Rabu, 10 Februari 2016

Jembatan dan Kenangan-Kenangan


Berpuluh tahun kemudian ia akan ingat, ia pernah menikmati malam yang indah di jembatan ini. Laut malam yang tenang mengirimkan gigil yang menggemeletukkan tulang-tulang, angin berpusar sekitarnya seolah mengepung dari berbagai penjuru. Dalam gelap yang sembab oleh cuaca, ia melihat rumah-rumah panggung penduduk berjejer rapi di pinggiran pantai. Lampunya berpendar pada gelombang air pasang yang beringsut digoyang angin. Menciptakan lilin-lilin imaji dalam pikirannya. Ya, ia seperti melihat ratusan lilin mengelilingi bukit rimbun menggelap yang jauh di belakangnya. Tampak puncak Gunung Datok menjulang ke langit. Ia ingat kunang-kunang yang bercahaya sepanjang malam di kebun belakang rumahnya yang ditumbuhi jagung muda. Ia sedang merindukan rumahnya saat itu, tapi berpuluh tahun kemudian ia juga merindukan malam di tepi jembatan itu. Dari tempatnya duduk, lampu perahu nelayan berkedip dalam kelam. Bulan sedang tak singgah malam itu. Ia kurung badannya dengan dua tangan yang melingkari tubuh. Jaket tebalnya tak mampu mengusir dingin yang menusuk.

“Apakah kita akan lupa malam ini ketika suatu hari tak di sini?” ia melempar pandang pada seorang teman di sisinya. Perempuan itu tersenyum sebentar, mengira-ngira bagaimana suatu hari nanti.
“Bagaimana bisa? Di sini begitu damai, indah. Bahkan dalam gelap sekalipun.”
“Beginikah surga di malam hari?”
Temannya tidak menjawab, malah tertawa.

Ia melihat sekitar. Merasa-rasa bagaimana kerinduan yang akan melandanya bertahun-tahun kemudian. Pulau Berhala di hadapannya tampak gulita dengan pohonan besar dan batu-batu raksasa yang melindunginya. Oleh penduduk, dibagi pulau itu menjadi dua. Di bagian kiri pulau dibangun pelabuhan Feri antarpulau ke ibukota propinsi dan kabupaten. Sedangkan di sisi kanan terdapat dermaga yang biasa disinggahi kapal Pelni Trigas dan Gunung Bintan. Untuk sampai ke dermaga dan pelabuhan, di tengah-tengah Pulau Berhala dibangunlah jalan dan jembatan. Jembatan dari semen itu menyambung dari pinggir jalan perkampungan ke arah laut, dibangun atas tiang-tiang yang kokoh. Di bawahnya, laut yang jernih seolah bisa menembus pandangan hingga ke dasar yang paling dalam. Laut menjadi cermin ajaib ketika ditimpa cahaya, tampak ikan-ikan dengan berbagai jenis semarak kegirangan di antara terumbu karang.

Jembatan yang sedang ia duduki saat itu ialah jembatan panjang yang dibangun itu. Mereka menyebutnya Semen Panjang Berhala, karena panjang dan dibuat dari semen. Setiap menjelang sore, jembatan itu ramai dilalui orang-orang. Berpasang-pasang suami istri dengan anak-anak mereka, remaja yang jatuh cinta dan tertawa cekikikan di atas motor, anak-anak perempuan dengan rambut panjang tergerai berkibar ditiup angin, anak-anak bersepeda, laki-laki dengan kaos dan keringat yang bersimbah karena olahraga. Di bawah jembatan, beberapa anak berlatih renang dengan bebas di laut. Setelah waktu magrib usai, berderetlah para lelaki di bibir jembatan bersama joran dan alat pancingnya, bersiap memancing ikan. Tak jarang mereka membawa serta anak istri mereka ketika malam-malam libur.

Ia bukan tak senang dengan keramaian, tapi ia merasa damai ketika duduk jauh dari mereka dan bising anak-anak yang menyanyi dengan gitar digejreng di pinggir pelabuhan. Meskipun ketika ia lewat, anak-anak itu akan menegurnya sopan sembari menundukkan kepala sedikit rendah. Tapi tak jarang, ia menghabiskan sore bersama mereka. Menunggu sampai matahari mangkat dari langit di sebalik Pulau Tulai yang behadap-hadapan dengan Pulau Berhala hingga menyisakan merah saga. Saat itu, ia selalu merasa sangat dekat dengan langit, dengan pencipta.

Ia selalu datang dengan teman yang sama setiap kali ke jembatan itu. Temannya, mereka bertemu di kapal ketika ia hendak turun. Seperti beberapa pendatang yang lain, ia masih asing dengan tempat yang ia singgahi. Mereka saling mengenalkan diri, lalu memilih tinggal bersama di rumah yang disewakan warga. Ada beberapa teman yang lain, tapi ia merasa hanya dengannya ia nyaman. Barangkali karena usia mereka hanya terpaut dua tahun. Temannya tak akan bertanya kenapa ia ingin ke sana. Kenapa harus malam ketika dingin angin membuat kulit menjadi kisut. Mereka bisa sama-sama menikmati kesunyian yang mereka ciptakan sendiri, kecuali jika mereka memang ingin bercerita, bergantian satu sama lain sambil menikmati otak-otak hangat atau nasi goreng dalam kotak makan.

Malam itu, ia datang dan duduk di pinggir jembatan panjang itu hanya untuk mengenang bagaimana ia akan mengingat kenangan itu baik-baik dalam kepalanya. Ia ingin hafal aroma asin laut yang mampir di penciumannya hingga lekat pada pakaiannya. Dingin pada pucuk hidungnya. Gigil jari-jari kakinya yang terayun lemah ke arah air. Kelip-kelip lampu perahu yang jauh. Dan langit yang seolah hanya puluhan meter dari puncak kepala. Ia simpan baik-baik dalam ingatannya.

“Kau tahu, aku sangat bersyukur dengan jalan hidup yang digariskan Tuhan untukku. Bahkan sampai saat sekarang.”
“Termasuk kehilangan dan keterasingan?”
Kepalanya lemah mengangguk. Sesuatu yang hangat mengaburkan pandangannya. Ia mendongak, menatap langit dan mencari bintang yang menunjukkan arah jalan pulang para nelayan.
“Hidup menyediakan banyak sekali kejutan, hmm? Ya. Seringkali, kita memang tak siap.” Sebuah tangan dari belakang memeluk bahunya. Milik temannya.
“Aku merasa, Tuhan sedang menempa.”
“Nah. Itu kau tahu.” Tangan itu menepuk-nepuk bahunya.
“Kehilangan. Perpisahan, kenapa kita sering mengalaminya?”
“Mungkin karena setelahnya ada pertemuan baru. Seperti bagaimana ranting berpisah dengan daun, lalu dirimbuni daun muda.”
“Ya, barangkali kau benar.” Ia menghela napas.
“Saat ini, aku sedang bersiap-siap untuk perpisahan. Kau tahu?”
Temannya mengangguk.

Di minggu-minggu terakhir ia semakin menikmati malam-malam itu sendirian. Terisak sambil memeluk lutut yang gigil. Ia sendiri bingung, apa yang membuatnya demikian bersedih kali ini. Ia telah bepergian dari satu tempat ke tempat yang lain, tapi di sini ia merasa Tuhan telah menciptakan rumah untuknya. Rumah yang ia cari hingga sepanjang usianya itu. Ia ingat terakhir kali ketika ibunya memeluk, lalu membisikinya pelan,
“Pulanglah jika kau rindu, di sini akan selalu ada rumah”
Ia mengangguk saat itu, melepas ibunya yang sakit-sakitan dengan mata sembab. Tapi ia tak pernah berani mengatakan pada ibunya bahwa di sana, tak pernah ada rumah untuknya. Ia cukup tahu, ‘di sana’ yang diucapkan ibunya, hanya di hati perempuan itu. Hati yang dirimbuni cinta untuknya, tapi selalu dikalahkan oleh orang lain.

Ia bukan tak rindu, sering malah. Ia ingin rindu rumah. Rumah yang menenangkan seperti ia selalu duduk di jembatan. Rumah yang ia bangun dalam kepalanya sendiri, lengkap dengan gambar wajah-wajah dalam rumah itu, lalu tersenyum membayangkan kebahagiaan yang dikecapnya dulu. Ia bayangkan tubuhnya mengecil, berlari mengitar semua isi rumah, membuat seisinya tertawa. Ia terjatuh, menangis, lalu sebuah tangan mengangkatnya tinggi. Kokoh dan kuat. Tuan tangan itulah yang tak pernah berhenti menguji rindunya. Bapak. Ia lah yang mengusiknya pulang dan ingin diziarahi.

Perempuan itu meninggalkan jembatan dan pohon-pohon besar itu seminggu kemudian dengan sebuah kapal besar yang bertolak menuju ke Tanjung Pinang. Ia berdiri di buritan, menatap jembatan itu terakhir kali. Melambai pelan sambil mengucapkan selamat tinggal. Pada ‘rumah’, pada kebahagiaan yang diberikannya secara percuma.

***
Bertahun kemudian, ia mencari ‘sesuatu yang sama’ seperti jembatan yang telah ditemuinya. Pada setiap perhentian, ia menginap semalam-dua malam untuk menikmati malam di jembatan dekat pantai. Jika dirasanya hampir sama, ia akan menginap sampai seminggu. Tapi, tak pernah ada yang benar-benar sama. Sampai pada suatu waktu di jembatan terakhir, ia bertemu seseorang. Lelaki itu datang hampir senja. Berkenalan, lalu mengajaknya menyeruput es kelapa muda di pinggir pantai. Ia canggung. Karena di tahun-tahun yang lewat, saat ia berdiri sendiri, tak pernah ada yang mengajaknya begitu. Orang-orang terlalu sibuk dengan urusan sendiri dan ia juga demikian. Lelaki itu mengajaknya bercerita, tentang pantai dan matahari sore, tentang menikmati sepi seorang diri. Ia bercerita tentang jembatan dan rumah yang ia cari, tentang rindu yang mengendap dalam kepalanya. Entah bagaimana, mereka yakin. Mereka merasa pernah bertemu, tapi lupa dimana.

Setahun setelahnya, ia membangun rumah di tepi pantai. Sebuah rumah panggung sederhana dari kayu dengan jendela-jendela besar. Suaminya menyenangi pantai, dan ia rindu jembatan meskipun telah berpuluh-puluh tahun telah lewat.


May Yusra Soelaiman
Guru Muda Program Profesi Pendidikan Guru, Unsyiah.


dimuat di Serambi Indonesia, 13 September 2015
http://aceh.tribunnews.com/2015/09/13/jembatan-dan-kenangan-kenangan

0 komentar:

Posting Komentar

Quote

Quote

Total Pageviews