Pernahkan
kau merindukan seseorang? Ingin melihatnya sedekat mungkin? Meraba wajahnya
dengan telapakmu, lalu membawa telapaknya dan menyembunyikan di balik pipimu?
Seringkah kau merindukan seseorang yang hanya kau temukan bekas bayangnya di
mindamu lalu kau angankan ia sepanjang harimu? Pernahkan kau mengharapkan
seseorang seperti kau mengharapkannya? Dalam-dalam… Lalu, Bagaimana rasanya
mencintai seseorang, mengaguminya secara diam-diam, menatapnya setiap kali ia ada
di hadapanmu dan berharap ia menyapa lebih dulu? Bagaimana jika semakin ingin
kau membencinya semakin dalam pula kau mencintainya?
Ceritakan, bagaimana kau bertahan dengan perasaan cintamu yang hampir memenuh
menuju leher, mencekikmu hendak membunuh. Bagaimana kau mengawal cintamu saat
kau di sampingnya dan meleleh ketika melihat senyumnya ke arahmu. Apa yang akan
kau lakukan ketika langkahnya menujumu, pelan bertanya kabarmu dengan riang?
Apakah kau akan membeku ketika menatap matanya berbinar?
Apakah
kau pernah bermimpi ingin memulai pagi bersamanya? Lalu, menjelang malam, kau
kebingungan untuk mengucapkan selamat malam dan ingin terdengar indah di
telinganya? Bagaimana rasanya ketika kau berkhayal ia bangun pagi dan kau
siapkan kopinya? Bagaimana rasanya ketika kau memberesi tempat tidur dan
harumnya masih menempel di bantal? Bagaimana rasanya menjadi orang yang paling
ia butuhkan di sampingnya, orang pertama yang ia panggil ketika memerlukan
sesuatu? Namamu kemudian yang ia panggil saban hari dan ada di daftar panggilan
pertama di telepon genggamnya? Pernahkah kau berkhayal selalu ingin berada di
dekatnya seperti itu?
Lalu, Bagaimana
rasanya setelah kau tau ia adalah seseorang yang tak dapat kau miliki? Ia
adalah hal nyata yang tak akan pernah jadi nyata untukmu. Ia seperti mimpi
tengah hari yang tak akan pernah jadi nyata. Ia seperti harapan yang kau bangun
lalu kau hancurkan sendiri.
Tapi, kau
mencintainya. Sangat mencintainya.
Tuhan
tentu punya jawaban.
Banda
Aceh, 7 Oktober ‘12

