Minggu, 28 Februari 2016

Untuk Kamu; Ayah anak-anakku di masa depan


Hai, kamu. Apa kabar?
Dunia yang luas membuat kita sesat dan belum saling bertemu dan menyapa. Atau mungkin kita sudah pernah bertemu, saling kenal, sedang bersama, atau entahlah.


Kamu heran, kenapa kusebutkan ini untukmu dengan sapaan "ayah anak-anakku di masa depan"? Yap. ceritanya begini, Semalam kami sudah selesai dengan dunia keprofesian ini dan ditutup dengan malam keakraban yang kurang meriah. Sejujurnya, aku berusaha menikmatinya. Ada beberapa tamu yang sering kami lihat dan beberapa lainnya tidak pernah terlihat sama sekali.


Aku sedang menikmati jamuan makan malam di lantai bawah ketika kulihat sepasang ayah dan anak perempuannya menaiki tangga fakultas kami yang melingkar. Bapak ini sering terlihat di acara-acara kami, baik itu resmi atau tidak. Jadi aku mengenalnya, meskipun tidak terlalu dekat. Mereka menaiki tangga sambil bersenda. Tangan sang bapak merangkul pundak anaknya, kadang dengan perasaan gemas memiringkan kepala anaknya ke arah badannya yang tidak terlalu tambun. Aku tau, selanjutnya ada yang berdebam jatuh di hatiku. Lalu mataku seolah diasapi yang membuat aku harus berkali-kali mengedipkan mata. Kamu tau? Aku rindu Bapak. Kami sering berperilaku seperti itu. Ia sering memanjakan aku begitu, kadang seraya mengacak rambutku. Hupf, Aku menunduk, mendoakannya di hati kecil.


Selesai dengan jamuan, kami ke lantai paling atas. Acara akan segera dimulai, namun bangku banyak belum terisi. Aku duduk di baris kedua paling depan. Di bagian muka, bapak dekan beserta tamu dan keluarganya, beberapa dosen kami juga terlihat.  Aku sering bertemu keluarga salah satu diantara mereka, kadang ketika hari minggu senam bersama, atau mengunjungi kami di asrama pada waktu-waktu kosong. Kali ini bapak itu duduk bersisian bersama putri dan istrinya. Aku melihat mereka hanya berjarak beberapa meter dari tempatku. Ia benar-benar menikmati acara malam ini. Tertawa ketika ada lelucon, mendengar beberapa nyanyian sambil tersenyum. Di sisi kanan, putrinya asik memotret penyanyi di panggung. Tak lama, anaknya pindah ke sisi kirinya, sang Bapak meraih kepala anaknya, lalu menciumi berkali-kali dengan gemas. Aku tau, ini tidak dibuat-buat. Itu tulus perasaan seorang ayah yang sayang pada putrinya.


Suatu hari, bagaimanapun, kita akan menjadi orang tua. Kamu dan aku menjadi teladan paling utama untuk anak-anak. Bisakah kamu menjadi penyayang dan tak membeda-bedakan anak satu dengan yang lain? Aneh, aku malah ingin kamu lebih dekat dengan anak-anak dibanding aku.


Kamu tau, aku adalah perempuan yang senang berimajinasi, membayangkan hal-hal yang akan terjadi di muka, baikkah atau buruk. Aku kerap bersedih jika membayangkan hal-hal buruk, padahal itu belum terjadi.  Aneh ya? Bersiap-siaplah menerima. Aku juga membayangkan hal-hal lucu, seperti kamu sedang duduk di tempat tidur dengan suara naik-turun, lembut-tegas, membacakan anak-anak dongeng sebelum tidur, membuatkan mereka mainan dari kaleng-kalengan, mengajak mereka berlayangan ria. Wow. Cukup.


Baiklah, apapun, bagaimanapun, Bersiap-siaplah dan jadilah ayah yang terbaik.


-- May --



0 komentar:

Posting Komentar

Quote

Quote

Total Pageviews