“Apa Kak Yudha mau menikah dengan Nadya?”,
Taqiyya bangkit dari duduknya. Perasaan gelisah meliputi hatinya. Telepon
genggam di tangannya hampir terlepas.
“Maafkan aku, kalau berita ini membuatmu
sedih. Aku tidak bermaksud seperti itu.”
“Sudahlah. Tidak apa, Fi. Terima kasih sudah
memberitahukan. Baiklah, Assalamualaikum Fi.” Tanpa menunggu jawaban dari Alfi,
ia sudah menutup teleponnya. Saat ini, ia hanya ingin pulang ke rumah dan
menangis dalam kamar. Ia tidak ingin meluapkan perasaannya di sini.
Taqiyya meraih jasnya yang tersangkut di
kursi, kemudian pergi dari ruangannya dengan terburu-buru.
“Dr. Taqiyya, mau kemana?” Sapaan dokter
Fathar di koridor rumah sakit menghentikannya. Ia berusaha tersenyum.
“Maaf dok, saya tidak enak badan. Rencananya
mau pulang sekarang.”
“Perlu saya antar?”
“Oh, tidak. Terima kasih. Saya bawa mobil
kok, dok”, ujar Taqiyya sambil menunjukkan kunci mobil dalam genggaman
tangannya.
“Maaf. Saya buru-buru.” Ditinggalkannya
dokter Fathar di koridor. Ia langsung menuju parkiran rumah sakit. Tak lama
kemudian, Hyundai silvernya sudah melaju menuju jalan.
cd
Taqiyya terisak di tempat tidurnya. Perasaan
yang disimpannya bertahun-tahun kini hancur. Asa yang dirangkai dalam indahnya
bingkai cinta di hatinya kini hancur bagai dihantam gelombang Tsunami. Ya,
sekarang ia ingat. Ia punya seseorang untuk dicurhatinya. Seorang sahabat di
dunia maya. Taqiyya langsung bangkit dan menuju ke depan monitor komputernya. Ia
akan menceritakan pada Shaqil, teman mayanya yang sedang melanjutkan studi di
Belanda.
<< Shaqil.. kamu tahu gimana perasaan
aku sekarang? Sedih banget. Aku gak bisa ungkapin gimana hancurnya aku
sekarang.
>> Gimana? Gimana? Kayak meledaknya WTC
di Washington? Atau kayak Tsunami di Aceh dulu? Atau lebih parah lagi, semacam
kota Hiroshima dan Nagasaki setelah kena bom atom di Jepang? :D
<< Shaqil.. L
apa sih? Jangan ajak becanda deh sekarang. Aku marah nih :p
>> Sorry. Oke, terus gimana. Cerita
dong, biar aku tahu. Barangkali aku bisa bantu sang bidadari yang lagi
ditinggal jauh sama Shaqil tampan. (sorry, becanda lagi). Kamu jangan nangis
lagi dong. Cup.. cup.. Hapus air matanya..
Taqiyya hanya tersenyum menanggapi candaan
Shaqil. Ia tahu, Shaqil hanya ingin membuatnya tersenyum dan tertawa seperti
hari-hari kemarin, saat ia bercerita tentang indahnya cinta yang ia rasakan
untuk Yudha.
>> Ada apa, cinta? Cerita dong. Insya
Allah aku akan bantu kamu. Ayo, cerita dulu.
Kali ini Shaqil agak serius, walaupun masih
ada canda sedikit. Taqiyya menghapus air matanya dan mulai menyentuh huruf di
keyboard kembali.
<< Kak Yudha mau nikah dengan Nadya
Ia mencoba menahan gejolak yang ada dalam
dadanya. Namun, ia tidak bisa. Buncahan air mata berloncatan keluar dari
matanya.
>> Sabar ya. Ingat, gak semua yang kita
suka bisa kita miliki semuanya. Qiya masih ingat gak hadist rasul yang bunyinya
gini: “Janganlah kamu menyukai sesuatu secara berlebihan, mungkin saja ia akan
menjadi yang paling kau benci. Dan janganlah kamu membenci sesuatu secara berlebihan,
mungkin ia akan menjadi yang paling kamu cintai”. Taqiyya ngertikan maksud
hadist itu? Udah! Sekarang gak usah sedih lagi karena Yudha tuh terlalu hina
untuk ditangisi, Yudha Cuma hamba Allah. Qiya mesti ingat tuh.
<< Qiya ngerti! Tapi, gak rela aja
kalau kak Yudha sama Nadya. Coba misalnya: Shaqil suka sama Taqiyya mulai dari
dulu. Terus yang jadi sama Taqiyya bukan Shaqil, tapi orang lain. Shaqil gak
sedih?
>> Ya.. sedih juga kehilangan Taqiyya
tersayang. Tapi kan gak mesti sedih banget gitu. Barangkali Yudha tuh emang
jodohnya Nadya. Taqiyya, jodoh, rizki, dan maut sudah Allah catatkan di Lauh
Mahfudz waktu kita lahir. Dan mungkin saja, Yudha bukan jodoh Taqiyya tapi
orang lain. Ya kan? Nah, kesimpulannya, Taqiyya yang manis gak boleh nangis
lagi. Buang perasaan tuh jauh-jauh. Cobalah berhadapan dengan realita dan
terima apa adanya. Jalani hidup ini dengan tenang. Qiya ku sayang ngertikan?
<< Dari tadi Shaqil kok sayang-sayangan
sih? Norak tau :p Tapi, makasi ya. Untuk nasihat-nasihatnya. Alhamdulillah aku
udah tenang. Shaqil baek deh. Semoga saja Shaqil dapat istri yang shalihah.
>> Amien. Dan aku selalu berharap dia
tuh Taqiyya.. :p J
Taqiyya tersenyum membaca chat terakhirnya
dengan Shaqil.
cd
Rumah sakit Cut Meutia sudah terlihat sepi.
Hanya tampak beberapa orang perawat sedang mendorong rak obat ke ruangannya.
Taqiyya keluar dari ruangannya hendak pulang. Seorang perawat berjalan menuju
ke arahnya.
“Dokter, ini ada undangan anda.”
“Oh.. terima kasih” Taqiyya meninggalkan
perawat itu dan berjalan menuju ke parkiran rumah sakit untuk mengambil
mobilnya. Di dalam mobil, ia membuka amplop tersebut. Aih, sebuah undangan.
Berwarna hijau pula. Warna Yudha.
Taqiyya sempat beberapa kali mengedipkan
matanya, tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Pelan diejanya..
“YUDHA AKBAR dan NADYA SYAKILLA”
Ia menarik napas dalam-dalam dan kemudian
menghembusnya kuat-kuat agar ia kembali tenang. Taqiyya langsung memasukkan
kembali undangan tersebut dan menghidupkan Hyundainya. Ia tidak ingin segera
pulang. Taqiyya ingin berhenti di mesjid dulu.
cd
Taqiyya tersenyum sendiri di tangga mesjid
ketika ia mengingat kejadian delapan tahun yang lalu. Saat ia baru pulang dari
rumah sakit dan shalat zuhur di Mesjid Raya Baiturrahman Lhokseumawe ini.
Seorang lelaki berhenti tepat di depannya. Jika dinilai dengan angka, ia bisa
memberi nilai Sembilan untuknya. Manis, kelihatannya baik, shalih, dan juga
pintar. Hampir sama dengan Yudha. Dulu, Taqiyya selalu menomorsatukan Yudha,
namun sejak itu, ia bisa memberi rangking dua untuk Yudha, dan Fairuz.. The
best! Ya, namanya Fairuz. Taqiyya tahu karena karena ia sempat memperhatikan
stiker nama “Fairuz” pada motornya. Semenjak saat itu pula, Taqiyya tahu bahwa
ada yang lebih baik dari seorang Yudha Akbar. Tapi pertemuan singkat itu tak
pernah terulang dua kali walaupun Taqiyya selalu mendoakannya setiap usai
salat.
Kemudian Taqiyya bangkit dan menuju mobilnya.
cd
<< Shaqil, kamu tau apa yang aku
bayangkan ketika aku duduk di tangga mesjid tadi? Hupf, malu banget kalau kamu
tau :p
>> kamu pasti bayangin tentang kita,
kamu nunggu aku usai kita jamaah, terus sama-sama pulang ke rumah. Karena itu
kan, makanya malu :p
<< kamu tuh.. ke-GR-an banget sih :p
aku kan belum bilang apa-apa. Kamu tau, aku pernah bertemu seseorang di sana.
Ia bisa mengalahkan Yudha di hati aku. Punya kesempurnaan yang sama seperti
Yudha, punya mata teduh yang indah yang tak dipunyai Yudha. Rasa-rasanya kayak
ada sejuta bintang deh di mata dia. :D Sayangnya, pertemuan itu tak ada dua
kali. Padahal, aku slalu berdoa semoga bisa ketemu lagi dengannya. Shaqil, aku
aneh ya?? L
>> Ya, gitu deh. Taqiyya agak aneh.
Hahaha. Yudha-mu apa kabar?
<< Tak tau. Gak pernah lagi ada kontak
dengannya. Dosa. Calon suami orang :p
>> oh, ya sudah. Lebih baik tuh. Eh,
studi aku udah kelar. Rencana secepatnya akan pulang ke Indonesia. Mau
oleh-oleh apa? J
<< Tuliiiiiiip. Mau tulip yang warnanya
biru.
>> Oke. Insya Allah J
Maafkan, mungkin seminggu ini kita tak bisa chatting. Aku sibuk. Kamu paham kan?
Mengurus keberangkatanku. Aku janji, kita bertemu di depan mesjid yah.
<< Iya, aku tunggu. Sampai jumpa nanti
ya J
Ia mematikan komputernya dan menghabiskan
segelas susu di gelasnya. Setelah itu ia bangkit menuju tempat tidur. Taqiyya
meraih foto di samping tempat tidurnya.
“Kak Yudha, Shaqil bisa membuatku tertawa dan
tersenyum saat aku kehilanganmu. Aku tidak tahu, apakah Shaqil mampu
menghilangkan luka dan menumbuhkan cinta untukku. Hanya waktu kan yang akan
menjawabnya.”
Ia meletakkan kembali foto tersebut dan
kemudian mematikan lampu disamping tempat tidurnya.
cd
Seminggu
Kemudian..
Taqiyya buru-buru keluar dari ruangannya. Ia
tidak ingin Shaqil menunggu lama di depan mesjid. Sapaan dokter dan perawat
hanya dibalasnya dengan senyuman. Ia langsung ke parkiran mengambil Hyundai-nya
dan kemudian melaju dengan keceatan sedang ke arah mesjid.
“Masih sepi. Shaqil belum datang”, gumamnya
sendiri
Ia keluar dan duduk di tangga teratas.
“Maaf, aku terlambat” sebuah suara
mengagetkannya. Spontan Taqiyya melihat ke arah sumber suara. Seorang pria
berkacamata frame hitam berdiri di hadapannya. Tangan kanannya tersembunyi di
belakang.
“Shaqil!” Taqiyya tersenyum ke arahnya.
Deretan giginya yang bersih nampak rapi.
“Taqiyya, ini tulipnya. Istimewa dari sana
untukmu.”
“Makasih.. kamu baik.” Taqiyya mengambil
tulip pemberian Shaqil, senyumnya mengembang.
“Aku doakan… “
“Aku selalu berharap dia tuh Taqiyya
Faradilla”, potong Shaqil
“Yee.. kamu tuh asal aja. Belum tentukan doa
ku doa yang sama”
“Kalau aku serius, apa salahnya?”, Shaqil
mengambil tempat di samping Taqiyya.
“Terus, lelaki delapan tahun yang lalu di
mesjid ini? Aku masih tunggu dia datang”
“Tapi Taqiyya harus bilang iya kalau lelaki
itu adalah aku”
Taqiyya mengernyitkan dahi, tidak paham
dengan maksud Shaqil.
“Emm.. sebenarnya, aku juga pernah bertemu
dengan seorang perempuan di sini. Waktu itu, ia pakai blus cokelat, pakai
ransel hitam dan jilbabnya juga hitam.” Shaqil melirik kea rah Taqiyya. Ia
menunduk dalam-dalam, Taqiyya sudah paham dengan teka-teki ini.
“Qiya, tahu gak.. aku selalu berharap semoga
bisa bertemu lagi dengannya dan juga berdoa semoga pertemuan singkat kali itu
tidak pernah terulangi lagi”
“Maksudnya?”
“Aku maunya kalau sudah ditemukan, Tuhan tak
memisahkan lagi.”
Shaqil tersenyum ke arahnya.
“Tapikan kamu Shaqil, bukan Fairuz”, Taqiyya
tampak ragu-ragu.
“Siapa bilang? Namaku M. Fairuz Shaqil kok!”
Seketika wajah Taqiyya berubah merah, sosok
bermata teduh itu kini tepat di sampingnya.
cd
8 April 2006.
JA dan AF, Slalu ada kenangan
tentang hidup

