Rabu, 17 Oktober 2012

CINTA MENYAPA LUKA




“Apa Kak Yudha mau menikah dengan Nadya?”, Taqiyya bangkit dari duduknya. Perasaan gelisah meliputi hatinya. Telepon genggam di tangannya hampir terlepas.
“Maafkan aku, kalau berita ini membuatmu sedih. Aku tidak bermaksud seperti itu.”
“Sudahlah. Tidak apa, Fi. Terima kasih sudah memberitahukan. Baiklah, Assalamualaikum Fi.” Tanpa menunggu jawaban dari Alfi, ia sudah menutup teleponnya. Saat ini, ia hanya ingin pulang ke rumah dan menangis dalam kamar. Ia tidak ingin meluapkan perasaannya di sini.
Taqiyya meraih jasnya yang tersangkut di kursi, kemudian pergi dari ruangannya dengan terburu-buru.
“Dr. Taqiyya, mau kemana?” Sapaan dokter Fathar di koridor rumah sakit menghentikannya. Ia berusaha tersenyum.
“Maaf dok, saya tidak enak badan. Rencananya mau pulang sekarang.”
“Perlu saya antar?”
“Oh, tidak. Terima kasih. Saya bawa mobil kok, dok”, ujar Taqiyya sambil menunjukkan kunci mobil dalam genggaman tangannya.
“Maaf. Saya buru-buru.” Ditinggalkannya dokter Fathar di koridor. Ia langsung menuju parkiran rumah sakit. Tak lama kemudian, Hyundai silvernya sudah melaju menuju jalan.
cd

Taqiyya terisak di tempat tidurnya. Perasaan yang disimpannya bertahun-tahun kini hancur. Asa yang dirangkai dalam indahnya bingkai cinta di hatinya kini hancur bagai dihantam gelombang Tsunami. Ya, sekarang ia ingat. Ia punya seseorang untuk dicurhatinya. Seorang sahabat di dunia maya. Taqiyya langsung bangkit dan menuju ke depan monitor komputernya. Ia akan menceritakan pada Shaqil, teman mayanya yang sedang melanjutkan studi di Belanda.
<< Shaqil.. kamu tahu gimana perasaan aku sekarang? Sedih banget. Aku gak bisa ungkapin gimana hancurnya aku sekarang.
>> Gimana? Gimana? Kayak meledaknya WTC di Washington? Atau kayak Tsunami di Aceh dulu? Atau lebih parah lagi, semacam kota Hiroshima dan Nagasaki setelah kena bom atom di Jepang? :D
<< Shaqil.. L apa sih? Jangan ajak becanda deh sekarang. Aku marah nih :p
>> Sorry. Oke, terus gimana. Cerita dong, biar aku tahu. Barangkali aku bisa bantu sang bidadari yang lagi ditinggal jauh sama Shaqil tampan. (sorry, becanda lagi). Kamu jangan nangis lagi dong. Cup.. cup.. Hapus air matanya..
Taqiyya hanya tersenyum menanggapi candaan Shaqil. Ia tahu, Shaqil hanya ingin membuatnya tersenyum dan tertawa seperti hari-hari kemarin, saat ia bercerita tentang indahnya cinta yang ia rasakan untuk Yudha.
>> Ada apa, cinta? Cerita dong. Insya Allah aku akan bantu kamu. Ayo, cerita dulu.
Kali ini Shaqil agak serius, walaupun masih ada canda sedikit. Taqiyya menghapus air matanya dan mulai menyentuh huruf di keyboard kembali.
<< Kak Yudha mau nikah dengan Nadya
Ia mencoba menahan gejolak yang ada dalam dadanya. Namun, ia tidak bisa. Buncahan air mata berloncatan keluar dari matanya.
>> Sabar ya. Ingat, gak semua yang kita suka bisa kita miliki semuanya. Qiya masih ingat gak hadist rasul yang bunyinya gini: “Janganlah kamu menyukai sesuatu secara berlebihan, mungkin saja ia akan menjadi yang paling kau benci. Dan janganlah kamu membenci sesuatu secara berlebihan, mungkin ia akan menjadi yang paling kamu cintai”. Taqiyya ngertikan maksud hadist itu? Udah! Sekarang gak usah sedih lagi karena Yudha tuh terlalu hina untuk ditangisi, Yudha Cuma hamba Allah. Qiya mesti ingat tuh.
<< Qiya ngerti! Tapi, gak rela aja kalau kak Yudha sama Nadya. Coba misalnya: Shaqil suka sama Taqiyya mulai dari dulu. Terus yang jadi sama Taqiyya bukan Shaqil, tapi orang lain. Shaqil gak sedih?
>> Ya.. sedih juga kehilangan Taqiyya tersayang. Tapi kan gak mesti sedih banget gitu. Barangkali Yudha tuh emang jodohnya Nadya. Taqiyya, jodoh, rizki, dan maut sudah Allah catatkan di Lauh Mahfudz waktu kita lahir. Dan mungkin saja, Yudha bukan jodoh Taqiyya tapi orang lain. Ya kan? Nah, kesimpulannya, Taqiyya yang manis gak boleh nangis lagi. Buang perasaan tuh jauh-jauh. Cobalah berhadapan dengan realita dan terima apa adanya. Jalani hidup ini dengan tenang. Qiya ku sayang ngertikan?
<< Dari tadi Shaqil kok sayang-sayangan sih? Norak tau :p Tapi, makasi ya. Untuk nasihat-nasihatnya. Alhamdulillah aku udah tenang. Shaqil baek deh. Semoga saja Shaqil dapat istri yang shalihah.
>> Amien. Dan aku selalu berharap dia tuh Taqiyya.. :p J
Taqiyya tersenyum membaca chat terakhirnya dengan Shaqil.
cd

Rumah sakit Cut Meutia sudah terlihat sepi. Hanya tampak beberapa orang perawat sedang mendorong rak obat ke ruangannya. Taqiyya keluar dari ruangannya hendak pulang. Seorang perawat berjalan menuju ke arahnya.
“Dokter, ini ada undangan anda.”
“Oh.. terima kasih” Taqiyya meninggalkan perawat itu dan berjalan menuju ke parkiran rumah sakit untuk mengambil mobilnya. Di dalam mobil, ia membuka amplop tersebut. Aih, sebuah undangan. Berwarna hijau pula. Warna Yudha.
Taqiyya sempat beberapa kali mengedipkan matanya, tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Pelan diejanya..
“YUDHA AKBAR dan NADYA SYAKILLA”
Ia menarik napas dalam-dalam dan kemudian menghembusnya kuat-kuat agar ia kembali tenang. Taqiyya langsung memasukkan kembali undangan tersebut dan menghidupkan Hyundainya. Ia tidak ingin segera pulang. Taqiyya ingin berhenti di mesjid dulu.
cd

Taqiyya tersenyum sendiri di tangga mesjid ketika ia mengingat kejadian delapan tahun yang lalu. Saat ia baru pulang dari rumah sakit dan shalat zuhur di Mesjid Raya Baiturrahman Lhokseumawe ini. Seorang lelaki berhenti tepat di depannya. Jika dinilai dengan angka, ia bisa memberi nilai Sembilan untuknya. Manis, kelihatannya baik, shalih, dan juga pintar. Hampir sama dengan Yudha. Dulu, Taqiyya selalu menomorsatukan Yudha, namun sejak itu, ia bisa memberi rangking dua untuk Yudha, dan Fairuz.. The best! Ya, namanya Fairuz. Taqiyya tahu karena karena ia sempat memperhatikan stiker nama “Fairuz” pada motornya. Semenjak saat itu pula, Taqiyya tahu bahwa ada yang lebih baik dari seorang Yudha Akbar. Tapi pertemuan singkat itu tak pernah terulang dua kali walaupun Taqiyya selalu mendoakannya setiap usai salat.
Kemudian Taqiyya bangkit dan menuju mobilnya.
cd

<< Shaqil, kamu tau apa yang aku bayangkan ketika aku duduk di tangga mesjid tadi? Hupf, malu banget kalau kamu tau :p
>> kamu pasti bayangin tentang kita, kamu nunggu aku usai kita jamaah, terus sama-sama pulang ke rumah. Karena itu kan, makanya malu :p
<< kamu tuh.. ke-GR-an banget sih :p aku kan belum bilang apa-apa. Kamu tau, aku pernah bertemu seseorang di sana. Ia bisa mengalahkan Yudha di hati aku. Punya kesempurnaan yang sama seperti Yudha, punya mata teduh yang indah yang tak dipunyai Yudha. Rasa-rasanya kayak ada sejuta bintang deh di mata dia. :D Sayangnya, pertemuan itu tak ada dua kali. Padahal, aku slalu berdoa semoga bisa ketemu lagi dengannya. Shaqil, aku aneh ya?? L
>> Ya, gitu deh. Taqiyya agak aneh. Hahaha. Yudha-mu apa kabar?
<< Tak tau. Gak pernah lagi ada kontak dengannya. Dosa. Calon suami orang :p
>> oh, ya sudah. Lebih baik tuh. Eh, studi aku udah kelar. Rencana secepatnya akan pulang ke Indonesia. Mau oleh-oleh apa? J
<< Tuliiiiiiip. Mau tulip yang warnanya biru.
>> Oke. Insya Allah J Maafkan, mungkin seminggu ini kita tak bisa chatting. Aku sibuk. Kamu paham kan? Mengurus keberangkatanku. Aku janji, kita bertemu di depan mesjid yah.
<< Iya, aku tunggu. Sampai jumpa nanti ya J
Ia mematikan komputernya dan menghabiskan segelas susu di gelasnya. Setelah itu ia bangkit menuju tempat tidur. Taqiyya meraih foto di samping tempat tidurnya.
“Kak Yudha, Shaqil bisa membuatku tertawa dan tersenyum saat aku kehilanganmu. Aku tidak tahu, apakah Shaqil mampu menghilangkan luka dan menumbuhkan cinta untukku. Hanya waktu kan yang akan menjawabnya.”
Ia meletakkan kembali foto tersebut dan kemudian mematikan lampu disamping tempat tidurnya.
cd

Seminggu Kemudian..
Taqiyya buru-buru keluar dari ruangannya. Ia tidak ingin Shaqil menunggu lama di depan mesjid. Sapaan dokter dan perawat hanya dibalasnya dengan senyuman. Ia langsung ke parkiran mengambil Hyundai-nya dan kemudian melaju dengan keceatan sedang ke arah mesjid.
“Masih sepi. Shaqil belum datang”, gumamnya sendiri
Ia keluar dan duduk di tangga teratas.
“Maaf, aku terlambat” sebuah suara mengagetkannya. Spontan Taqiyya melihat ke arah sumber suara. Seorang pria berkacamata frame hitam berdiri di hadapannya. Tangan kanannya tersembunyi di belakang.
“Shaqil!” Taqiyya tersenyum ke arahnya. Deretan giginya yang bersih nampak rapi.
“Taqiyya, ini tulipnya. Istimewa dari sana untukmu.”
“Makasih.. kamu baik.” Taqiyya mengambil tulip pemberian Shaqil, senyumnya mengembang.
“Aku doakan… “
“Aku selalu berharap dia tuh Taqiyya Faradilla”, potong Shaqil
“Yee.. kamu tuh asal aja. Belum tentukan doa ku doa yang sama”
“Kalau aku serius, apa salahnya?”, Shaqil mengambil tempat di samping Taqiyya.
“Terus, lelaki delapan tahun yang lalu di mesjid ini? Aku masih tunggu dia datang”
“Tapi Taqiyya harus bilang iya kalau lelaki itu adalah aku”
Taqiyya mengernyitkan dahi, tidak paham dengan maksud Shaqil.
“Emm.. sebenarnya, aku juga pernah bertemu dengan seorang perempuan di sini. Waktu itu, ia pakai blus cokelat, pakai ransel hitam dan jilbabnya juga hitam.” Shaqil melirik kea rah Taqiyya. Ia menunduk dalam-dalam, Taqiyya sudah paham dengan teka-teki ini.
“Qiya, tahu gak.. aku selalu berharap semoga bisa bertemu lagi dengannya dan juga berdoa semoga pertemuan singkat kali itu tidak pernah terulangi lagi”
“Maksudnya?”
“Aku maunya kalau sudah ditemukan, Tuhan tak memisahkan lagi.”
Shaqil tersenyum ke arahnya.
“Tapikan kamu Shaqil, bukan Fairuz”, Taqiyya tampak ragu-ragu.
“Siapa bilang? Namaku M. Fairuz Shaqil kok!”
Seketika wajah Taqiyya berubah merah, sosok bermata teduh itu kini tepat di sampingnya.
cd

8 April 2006.
JA dan AF, Slalu ada kenangan tentang hidup






Quote

Quote

Total Pageviews