“Ma, Papa
kemana cih??”, pertanyaan yang berulangkali diajukan oleh Reyvi, adik kecilku
yang berumur lima tahun. Mama bungkam. Hanya tetes-tetes air mata yang mengalir
di pipinya. Kudekati Reyvi,
“Dek, Papa
udah pergi jauuuh sekali. Ke awan sana!”, kataku sambil menunjuk ke arah awan
yang sedang berarak-arakan di langit tinggi yang maha luas. Dia tersenyum,
“Sekarang,
Reyvi jangan tanya itu lagi ya, nanti mama sedih. Minta maaf sama mama”. Dia
mendekat
“Maafin
Reyvi mama ya!”. mama hanya mengangguk, lalu menghapus sisa air mata di
pipinya.
Kejadian
seminggu yang lalu masih terekam rapi dan bagus dalam ingatanku ketika papa keluar dari kantor. Sebuah jeep
berhenti dari jarak tidak begitu jauh dari papa. Seorang dari mereka menarik
picu pistolnya. Aku berteriak, namun jeritanku ditelan oleh suara letusan
pistol. Papa roboh, dengan darah yang mengucur deras dari dadanya. Aku berlari
meninggalkan pak sopir yang sudah kegugupan,
“Pa..
jangan tinggalkan Vika!”. Aku memangku papa.
“Vi.. ka..,
jag.. jagggaa mamma… dan Re…yvi” Itu pesan terakhir papa. Papa merenggangkan
nyawanya dari jasad. Begitu tragis
kematian papa. Aku tau, mama sangat terpukul, sedangkan Reyvi tidak tau
apa-apa.
Kuperhatikan
mama yang sudah rapi dengan seragam putihnya hendak ke rumah sakit. Ia melihat
ke arahku duduk yang sedang sarapan pagi bersama Reyvi. Ada butiran bening yang
mengalir dari pipi halus mama. Aku lupa, kalau sekarang aku sedang duduk di
kursi papa. Mungkin mengingatkan mama pada papa. Lagi pula, wajah papa
terjiplak habis-habisan padaku, putri pertama mereka. mama menghapus air
matanya, dan mendekat ke arah kami.
“Ma, Reyvi
biar pergi sama Vika aja ya.” aku meminta persetujuan Mama. Dia hanya
mengangguk. Itu cukup menjadi jawaban untukku. Sekolahku memang dekat dengan TK
Reyvi dan juga kantor papa. Akh.. papa, Vika rindu. Vika juga bangga punya papa
yang rela mati demi membela kebenaran.
Dua tahun
sudah berlalu sejak kematian papaku yang tragis. Aku sudah di bangku kuliah semester
satu UI. Mama menginginkan aku jadi dokter. Tapi tidak, aku akan menjadi
pengacara, seperti papa. Tekadku sudah bulat. Aku adalah Revinska Afril
Lavinza. Putri seorang pengacara.
Reyvi
sedang tertidur di kamarnya karena kelelahan. Ada kertas di tangannya. Ku tarik
pelan-pelan agar ia tidak terbangun. Aku membaca huruf-huruf yang mulai rapi
itu.
Untuk:
Yang selalu kurindukan,
Papaku di Surga
Assalamualaikum..
Papa, apa
kabar? Reyvi baik-baik aja disini. Begitu juga dengan kak Vika dan Mama. Kami
rinduu.. sekali pada Papa.
Pa,
sekarang Reyvi sudah kelas dua SD. Kak Vika juga sudah kuliah. Dia ingin
seperti Papa, jadi pengacara. Kalau kak Vika jadi pengacara, Reyvi jadi dokter
aja papa ya? biar sama kaya mama.. . Boleh
papa ya?
Pa, kalau
nanti Reyvi tamasya ke surga, kita jalan-jalan ya. keliling sama kak Vika dan
Mama. Papa, Reyvi pernah lihat kak Vika lagi salat tengah malam, dia nangis.
Kak Vika doain papa di surga. Reyvi juga ada doain papa habis salat. Mama yang
ngajarin Reyvi salat. Kak vika juga ajarin Reyvi baca doa. Reyvi juga pake
kerudung.. taraaa. Papa banggakan punya putri cantik kaya Reyvi? Papa sayang
Reyvi kan? Papa juga sayang sama kak Vika dan Mama kan? Oh ya pa, Reyvi juga
belajar baca iqro’..
Pa, Reyvi
gak tau harus ngirim surat ini lewat siapa. Lewat pak pos? nanti Reyvi coba
deh. Kalau gak bisa, biar Reyvi aja yang antar ke surga papa. Tunggu Reyvi, pa
ya.
Papa, udah
dulu ya. Reyvi udah capek. Kata mama, Reyvi jangan kecapekan, asma Reyvi kumat.
Kalau asmanya lagi kumat, sakiiit banget. Pa, salam untuk semua orang di surga
ya. Reyvi mau jadi penghuni surga juga. Hehehe..
Peluk cium,
Reyvinsta nya papa
Air mataku
telah membasahi surat Reyvi. Rabbi, alangkah rindunya adikku pada papa. Kulihat
tubuhnya menggeliat, ia tersenyum dalam tidur. Ah.. adikku, mimpi apa sayang?
Dia terbangun,
“Kak Vika,
papa jemput Reyvi, ngajak jalan-jalan ke surga Firdaus katanya. Reyvi ikut papa
ya. reyvi mau pamit sama mama.”
Ia berlari
menuruni tangga untuk menuju ke arah dapur.
“Reyvi, jangan
lari. Awas jatuh!” Teriakanku terlambat. Tubuhnya terguling dengan cepat di
tangga.
“Mamaaa,,
Reyvi, maa… ” aku berteriak. Mama lalu berlari ke arah tangga masih dengan
celamik di badannya. Mama berteriak histeris. Reyvi pingsan.
Bau obat
rumah sakit terhirup di alat pernafasanku. Sudah dua jam kami menunggu Reyvi
sadar. Tapi ia belum juga sadar. Mama tidak dapat berbuat apa-apa. Tidak lama
kemudian,
“Mama…”
Reyvi mendesah pelan. Mama membelai rambutnya.
“iya
sayang.. ini mama.”
“Ma.. Reyvi
lihat papa. Kak Vika.. papa ajak Reyvi ke surga. Reyvi pergi ya”. mama menangis
terisak. Sebuah isyarat kalau Reyvi akan pergi. Beberapa menit kemudian, Reyvi
mulai kelihatan susah bernafas,
“Dek..
Ingat sama Allah, sayang” aku berbisik
Reyvi
menghembuskan nafas terakhirnya. Ah, adikku. Begitu cepat kau susul papa.
“Vika, mama
gak sanggup” kata mama sambil terisak
“Reyvi
sudah tenang, mama”
Malamnya,
kubacakan sekali lagi surat Reyvi untuk papa. Ah.. Reyvi sudah tibakah engkau
di tempat papa? Sekarang kak Vika kangen.. sekali sama Reyvi. Air mataku
menetes. Rabbi, tabahkan hati. Dua orang yang sangat kucintai telah pergi.
Semoga tidak yang satu lagi. Biarkan aku membahagiakannya, memberikan yang
terbaik untuknya. Karena saat ini yang aku hanya punya dia dan Engkau. Kabulkan
doaku.
Pemakaman
sudah usai. Mama dan aku masih duduk di samping kuburan Reyvi, tepatnya di
samping kuburan papa.
“Ma, kita
pulang yuk!” aku menyentuh pundak mama. Mama hanya mengangguk. Kuletakkan surat
Reyvi untuk papa di samping nisannya.
“Salam
untuk papa ya, dek”, bisikku pelan
Angin sepoi
membuat ranting kamboja bergoyang, burung-burung bersiul merdu seperti
mengantar Reyvi ke lain dunia. Mengucapkan selamat berpisah untuk adindaku
tersayang. Reyviku, selamat jalan.
Langsa, 05 September 2005

