Rabu, 17 Oktober 2012

KISAH BAPAK AKU, DAN PUNGGAWA



Bapak,
Ada punggawa dari kampung seberang
Membawa hatinya pada nanda
Nanda simpan atau kembalikan?


Bapak,
Punggawa itu tampan lagi rajin sembahyang
Meminta nanda untuk melengkapkan jawaban yang ia tunggu dari Tuhan
Nanda terima atau abaikan?


Bapak,
Punggawa yang kubicarakan persis sepertimu
Mencintai Tuhan dan sayang ayah bunda
Menghormatiku selayaknya perempuan
Dan sekarang, ia sedang di hadapan
Mengulang pernyataan; Maukah kau menikah denganku?


Bapak,
Punggawa inikah yang dikirimkan Tuhan untukku?



Banda Aceh, 6 Oktober 2012

CINTA DALAM SEGELAS KOPI PAGI




Di kepulan kopi pagimu,
Ada cinta yang kusisip di antara butir gula
Pun kusembunyikan dalam bubuk kopi
Hingga bercampur, mengepul berbau harum menuju hidungmu

Cinta yang akan memenuh dalam tubuhmu
Lalu membunuh ketidak-pekaan.
Seperti kopi, yang membunuh kantuk pagimu.

Kau tau?
Aku mencintaimu sepekat kopi paling kau cintai.



Banda Aceh, 6 Oktober 2012

AJARI AKU MEMBACA


Ternyata, aku memang tak paham.

Aku tak pandai membaca tanda,
Tentang jalan-jalan yang Kau mudahkan
Tentang setengah harapan yang Kau kabulkan
Tentang doa-doa yang Kau jawab sebagian

Sedang buku-buku masih telentang di ruangMu
aku lupa cara mengeja
kembali..
Tuhan, ajarkan aku membaca

Karena jika esok masih sama,
Aku akan kembali lagi menjadi buta tanda; buta aksara

Harusnya:
(kulipat syukur, lalu kusimpan dekat dada)

Banda Aceh, 6 Oktober 2012



Untuk: Siapapun yang Pernah Mencintai



Pernahkan kau merindukan seseorang? Ingin melihatnya sedekat mungkin? Meraba wajahnya dengan telapakmu, lalu membawa telapaknya dan menyembunyikan di balik pipimu? Seringkah kau merindukan seseorang yang hanya kau temukan bekas bayangnya di mindamu lalu kau angankan ia sepanjang harimu? Pernahkan kau mengharapkan seseorang seperti kau mengharapkannya? Dalam-dalam… Lalu, Bagaimana rasanya mencintai seseorang, mengaguminya secara diam-diam, menatapnya setiap kali ia ada di hadapanmu dan berharap ia menyapa lebih dulu? Bagaimana jika semakin ingin kau membencinya semakin dalam pula kau mencintainya?
Ceritakan, bagaimana kau bertahan dengan perasaan cintamu yang hampir memenuh menuju leher, mencekikmu hendak membunuh. Bagaimana kau mengawal cintamu saat kau di sampingnya dan meleleh ketika melihat senyumnya ke arahmu. Apa yang akan kau lakukan ketika langkahnya menujumu, pelan bertanya kabarmu dengan riang? Apakah kau akan membeku ketika menatap matanya berbinar?
Apakah kau pernah bermimpi ingin memulai pagi bersamanya? Lalu, menjelang malam, kau kebingungan untuk mengucapkan selamat malam dan ingin terdengar indah di telinganya? Bagaimana rasanya ketika kau berkhayal ia bangun pagi dan kau siapkan kopinya? Bagaimana rasanya ketika kau memberesi tempat tidur dan harumnya masih menempel di bantal? Bagaimana rasanya menjadi orang yang paling ia butuhkan di sampingnya, orang pertama yang ia panggil ketika memerlukan sesuatu? Namamu kemudian yang ia panggil saban hari dan ada di daftar panggilan pertama di telepon genggamnya? Pernahkah kau berkhayal selalu ingin berada di dekatnya seperti itu?
Lalu, Bagaimana rasanya setelah kau tau ia adalah seseorang yang tak dapat kau miliki? Ia adalah hal nyata yang tak akan pernah jadi nyata untukmu. Ia seperti mimpi tengah hari yang tak akan pernah jadi nyata. Ia seperti harapan yang kau bangun lalu kau hancurkan sendiri.
Tapi, kau mencintainya. Sangat mencintainya.
Tuhan tentu punya jawaban.


Banda Aceh, 7 Oktober ‘12 

TWIN OH TWIN.. COME TO MAMMA :)




Saya tak pernah marah sekali pun jika teman-teman mengatai saya gila atau semacamnya setiap kali bertemu atau melewati sepasang anak kembar. Saya langsung “peu sa dua”[1], terserah mereka akan mengatakan apa. May Gila, May stress, May gak waras atau apa lah. Saya tak peduli. Saya suka, saya gila, saya berambisi pada anak kembar.
Anehnya, saya tak ingat kapan saya mulai suka dan gila pada yang namanya kembar. Seingat saya, mungkin dari SMP atau SMA karena teman-teman saya di sekolah dulu masih ingat sampai sekarang kalau saya sangat ingin memiliki si kembar suatu hari. Saya hanya menanggapi dengan senyum jika mereka bersenda bahwa itu tak akan nyata. Ketika mulai kuliah, rasa suka itu masih saya simpan. Setiap teman membuka laptop saya, mereka akan menemukan twins di desktop laptop saya, lalu ada banyak foto-foto dan video bayi kembar di folder saya. Semua mencemooh mengatakan itu tak mungkin, saya hanya tersenyum. Lama kelamaan kok mereka makin suka dengan bayi-bayi kembar saya di gambar dan mulai pengen punya satu hari? Aneh!!
Berawal dari rasa ingin tahu dan ingin punya twins, saya sampai browsing cara untuk memilikinya. Semua info saya lahap, sampai harus mengonsumsi apa, pokoknya semua hal-hal yang berkaitan dengan si kembar. Saya excited ketika lihat hal-hal tentang kembar, bajunya, sepatunya, topinya. Rasanya kayak ada gelembung-gelembung di perut saya, menjalar hingga wajah lalu menarik dua ujung bibir saya membentuk senyum.
Bagaimanakah lagi ketika satu waktu Tuhan menjawab doa saya tentang mereka, mengabari saya lewat tanda-tandaNya, lalu Tuhan menghadirkan mereka untuk saya peluk, saya cium sepuas hati, saya pangku, saya tatap mata-mata mereka, saya kagumi dan saya sanjung saban hari. Saya yakin, waktu itu akan datang. Ya Allah, tolong jawab doa saya J


Dari Nyanyak, untuk Rayyan-Zayyan.


[1] Mengatakan sa-dua-lhee-peut-limong-nam-tuuujoh dalam bahasa Aceh yang kadang dipercaya dapat mengabulkan harapan.

SURAT UNTUK PAPA DI SURGA




“Ma, Papa kemana cih??”, pertanyaan yang berulangkali diajukan oleh Reyvi, adik kecilku yang berumur lima tahun. Mama bungkam. Hanya tetes-tetes air mata yang mengalir di pipinya. Kudekati Reyvi,
“Dek, Papa udah pergi jauuuh sekali. Ke awan sana!”, kataku sambil menunjuk ke arah awan yang sedang berarak-arakan di langit tinggi yang maha luas. Dia tersenyum,
“Sekarang, Reyvi jangan tanya itu lagi ya, nanti mama sedih. Minta maaf sama mama”. Dia mendekat
“Maafin Reyvi mama ya!”. mama hanya mengangguk, lalu menghapus sisa air mata di pipinya.
Kejadian seminggu yang lalu masih terekam rapi dan bagus dalam ingatanku  ketika papa keluar dari kantor. Sebuah jeep berhenti dari jarak tidak begitu jauh dari papa. Seorang dari mereka menarik picu pistolnya. Aku berteriak, namun jeritanku ditelan oleh suara letusan pistol. Papa roboh, dengan darah yang mengucur deras dari dadanya. Aku berlari meninggalkan pak sopir yang sudah kegugupan,
“Pa.. jangan tinggalkan Vika!”. Aku memangku papa.
“Vi.. ka.., jag.. jagggaa mamma… dan Re…yvi” Itu pesan terakhir papa. Papa merenggangkan nyawanya dari jasad.  Begitu tragis kematian papa. Aku tau, mama sangat terpukul, sedangkan Reyvi tidak tau apa-apa.

Kuperhatikan mama yang sudah rapi dengan seragam putihnya hendak ke rumah sakit. Ia melihat ke arahku duduk yang sedang sarapan pagi bersama Reyvi. Ada butiran bening yang mengalir dari pipi halus mama. Aku lupa, kalau sekarang aku sedang duduk di kursi papa. Mungkin mengingatkan mama pada papa. Lagi pula, wajah papa terjiplak habis-habisan padaku, putri pertama mereka. mama menghapus air matanya, dan mendekat ke arah kami.
“Ma, Reyvi biar pergi sama Vika aja ya.” aku meminta persetujuan Mama. Dia hanya mengangguk. Itu cukup menjadi jawaban untukku. Sekolahku memang dekat dengan TK Reyvi dan juga kantor papa. Akh.. papa, Vika rindu. Vika juga bangga punya papa yang rela mati demi membela kebenaran.

Dua tahun sudah berlalu sejak kematian papaku yang tragis. Aku sudah di bangku kuliah semester satu UI. Mama menginginkan aku jadi dokter. Tapi tidak, aku akan menjadi pengacara, seperti papa. Tekadku sudah bulat. Aku adalah Revinska Afril Lavinza. Putri seorang pengacara.
Reyvi sedang tertidur di kamarnya karena kelelahan. Ada kertas di tangannya. Ku tarik pelan-pelan agar ia tidak terbangun. Aku membaca huruf-huruf yang mulai rapi itu.


Untuk:
             Yang selalu kurindukan,
             Papaku di Surga

Assalamualaikum..
Papa, apa kabar? Reyvi baik-baik aja disini. Begitu juga dengan kak Vika dan Mama. Kami rinduu.. sekali pada Papa.
Pa, sekarang Reyvi sudah kelas dua SD. Kak Vika juga sudah kuliah. Dia ingin seperti Papa, jadi pengacara. Kalau kak Vika jadi pengacara, Reyvi jadi dokter aja papa ya? biar sama kaya mama.. . Boleh papa ya?
Pa, kalau nanti Reyvi tamasya ke surga, kita jalan-jalan ya. keliling sama kak Vika dan Mama. Papa, Reyvi pernah lihat kak Vika lagi salat tengah malam, dia nangis. Kak Vika doain papa di surga. Reyvi juga ada doain papa habis salat. Mama yang ngajarin Reyvi salat. Kak vika juga ajarin Reyvi baca doa. Reyvi juga pake kerudung.. taraaa. Papa banggakan punya putri cantik kaya Reyvi? Papa sayang Reyvi kan? Papa juga sayang sama kak Vika dan Mama kan? Oh ya pa, Reyvi juga belajar baca iqro’..
Pa, Reyvi gak tau harus ngirim surat ini lewat siapa. Lewat pak pos? nanti Reyvi coba deh. Kalau gak bisa, biar Reyvi aja yang antar ke surga papa. Tunggu Reyvi, pa ya.
Papa, udah dulu ya. Reyvi udah capek. Kata mama, Reyvi jangan kecapekan, asma Reyvi kumat. Kalau asmanya lagi kumat, sakiiit banget. Pa, salam untuk semua orang di surga ya. Reyvi mau jadi penghuni surga juga. Hehehe..

Peluk cium,
             Reyvinsta nya papa 



Air mataku telah membasahi surat Reyvi. Rabbi, alangkah rindunya adikku pada papa. Kulihat tubuhnya menggeliat, ia tersenyum dalam tidur. Ah.. adikku, mimpi apa sayang? Dia terbangun,
“Kak Vika, papa jemput Reyvi, ngajak jalan-jalan ke surga Firdaus katanya. Reyvi ikut papa ya. reyvi mau pamit sama mama.”
Ia berlari menuruni tangga untuk menuju ke arah dapur.
“Reyvi, jangan lari. Awas jatuh!” Teriakanku terlambat. Tubuhnya terguling dengan cepat di tangga.
“Mamaaa,, Reyvi, maa… ” aku berteriak. Mama lalu berlari ke arah tangga masih dengan celamik di badannya. Mama berteriak histeris. Reyvi pingsan.
Bau obat rumah sakit terhirup di alat pernafasanku. Sudah dua jam kami menunggu Reyvi sadar. Tapi ia belum juga sadar. Mama tidak dapat berbuat apa-apa. Tidak lama kemudian,
“Mama…” Reyvi mendesah pelan. Mama membelai rambutnya.
“iya sayang.. ini mama.”
“Ma.. Reyvi lihat papa. Kak Vika.. papa ajak Reyvi ke surga. Reyvi pergi ya”. mama menangis terisak. Sebuah isyarat kalau Reyvi akan pergi. Beberapa menit kemudian, Reyvi mulai kelihatan susah bernafas,
“Dek.. Ingat sama Allah, sayang” aku berbisik
Reyvi menghembuskan nafas terakhirnya. Ah, adikku. Begitu cepat kau susul papa.
“Vika, mama gak sanggup” kata mama sambil terisak
“Reyvi sudah tenang, mama”
Malamnya, kubacakan sekali lagi surat Reyvi untuk papa. Ah.. Reyvi sudah tibakah engkau di tempat papa? Sekarang kak Vika kangen.. sekali sama Reyvi. Air mataku menetes. Rabbi, tabahkan hati. Dua orang yang sangat kucintai telah pergi. Semoga tidak yang satu lagi. Biarkan aku membahagiakannya, memberikan yang terbaik untuknya. Karena saat ini yang aku hanya punya dia dan Engkau. Kabulkan doaku.
Pemakaman sudah usai. Mama dan aku masih duduk di samping kuburan Reyvi, tepatnya di samping kuburan papa.
“Ma, kita pulang yuk!” aku menyentuh pundak mama. Mama hanya mengangguk. Kuletakkan surat Reyvi untuk papa di samping nisannya.
“Salam untuk papa ya, dek”, bisikku pelan
Angin sepoi membuat ranting kamboja bergoyang, burung-burung bersiul merdu seperti mengantar Reyvi ke lain dunia. Mengucapkan selamat berpisah untuk adindaku tersayang. Reyviku, selamat jalan.





Langsa, 05 September 2005





CINTA MENYAPA LUKA




“Apa Kak Yudha mau menikah dengan Nadya?”, Taqiyya bangkit dari duduknya. Perasaan gelisah meliputi hatinya. Telepon genggam di tangannya hampir terlepas.
“Maafkan aku, kalau berita ini membuatmu sedih. Aku tidak bermaksud seperti itu.”
“Sudahlah. Tidak apa, Fi. Terima kasih sudah memberitahukan. Baiklah, Assalamualaikum Fi.” Tanpa menunggu jawaban dari Alfi, ia sudah menutup teleponnya. Saat ini, ia hanya ingin pulang ke rumah dan menangis dalam kamar. Ia tidak ingin meluapkan perasaannya di sini.
Taqiyya meraih jasnya yang tersangkut di kursi, kemudian pergi dari ruangannya dengan terburu-buru.
“Dr. Taqiyya, mau kemana?” Sapaan dokter Fathar di koridor rumah sakit menghentikannya. Ia berusaha tersenyum.
“Maaf dok, saya tidak enak badan. Rencananya mau pulang sekarang.”
“Perlu saya antar?”
“Oh, tidak. Terima kasih. Saya bawa mobil kok, dok”, ujar Taqiyya sambil menunjukkan kunci mobil dalam genggaman tangannya.
“Maaf. Saya buru-buru.” Ditinggalkannya dokter Fathar di koridor. Ia langsung menuju parkiran rumah sakit. Tak lama kemudian, Hyundai silvernya sudah melaju menuju jalan.
cd

Taqiyya terisak di tempat tidurnya. Perasaan yang disimpannya bertahun-tahun kini hancur. Asa yang dirangkai dalam indahnya bingkai cinta di hatinya kini hancur bagai dihantam gelombang Tsunami. Ya, sekarang ia ingat. Ia punya seseorang untuk dicurhatinya. Seorang sahabat di dunia maya. Taqiyya langsung bangkit dan menuju ke depan monitor komputernya. Ia akan menceritakan pada Shaqil, teman mayanya yang sedang melanjutkan studi di Belanda.
<< Shaqil.. kamu tahu gimana perasaan aku sekarang? Sedih banget. Aku gak bisa ungkapin gimana hancurnya aku sekarang.
>> Gimana? Gimana? Kayak meledaknya WTC di Washington? Atau kayak Tsunami di Aceh dulu? Atau lebih parah lagi, semacam kota Hiroshima dan Nagasaki setelah kena bom atom di Jepang? :D
<< Shaqil.. L apa sih? Jangan ajak becanda deh sekarang. Aku marah nih :p
>> Sorry. Oke, terus gimana. Cerita dong, biar aku tahu. Barangkali aku bisa bantu sang bidadari yang lagi ditinggal jauh sama Shaqil tampan. (sorry, becanda lagi). Kamu jangan nangis lagi dong. Cup.. cup.. Hapus air matanya..
Taqiyya hanya tersenyum menanggapi candaan Shaqil. Ia tahu, Shaqil hanya ingin membuatnya tersenyum dan tertawa seperti hari-hari kemarin, saat ia bercerita tentang indahnya cinta yang ia rasakan untuk Yudha.
>> Ada apa, cinta? Cerita dong. Insya Allah aku akan bantu kamu. Ayo, cerita dulu.
Kali ini Shaqil agak serius, walaupun masih ada canda sedikit. Taqiyya menghapus air matanya dan mulai menyentuh huruf di keyboard kembali.
<< Kak Yudha mau nikah dengan Nadya
Ia mencoba menahan gejolak yang ada dalam dadanya. Namun, ia tidak bisa. Buncahan air mata berloncatan keluar dari matanya.
>> Sabar ya. Ingat, gak semua yang kita suka bisa kita miliki semuanya. Qiya masih ingat gak hadist rasul yang bunyinya gini: “Janganlah kamu menyukai sesuatu secara berlebihan, mungkin saja ia akan menjadi yang paling kau benci. Dan janganlah kamu membenci sesuatu secara berlebihan, mungkin ia akan menjadi yang paling kamu cintai”. Taqiyya ngertikan maksud hadist itu? Udah! Sekarang gak usah sedih lagi karena Yudha tuh terlalu hina untuk ditangisi, Yudha Cuma hamba Allah. Qiya mesti ingat tuh.
<< Qiya ngerti! Tapi, gak rela aja kalau kak Yudha sama Nadya. Coba misalnya: Shaqil suka sama Taqiyya mulai dari dulu. Terus yang jadi sama Taqiyya bukan Shaqil, tapi orang lain. Shaqil gak sedih?
>> Ya.. sedih juga kehilangan Taqiyya tersayang. Tapi kan gak mesti sedih banget gitu. Barangkali Yudha tuh emang jodohnya Nadya. Taqiyya, jodoh, rizki, dan maut sudah Allah catatkan di Lauh Mahfudz waktu kita lahir. Dan mungkin saja, Yudha bukan jodoh Taqiyya tapi orang lain. Ya kan? Nah, kesimpulannya, Taqiyya yang manis gak boleh nangis lagi. Buang perasaan tuh jauh-jauh. Cobalah berhadapan dengan realita dan terima apa adanya. Jalani hidup ini dengan tenang. Qiya ku sayang ngertikan?
<< Dari tadi Shaqil kok sayang-sayangan sih? Norak tau :p Tapi, makasi ya. Untuk nasihat-nasihatnya. Alhamdulillah aku udah tenang. Shaqil baek deh. Semoga saja Shaqil dapat istri yang shalihah.
>> Amien. Dan aku selalu berharap dia tuh Taqiyya.. :p J
Taqiyya tersenyum membaca chat terakhirnya dengan Shaqil.
cd

Rumah sakit Cut Meutia sudah terlihat sepi. Hanya tampak beberapa orang perawat sedang mendorong rak obat ke ruangannya. Taqiyya keluar dari ruangannya hendak pulang. Seorang perawat berjalan menuju ke arahnya.
“Dokter, ini ada undangan anda.”
“Oh.. terima kasih” Taqiyya meninggalkan perawat itu dan berjalan menuju ke parkiran rumah sakit untuk mengambil mobilnya. Di dalam mobil, ia membuka amplop tersebut. Aih, sebuah undangan. Berwarna hijau pula. Warna Yudha.
Taqiyya sempat beberapa kali mengedipkan matanya, tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Pelan diejanya..
“YUDHA AKBAR dan NADYA SYAKILLA”
Ia menarik napas dalam-dalam dan kemudian menghembusnya kuat-kuat agar ia kembali tenang. Taqiyya langsung memasukkan kembali undangan tersebut dan menghidupkan Hyundainya. Ia tidak ingin segera pulang. Taqiyya ingin berhenti di mesjid dulu.
cd

Taqiyya tersenyum sendiri di tangga mesjid ketika ia mengingat kejadian delapan tahun yang lalu. Saat ia baru pulang dari rumah sakit dan shalat zuhur di Mesjid Raya Baiturrahman Lhokseumawe ini. Seorang lelaki berhenti tepat di depannya. Jika dinilai dengan angka, ia bisa memberi nilai Sembilan untuknya. Manis, kelihatannya baik, shalih, dan juga pintar. Hampir sama dengan Yudha. Dulu, Taqiyya selalu menomorsatukan Yudha, namun sejak itu, ia bisa memberi rangking dua untuk Yudha, dan Fairuz.. The best! Ya, namanya Fairuz. Taqiyya tahu karena karena ia sempat memperhatikan stiker nama “Fairuz” pada motornya. Semenjak saat itu pula, Taqiyya tahu bahwa ada yang lebih baik dari seorang Yudha Akbar. Tapi pertemuan singkat itu tak pernah terulang dua kali walaupun Taqiyya selalu mendoakannya setiap usai salat.
Kemudian Taqiyya bangkit dan menuju mobilnya.
cd

<< Shaqil, kamu tau apa yang aku bayangkan ketika aku duduk di tangga mesjid tadi? Hupf, malu banget kalau kamu tau :p
>> kamu pasti bayangin tentang kita, kamu nunggu aku usai kita jamaah, terus sama-sama pulang ke rumah. Karena itu kan, makanya malu :p
<< kamu tuh.. ke-GR-an banget sih :p aku kan belum bilang apa-apa. Kamu tau, aku pernah bertemu seseorang di sana. Ia bisa mengalahkan Yudha di hati aku. Punya kesempurnaan yang sama seperti Yudha, punya mata teduh yang indah yang tak dipunyai Yudha. Rasa-rasanya kayak ada sejuta bintang deh di mata dia. :D Sayangnya, pertemuan itu tak ada dua kali. Padahal, aku slalu berdoa semoga bisa ketemu lagi dengannya. Shaqil, aku aneh ya?? L
>> Ya, gitu deh. Taqiyya agak aneh. Hahaha. Yudha-mu apa kabar?
<< Tak tau. Gak pernah lagi ada kontak dengannya. Dosa. Calon suami orang :p
>> oh, ya sudah. Lebih baik tuh. Eh, studi aku udah kelar. Rencana secepatnya akan pulang ke Indonesia. Mau oleh-oleh apa? J
<< Tuliiiiiiip. Mau tulip yang warnanya biru.
>> Oke. Insya Allah J Maafkan, mungkin seminggu ini kita tak bisa chatting. Aku sibuk. Kamu paham kan? Mengurus keberangkatanku. Aku janji, kita bertemu di depan mesjid yah.
<< Iya, aku tunggu. Sampai jumpa nanti ya J
Ia mematikan komputernya dan menghabiskan segelas susu di gelasnya. Setelah itu ia bangkit menuju tempat tidur. Taqiyya meraih foto di samping tempat tidurnya.
“Kak Yudha, Shaqil bisa membuatku tertawa dan tersenyum saat aku kehilanganmu. Aku tidak tahu, apakah Shaqil mampu menghilangkan luka dan menumbuhkan cinta untukku. Hanya waktu kan yang akan menjawabnya.”
Ia meletakkan kembali foto tersebut dan kemudian mematikan lampu disamping tempat tidurnya.
cd

Seminggu Kemudian..
Taqiyya buru-buru keluar dari ruangannya. Ia tidak ingin Shaqil menunggu lama di depan mesjid. Sapaan dokter dan perawat hanya dibalasnya dengan senyuman. Ia langsung ke parkiran mengambil Hyundai-nya dan kemudian melaju dengan keceatan sedang ke arah mesjid.
“Masih sepi. Shaqil belum datang”, gumamnya sendiri
Ia keluar dan duduk di tangga teratas.
“Maaf, aku terlambat” sebuah suara mengagetkannya. Spontan Taqiyya melihat ke arah sumber suara. Seorang pria berkacamata frame hitam berdiri di hadapannya. Tangan kanannya tersembunyi di belakang.
“Shaqil!” Taqiyya tersenyum ke arahnya. Deretan giginya yang bersih nampak rapi.
“Taqiyya, ini tulipnya. Istimewa dari sana untukmu.”
“Makasih.. kamu baik.” Taqiyya mengambil tulip pemberian Shaqil, senyumnya mengembang.
“Aku doakan… “
“Aku selalu berharap dia tuh Taqiyya Faradilla”, potong Shaqil
“Yee.. kamu tuh asal aja. Belum tentukan doa ku doa yang sama”
“Kalau aku serius, apa salahnya?”, Shaqil mengambil tempat di samping Taqiyya.
“Terus, lelaki delapan tahun yang lalu di mesjid ini? Aku masih tunggu dia datang”
“Tapi Taqiyya harus bilang iya kalau lelaki itu adalah aku”
Taqiyya mengernyitkan dahi, tidak paham dengan maksud Shaqil.
“Emm.. sebenarnya, aku juga pernah bertemu dengan seorang perempuan di sini. Waktu itu, ia pakai blus cokelat, pakai ransel hitam dan jilbabnya juga hitam.” Shaqil melirik kea rah Taqiyya. Ia menunduk dalam-dalam, Taqiyya sudah paham dengan teka-teki ini.
“Qiya, tahu gak.. aku selalu berharap semoga bisa bertemu lagi dengannya dan juga berdoa semoga pertemuan singkat kali itu tidak pernah terulangi lagi”
“Maksudnya?”
“Aku maunya kalau sudah ditemukan, Tuhan tak memisahkan lagi.”
Shaqil tersenyum ke arahnya.
“Tapikan kamu Shaqil, bukan Fairuz”, Taqiyya tampak ragu-ragu.
“Siapa bilang? Namaku M. Fairuz Shaqil kok!”
Seketika wajah Taqiyya berubah merah, sosok bermata teduh itu kini tepat di sampingnya.
cd

8 April 2006.
JA dan AF, Slalu ada kenangan tentang hidup






Quote

Quote

Total Pageviews