadari. Tapi bukankah katamu, cinta sejati adalah cinta yang kita tidak pernah tahu kapan ia akan tiba? Aku sangat percaya padamu, sebagaimana Aku percaya pada cinta kita. Bagiku, Kau adalah keabadian untuk cinta.


Aku tahu, kau selalu mencintaiku dengan hati yang penuh, karena pada mata di kelopakmu Aku menemukan wajahku yang tak pernah lekang dan hengkang. Kau mematrinya kuat dalam indera. Adakah yang perlu kuragukan lagi tentang cinta? Ah, rindu ini melesak membuat nafasku mampat. Ingatanku terlempar pada satu malam ketika kita menatap langit yang tak berbatas, kau bisiki aku pelan, "Marlina, Aku tak pernah ingin mencintaimu sebesar bulan. Kau tau, Bulan itu hanya sejempol". Aku tergelak tak percaya mendengarnya. Kau mengangkat ibu jariku ke arah bulan. Lalu memintaku memicingkan sebelah mata. Ia, aku menemukan bulan hanya sejempol, sayang.


Perempuan itu akan datang. Perempuan setelahku. Aku paham jika satu saat ia akan datang menggantikan karena kau juga tak mungkin akan selalu menapak hari sendirian. Namun, aku tak pernah tahu kalau ia akan membuatmu seterluka ini. Aku berduka mengenangnya. Memang, tak ada yang sempurna dalam kehidupan. Begitupun aku. Maka, jangan pernah menjadikan Aku sebagai tolak ukur untuk mencari penggantiku, karena setiap orang tak pernah sama. Mari membuka diri, sayang.


Kenangan tetaplah akan selalu menjadi milik kita. Kau tak perlu menyimpannya di sembarang tempat. Cukup di hati, karena kenangan itu akan mengekal. Di tempat terjauh sekalipun, aku juga akan tetap mengenangmu. Percayalah, aku selalu sangat dekat di hatimu. Saat Kau mengingatku, yakinlah bahwa kedekatan itu sama dengan yang selama ini kita rasakan sebelum perpisahan.




Banda Aceh, 11 April 2012 01;46
NB; Cerpen yang Tak Terkirimkan

MAZHAB DAN CINTA YANG TERLAMBAT


Judul                   : CINTA YANG TERLAMBAT (Terj. Hijab Wali)
Penulis                : Dr. Ikram Abidi
Penerbit              : Pustaka Hidayah
Tebal                   : 522 halaman
Harga                  : Rp. -

Cinta kadang memang terlalu menakjubkan sekaligus membingungkan. Tanpa logika dan tanpa alasan, ia mampir begitu saja. Hal itulah yang dialami oleh Aaariz dan Komal, sepasang anak manusia yang bertemu pada satu pesta pernikahan lantas tanpa disadari, mereka telah saling jatuh cinta pada kali pertama bertatapan. Komal dengan segala kerupawanannya telah mampu meminang hati Aariz, begitupun sebaliknya, Komal seolah menemukan lelaki yang dicari-carinya pada Aariz. Cinta mereka bertemu pada satu tujuan, pernikahan.

Namun, satu hal yang mereka anggap sepele menjadi batu besar penghalang, mereka tak mendapat izin dari orang tua karena perbedaan mazhab. Aariz dari Sunni dan Komal dari mazhab Syi’ah. Mereka beranggapan dengan pemikiran orang tua mereka yang sudah moderat tak akan mempertimbangkan hal tersebut. Cinta mereka tersandung. Aariz lantas dijodohkan dengan perempuan lain, Zeest. Seorang gadis desa anak dari paman jauh sebelah pihak ibu Aariz. Disinilah cerita dimulai.

Zeest yang berduka sepeninggal ayahnya lantas dijodohkan dengan Aariz semakin terluka dengan sikap Aariz padanya, dengan semua penolakan-penolakan yang ditujukan padanya. Zeest hanya dianggap sebagai gadis kampung, tak mengerti tentang mode ini-itu karena ia selalu menggunakan hijab, menutup diri. Aariz semakin membencinya karena menganggap Zeest sebagai penghalang pernikahannya dengan Komal. Cinta memang tak mudah untuk dipahami. Meskipun Aariz berlaku demikian kasar, Zeest masih dengan sangat setia melayaninya sebagai suami, memuliakannya selayaknya hingga satu peristiwa membuat Zeest harus oergi menjauh dari Aariz.

Novel ini mengambil cerita bersetting timur tengah dan negara Pakistan menjadi pilihan penulis. Saya tertarik dengan perbedaan mazhab itu. Awalnya, saya tidak tahu kalau di Pakistan atau daerah Timur Tengah sana menikah dengan seorang dari mazhab yang berbeda akan menimbulkan pertentangan dari keluarga karena menurut saya, menikah dengan siapa saja yang menurut kita cocok, seagama, dan baik agamanya, ya menikah saja. Tak masalah. Ternyata Sunni dan Syi’ah sangat kentara perbedaannya. Bagaimana kemudian penjelasan tokoh Sameer-Produk dari pernikahan antar mazhab, yang merasa kebingungan dengan posisinya serta kedua orang saudara perempuannya yang belum juga menikah karena keluarga calon suami mereka mengetahui bahwa mereka adalah anak dari pernikahan beda mazhab tersebut. Apalagi hal yang sangat mungkin terjadi adalah dikucilkan dari keluarga sebelah Ayah dan Ibunya. Hidup mereka semakin terisolasi.

Awalnya, Saya menemukan buku ini di rak buku Perpustakaan Wilayah Banda Aceh yang berjejer, melihat covernya dan saya tertarik dengan kata-kata pembuka, Sebagian orang berharap dapat menikah dengan laki-laki yang mereka cintai. Doaku sedikit berbeda; Aku dengan rendah hati memohon kepada Tuhan agar aku mencintai laki-laki yang aku nikahi. Ini adalah doa Zeest pada Tuhan. Judulnya memang cocok; Cinta Yang Terlambat. Namun setelah membaca keseluruhannya, saya kok merasa novel ini juga sebagian besar membahas tentang hijab. Hijab perempuan, hijab dalam islam. Jadi kembali saya membuka lembar pertama, dan menemukannya judul aslinya Hijab Wali. Tak menyangkal, ini juga cocok saya rasa.

Cerita awalnya menurut saya biasa saja tentang sepasang remaja yang jatuh cinta, lantas tidak direstui orang tua, kemudian dijodohkan dengan gadis lain. Hal itu menjadi luar biasa ketika penulis mengarahkan jalan cerita ke arah lain. Bagaimana kemudian Zeest yang sabar menghadapi Aariz yang tergila-gila dengan Komal, kegilaan Aariz setelah kepergian Komal karena cemburu pada Zeest hingga harus masuk rumah sakit jiwa, kepergian Zeest entah kemana dan kehilangan yang dirasakan Aariz setelah ia sembuh.

Cinta akhirnya menemukan jalannya sendiri. Pulang pada palung yang mungkin awalnya dianggap salah.
Selamat membaca.


Nb; Untuk Tugas Harian KJ

Quote

Quote

Total Pageviews