Selasa, 15 Desember 2015

Apa kabar hari-hari lalu?

Ada seorang perempuan di muka pintu. Menatap gundukan semak tak jauh dari rumahnya. Beberapa meter dari pagarnya, rumpun bunga berbaris seperti menjadi ucapan selamat datang. Ia sering menatap semak itu. Menunggu seekor kelinci muncul sambil meloncat lucu ke hadapannya. 


Apa yang aku tulis?
Aku sendiri bingung. Aku berharap menuliskan sesuatu di sini. Aku malah ingat tahun-tahun lewat yang kujalani. Beberapa kenangan yang menarik senyuman, atau beberapa mungkin yang malah menciptakan kesedihan. Kebahagiaan yang tidak lagi sama kita jalani hari ini seperti tahun-tahun lalu, bukankah akan menjadi kesedihan di hari ini?

Aku terlalu melibatkan diri, kata temanku. Iya. sedangkan ia sama sekali tak ingin ikut terlibat. Kepahitan-kepahitan seperti lembar buku kosong yang akan selalu sama tiap di buka. Kenapa aku tak pernah menemukan kebahagiaan? Jika kebahagiaanku adalah sebentuk kebersamaan dengannya, maka salahkah doaku? Aku mendoakan diriku sendiri bahagia.

Baiklah. ini namanya pemaksaan. Aku tak mau memaksa, karena itu aku diam. Membiarkan waktu dan takdir menemukan diri mereka masing-masing pada kami.

Kamu pikir aku lelah?
Tidak. Aku tidah pernah. Hanya aku tidak ingin membuatnya lelah denganku.

Aku kecewa. tapi aku terlalu takut jujur tentang rasa kecewa itu. Oke, aku berusaha jujur. Tapi bisakah ia memahaminya? Bahwa kepahitan ini sama sekali tidak asik untuk dinikmati sendiri?

Perempuan barangkali punya batas untuk menunggu. tapi aku tidak. Aku sudah berjanji. Sekalipun kau dan beberapa yang lain mengatakan ini adalah tindakan bodoh.

Look, kau hanya belum jatuh cinta saja!.

Sabtu, 22 Agustus 2015

Barangkali,


Barangkali kau benar, aku mengetuk di pintu yang salah
Tak ada rumah di belakang pintu
Mungkin itu hanya pintu yang entah menuju kemana


Barangkali, jika pun ada rumah
aku tak dibolehkan singgah
karena cinta dan sayang tak juga singgah 
di hati pemilik rumah


Barangkali, karena tidak pantas
aku yang tanpa apa-apa berani melangkah singgah di dalam
bertanya kabar dan membangun kebahagiaan


Bertahun,
aku kuyu di muka pintu
ku kemas kebahagiaan bersama kristal beku air mata
tak ada siapa-siapa
Padahal, aku sekalipun tak pernah di muka pintu siapa-siapa
padanya, aku selalu bersetia



/22 Agustus 2015, Asrama. 

Senin, 17 Agustus 2015

Surat-surat dan Janji Suatu Hari




Ibn Rusyd, berjanjilah!

Suatu hari, ketika kita berjauhan kau akan mengirimiku surat. Berlembar-lembar cerita tentang negeri yang jauh, bahasa yang beda, orang-orang yang kau temui dan mengajakmu bicara, teman-teman barumu, tempatmu tinggal, jalan-jalan yang kau lewati saban hari, pepohon yang menarik hati, dan apapun yang ingin kau ceritakan padaku.

Jarak akan membuat semuanya kaku, karenanya kirimkan aku surat. Sebanyak apapun yang kau inginkan. Seperti bah-bah yang datang di musim hujan. Kadang dengannya bisa dihapus pelan waktu-waktu yang seolah dihitung. Menuju bulan hingga genap tahun.

Kau bilang, seperti di film saja. Memang. Aku tidak peduli ini seperti film atau bukan. Cukup kirimi aku surat. Aku suka tulisan panjang. Aku suka mendengar kau bicara panjang lebar, tentang kita, masa lalu dan masa depan, orang-orang sekeliling kita, orang-orang yang tak ada hubungan dengan kita, tempat kita tinggal, negeri kita yang pelik, pemikiran-pemikiran kita yang berkotak-kotak, dan banyak hal lain yang kadang aku atau kamu  sendiri sudah tak ingat.

Surat barangkali tak dapat mewakilkan rindu, tak ada kau dengan tawa lebar (yang seringkali membuatku menahan tangan di bawah meja untuk tak bergegas menutup mulutmu yang terbuka lebar), tak ada kau yang menatap ke dalam mata ketika bicara, tersenyum setengah  menggoda. Lihat, kau belum pergi saja, aku sudah rindu.

Meskipun demikian, aku sudah bersiap-siap seandainya kau tidak sempat mengirimiku surat dalam bentuk surat. Kau boleh mengirimiku surat elektronik, kau boleh menghubungiku lewat semua media sosial yang kita punya. Kapan saja. Tengah malam sekalipun.

Ibn Rusyd
Aku tahu, kita tak pernah bisa menebak esok. Aku, sampai sekarang tak juga bisa menebak bagaimana hatimu, tapi aku merasa dekat saja dengan hatimu. Merasa bahwa di sana, kau menyediakan tempat untukku. Berjanjilah, meskipun jauh, kita akan baik-baik saja. Kau akan menyuratiku dari sana. Berjanjilah kau akan pulang dengan hati yang sama.



-- May --

Minggu, 28 Juni 2015

Surat untuk Nana (I)

Assalamu'alaikum, Nana


source http://sarinahyamin.blogspot.com/

Salam kenal.
Hai Nana, aku May, yang baru tadi subuh mengenalmu lewat beberapa tulisan teman facebook-ku di blog mereka. Mereka semua berbelasungkawa atas kepergianmu. Aku pun demikian. Rasanya menyesal tak mengenalmu sebelum ini. Tapi, jalan takdir memang sudah ada yang atur kan?

Beranjak dari tulisan mereka, aku penasaran ingin mencari kamu. Yang manakah Nana yang sedang mereka bicarakan? yang katanya sudah pergi beberapa hari yang lalu? 

Aku lalu masuk ke blog kamu, apik sekali. Tulisan-tulisan kamu rapi, teratur, hidup, dan enak sekali di baca. Tak banyak memang, katanya Kau sedang belajar menulis kembali demi menerapi dirimu sendiri dari kesakitan. Sakit yang katamu lewat semangkuk kolak berguna-guna dan sebab-sebab yang telah dulu ada. Sudah. Tak perlu kita bahas tentang itu. Meskipun sejujurnya, kau lelah. tapi kau tidak menyerah. Beberapa kali kau terlihat bicara tentang kematian yang begitu dekat, seolah kau tau bahwa kau sedang menghitung hari menuju pulang. 

Ah iya, Aku juga bertemu Wempy, tokoh imajinermu yang kurasa begitu menarik seandainya ia memang nyata. Wempy sang penghibur, pengacau, sekaligus pengoda. Wempy yang manis dan selalu kau minta mainkan atau nyanyikan beberapa lagu kesukaanmu menjelang tidur. Ah, aku membayangkan Wempy yang baik itu menemanimu membaca selama tiga puluh menit sebelum tidur. Berdiri di muka pintu kamarmu sambil memperhatikanmu membaca dengan cahaya lampu baca ke arahmu. Selepas kau pergi, apa kabar Wempy? Kau membawanya serta dalam dirimu?

Dan dia? dia yang berulangkali kau sebut, tapi tak pernah kami tau namanya. Dia yang barangkali (aku menebak) gurumu di masa lalu, tinggal di dekatmu, yang katamu ia memang tak tampan, tapi kau cintai selama empat tahun lebih dengan diam-diam, yang pernah kau coba sampaikan dan kau rasa ia memahami 'pertanyaan'mu, dia yang telah memiliki jawabannya sendiri. Dia yang mengajarkan tentang lautan dan pantai. Apa kabar dia? Akankah ia merasa kehilangan meskipun punya pantai?

Setiap kau menyebutnya, aku selalu mengingat seseorang. Yah, ia yang juga senang menulis, menyemangati menulis, kupanggil 'abang', dan yang cintanya entah berbentuk apa. Kau bilang, ia begini,
Sayapnya telah lama patah, namun dia masih melangkah karena tahu terbang sudah tak mungkin. Langkahnya satu-satu dan tertatih, tapi dia menolak lupakan impiannya.   "Dengan satu atau lain cara, saya akan meraih impian saya. Atau setidaknya saya akan menghadap Tuhan dengan bangga, karena bisa berkata, Saya mencobanya Tuhan. Semampu saya."
Na, sama persis. Apakah kita bercerita tentang orang yang sama? 

Nana..
Your life story as the stories in the novel.

Kehidupan ibukota. seorang teman baik seperti Kayla. Permasalahan keluarga. Abi dan ibu baru. Kepergian Abi. Memaafkan. Meninggalkan. Memulai hijab. Sakit. Pindah ke kampung halaman. Memulai hari baru. Mengurusi bisnis keluarga. Bertemu teman-teman baru. Kembali menulis. Menyepi ke kaki gunung. Bersama Umi dan Wempy. dan cinta. yang entah bagaimana itu menjadi sorotanku paling penting. Bagaimana Kau mencintai dengan benar-benar mencintai. Mengikhlaskan segalanya berpulang pada Tuhan, seolah Kau paham bahwa kehidupan tak memberimu banyak pilihan. Pada akhirnya, kau memang bersiap-siap untuk menuju padaNya.

Peristiwa. Yah, semua peristiwa itu seperti jembatan yang tak putus. Apa karena kau sudah memiliki akhir, maka kukatakan ini seperti novel? Entahlah.

Membaca postingan terakhirmu di sini, benar-benar membuatku tertegun. Seberapa sakit yang kau alami? Imaji-imajimu untuk melepas diri. Sakit yang menghentikanmu menulis. Hingga keputusanmu untuk menelponnya. Terakhir kalikah? Pahamkah kau isyarat-isyarat itu? Aku membayangkan Izrail yang mengendap-ngendap ketika Kau tidur, menemanimu bersama Wempy di malam-malam akhir, mengecup keningmu, lalu memutuskan mengajakmu pergi di malam terakhir. Seberapa sakit, Nana? 

Aku merindukan kematian yang indah. Seperti menjadi bidadari yang diajak makan malam ke surga oleh malaikat. Dijemput dengan kereta indah yang dibawa oleh sepasang unicorn warna-warni, aku memakai gaun indah, warnanya putih dengan hiasan batu-batu kemilau di sepanjang bawahannya. Aku ingin menuju mati seperti aku pulang ke rumah, seperti kunanti-nanti perpisahan ini, seperti di sana Bapakku sedang menunggu dengan bahagia. Tapi bekalku, barangkali tak sebanyak yang kau punya. Itulah kenapa, aku masih diberi waktu untuk mencari dan menambah-nambah.
Entahlah, na

Nana,
Kau membuatku menangis di baris akhir salah satu postinganmu ini
Mungkin aku akan mati dalam sepi. Tapi tidak tanpa meninggalkan jejak. Ini kata-kataku, ini caraku meninggalkan jejakku di dunia ini. 
Untuk siapa? bukan kamu, bukan mereka. Hanya agar dunia tak sepenuhnya lupa. Bahwa Nana pernah hidup di muka bumi ini.
Sekali lagi, (selain dia) kamu menyadarkanku untuk menulis. 
Terima kasih karena diperkenankan mengenalmu. Aku tau, ini terlambat. Tapi kamu sudah meninggalkan sesuatu di sini. Barangkali, suatu waktu aku akan berkabar lagi denganmu (aku menomori surat untukmu di atas). Terima kasih, Na karena telah berbagi. Senang bertemu denganmu.

Entah bagaimana, aku merasa kau sedang berbahagia bertemu Tuhan. 


Dariku, 
Al fatihah untukmu


Sarinah binti Yamin.
(Takengon: Kamis, 25 Juni 2015 pukul 16.00 wib)




source facebook nana (aku merasa ingin meletakkan ini, na!)






Jumat, 26 Juni 2015

Singgah


Sebatang pohon di tepi rumahmu
Menjadi makin rindang
sebab hujan Jumat lalu masih turun ke Jumat ini.
Bersambung bagai tali-tali hujan itu sendiri
“doamu adalah hujan. Tuhan mendengar.
Aku akan sejuk dengannya.”
Maka, aku singgah bertamu.


Sepanjang menujumu,
Aku mendengar Luqman berwasiat pada putranya;
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya”


Di mataku, berkaca wajah engkau.

Juni, 2015
Sumber : http://aceh.tribunnews.com/2015/06/21/kenapa-aku-tak-pulang?page=2

Sumber gambar: http://cdn-media.viva.id/thumbs2/2013/05/28/207146_rumah-pohon-di-florida_663_382.jpg

Suatu Hari Ketika Kita Bercerita

Kau bilang, kita terlalu asik dengan kejayaan
Seraya kita sibak sutera-sutera hitam
sulaman emas punya moyang kita di kerajaan
Kita buka halaman-halaman hadiah masa lalu dengan pongah
Ketika bendera kita di pucuk tiang,
Bergerak mengikut angin
Hingga barat timur selatan utara
Membalik badan menatap kita


Kau bilang, sekarang kita sedang menutup mata
Dari kecacatan tubuh sendiri
Kita sakit. Lingkungan kita kotor.
Pikiran kita mampat
Kita adalah got-got hitam dipenuhi sampah.
Lalat-lalat gemuk mengerumuni makanan busuk.
Tapi kita kenapa menjadi nyaman?


Kau bilang, (dengan nada pilumu)
Kau ingin pergi. Ke barat timur selatan utara.
“Aku menjadi pesakit di tanahku sendiri”
Tapi, bukankah kau yang memahami kesakitan itu
adalah obatnya sekaligus?


Juni, 2015
Sumber : http://aceh.tribunnews.com/2015/06/21/kenapa-aku-tak-pulang?page=2

sumber gambar: https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/736x/e3/dc/ef/e3dcef85b02b8e7c710646355667a051.jpg

Kenapa Aku Tak Pulang?

http://i916.photobucket.com/albums/ad3/ariannaveira/Hanya%20Perempuan/savespace_zpsaff465fc.jpg

Sepasang mata berlembing di sisimu
Selalu menahanku menuju pulang
Arahku semakin jauh
Tapi kenapa kau tak turut berlari?
Kau berdiri, tangismu tumpah
Ke bumi
Mengalir ke arahku
Kenapa kau tidak berlari kepadaku?

Sepasang mata berlembing di sisimu
Menjarakkan kita sampai berkilometer
Kenapa hatiku tidak pulang

Kau mendaras tentang kasih sayang
Kerinduan yang meruncing
Jadi pisau-pisau dan aku luka
Suaramu mantra penunduk
Tapi,
Bagaimana kutuju huma
Sedang aku, kakiku sandung pada lembing di mata.

Juni, 2015
sumber : http://aceh.tribunnews.com/2015/06/21/kenapa-aku-tak-pulang

Tukang Pos di Kampung Kami

MUNGKIN suatu waktu, entah kapan, kau akan mendengar tentang kampung yang setiap hari didatangi tukang pos. Itulah kampung kami.

Surat-surat selalu datang setiap waktu ke sana. Entah dari mana. Kami selalu menunggu si tukang pos di depan rumah kami masing-masing. Tukang pos akan lewat dan memanggil nama kami satu pe rsatu jika memang hari itu ada surat untuk kami. Tak pernah ada yang kecewa, bersedih, atau pun menangis ketika menerimanya. Yang ada hanya mata yang berkaca dan disesaki oleh rasa haru dan rindu. Kebanyakan dari kami menerima surat dari sanak kami yang jauh. Setelah tukang pos pergi dan menuju rumah lain, kami akan duduk di halaman rumah, di bawah sebatang pohon apel, dan membaca surat-surat itu.

Setelah selesai membaca surat tersebut, biasanya sebutir dua butir apel jatuh dari pohon. Buah itu akan menjadi penyegar dan penghilang rasa haus dan lapar. Setiap kali kami menerima surat-surat yang banyak, semakin melimpah apel-apel memenuhi keranjang rotan.

Ketika pertama kali aku datang ke kampung ini, aku tak tahu kenapa semua tetanggaku berdiri di halaman. Seperti menunggu sesuatu atau seseorang. Kukira, mereka menunggu kedatanganku sebagai tamu di lingkungan mereka. Ternyata bukan. Mereka hanya menyapaku sekilas. Menanyakan namaku dan dari mana aku berasal. Tak lama setelah kujawab pertanyaan mereka, suara dering bel berbunyi dari jauh. Mereka serentak bangun dan tak memedulikanku lagi. Mereka disibukkan dengan kedatangan seorang laki-laki dengan seragam putih, bersepeda ontel, dan di dudukan belakang sepedanya ada dua keranjang yang dipenuhi amplop-amplop. Lelaki itu menyapa mereka. Lalu menyerahkan surat di tiap-tiap rumah. Mereka ternyata menunggu-nunggu si tukang pos datang menuju rumah mereka. Di depan rumah baruku, ia berhenti. Ia meraih amplop dan membaca sederet huruf di sana,

“Soelaiman?” tanyanya penuh selidik
Aku mengangguk yakin. Diserahkan beberapa amplop untukku. 
“Tapi, aku baru tiba. Kenapa ada surat untukku?” 
Ia tersenyum. Lalu melenggang tanpa menjawab. Ditinggalkannya aku dalam ketakjuban. Setelah ia sampai ke rumah selanjutnya, aku masuk ke dalam rumah baruku. Rumahku sederhana. Hanya ada satu ruang bercat putih. Di situ ruang tamu, kamar tidur, dan juga dapur yang merangkap ruang makan. Ya, hanya itu saja. Tak apa, aku hanya sendiri.

Tujuh hari pertama kedatanganku, rumahku dipenuhi oleh tumpukan-tumpukan surat. Aku tak sempat membacanya satu demi satu. Di sini, kami membeli lemari yang kemudian akan kami isi surat-surat yang dikirimkan untuk kami. Aku sering membacanya ketika hari itu tak ada yang harus kulakukan atau ketika aku tak didatangi tukang pos karena tak ada surat.

Surat pertamaku datang dari putriku. Ia memberitahuku bahwa ia teramat mencintaiku. Kubayangkan matanya berkaca saat ia mengatakannya kepadaku sebelum terakhir kali kami bertemu. Penuh rindu, kuciumi surat itu sambil menyebut namanya berulang-ulang. Aku pun teramat mencintainya. Kemudian dari istriku. Ia menyelipkan sekuntum bunga matahari kecil pada suratnya. Ia pun mengabari betapa ia kehilanganku. Istriku cantik dan penyabar. Bunga matahari darinya kutaruh dalam vas dan kuletakkan di dekat jendela. Setiap orang bertamu ke rumahku, akan kukatakan kalau itu adalah bunga matahari dari istriku. Surat berikutnya dari ibuku, perempuan itu meskipun buta, namun ia tetap mengenaliku, dirabanya wajahku, dipanggilnya namaku ketika aku akan pergi. Oh, Ibu.

Surat-surat yang lain datang dari saudara dan kerabat, dari teman-temanku, bahkan dari teman-teman yang memusuhiku dulu. Ah, sudahlah! Aku tak lagi peduli tentang benci dan dendam. Sudah aku kuburkan, bahkan sebelum aku pergi. Mereka mengucapkan selamat jalan, semoga aku berbahagia, semoga tempat baruku lebih baik, semoga pencipta lebih mencintaiku.

Namun, setelah berselang waktu hampir setahun, aku sudah jarang menerima surat. Istriku mungkin sudah memiliki teman baru yang asyik, namun ia sesekali masih mengirimiku bertangkai-tangkai bunga matahari. Putriku pun terlalu sibuk. Ia tak lagi mengunjungiku lewat surat-suratnya. Apakah mungkin ia sudah tak lagi merasa kehilangan? Setiap tukang pos lewat, dari teras rumah aku berdiri hendak menjemputnya, ia lebih dahulu menyapaku,

“Tak ada surat untukmu, Soelaiman!”
Aku kembali terduduk lesu, menekuri tanah di depan rumahku. Lalu kucoret-coret nama istri dan putriku di sana. Mungkin mereka telah melupakanku. Waktu memang menghapus kenangan tentangku pelan-pelan.

Akhir-akhir ini, aku sering berdiri di bawah pohon apel di depan rumahku. Aku tak lagi menunggu tukang pos. Aku hanya melihatnya lewat dan tersenyum pedih ketika ia mulai membagi-bagikan surat kepada tetanggaku. Tak ada surat untukku.

Tapi pagi ini, ketika tukang pos mendekat ke pagar rumahku, matanya berbinar menyapa.

“Dari istri dan putrimu, Soelaiman!”
Kurenggut dengan cepat seraya mengucapkan terima kasih. Sambil berbalik, tergugu kuciumi surat itu berulang kali. Setelah sekian lama.

Anambas, December 2013.

May Yusra Soelaiman, Guru SM3T Aceh di Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau.



Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2014/01/12/tukang-pos-di-kampung-kami

Sabtu, 02 Mei 2015

Close Eyes!

Dalam gelap
Kamu sendirian menemukan ketenangan
berhenti mencari
dan melihat Tuhan
dengan takdir-Nya sedang memberi dan menarik kembali


Kamu belajar diam
meresapi keadaan dan memperbaiki keretakan:
hati,
kepercayaan.


Kamu memahami kedamaian
tanpa warna
tanpa bola dan bentuk rupa
sedang gelap menjadi warna itu sendiri


Kehidupan adalah lorong hitam
Tutup mata!
Esok
Lusa
Hitam itu adalah warna.


/2 May 2015.
Asrama PPG Unsyiah

*seringkali, saya meminta diri sendiri menutup mata ketika saya tak punya penyelesaian tentang masalah saya, ketika saya sedang 'ingat' sekali seseorang, ketika saya merindukan rumah. Dalam hitam, saya berusaha membayangkan, pelan-pelan, sampai mengingat detail. Sampai rindu saya lunas.

sumber gambar: http://www0.artflakes.com/artwork/products/897048/poster/close-your-eyes-and-make-a-wish.jpg?1336835560

Selasa, 21 April 2015

19th April ..



Hati
Ini adalah hari kedua.
Setelah kita memutuskan untuk tetap berdua saja berbagi rahasia.
Setelah ia pergi dan meninggalkan kita.
Tidak, kita bersama yang memutuskan untuk berpisah.
Berbalik arah dan kembali berjalan
barangkali, kita akan menemukan diri sendiri di ujung jalan sana
barangkali jalan kita memang melingkar.
dan bertemu lagi sambil bergandeng lagi
Doakan yang baik, untuknya, untuk kita


Kamu merasa lebih ringan?
Ya, aku juga.
Hidup memang begini. Kita tak selamanya akan berada pada zona yang aman.
Sekali waktu, kita harus berani menantang diri untuk melewati garis itu.


Aku boleh jujur?
Rasanya bangga sekali sama kamu. Kamu akhirnya benar-benar memakai hati.
Merasa. Mencintai dengan benar. tanpa paksaan.
Cinta itu keikhlasan.
Kau tak akan menemukan kebahagiaan jika di dalamnya ada paksaan
maka, biarkan ia lepas.
Ia akan menemukanmu lagi suatu ketika.


Bersabarlah.
Meskipun tetap samar, sabar dan ikhlas selalu berbuah indah.


Hari ini, aku bahagia sekali.
Begini rasanya mencintai. Penuh ikhlas.

Kamu, Mataku menatap. Hatiku menetap

Sumber gambar: http://becuo.com/cute-photography-tumblr 

Jumat, 10 April 2015

Bagaimana kalau saya lelah?



Kalau saya luka, Tuhan lah yang tahu bagaimana.
Kalau saya datang dan patah di hadapan Nya, Tuhan lah yang tahu seberapa pedih saya
Kalau saya meratap dalam doa-doa panjang, Tuhan lah yang mendengar
Kalau saya berlari dengan luka yang perih, Tuhan lah yang memeluk


Ia memberi kesakitan supaya saya merasa
Ia mengajarkan keikhlasan lewat kesakitan
Ia menguji dengan cara Nya yang kadang tak saya pahami
Ia ingin saya datang dan rebah di hadapan


Supaya saya belajar tentang kesakitan
Supaya saya mengerti kenapa kemudian Ia memberi kebahagiaan
Supaya saya paham bagaimana dalam kehidupan semuanya berpasang
Supaya saya memahamiNya dengan kebijaksanaan


Saya ridha
Saya Ikhlas
Saya hamba
Saya lemah
Tuhan, bahkan suaranya tertawa dan bersedih begitu menggema di kepala saya.

/9 April 2015

sumber gambar: http://cdn.klimg.com/vemale.com/headline/650x325/2014/06/makna-doa-nikah-arti-sakinah-mawadah-warahmah.jpg

Kamis, 09 April 2015

Masih tentang Rindu



Pernah merasa rindu? Saya sering. Tengah malam begini, jika saya sedang sendirian dan rindu,saya katup mata saya kuat-kuat, menyebut nama Tuhan dalam hati. "Ya Tuhan, dengan cintaMu yang Maha. Jagalah ia di mana pun berada.dalam rahmat, dalam ridha, dalam kasih cintaMu yang tak pernah putus"lalu, saya berusaha tidur. Saya menitip ia pada Tuhan, sama halnya seperti hati saya yang saya letakkan di riba Tuhan.

Rabu, 08 April 2015

Kepada PHR


kita sama-sama tahu;

aku sedang menulisi kertas di atas air
dengan dua kaki manja menyibak riak
dan mendecak atas batu-batu licin
lalu kata-kataku baur bersama
dihantar kembali menjadi kertas-kertas noda
lumpuh pada basah dan sembab
hilang tak wujud dalam arus


dan kau mengukiri batu menjadi arca
hingga telapakmu luka
tergores, menciptakan tanda
guratnya menghantar pada jalan nasib berbeda
kau terberkati sampai bertahun
berubah masa tapi tak lenyap rasa


suatu hari
di rumah terakhirmu,
tumpukan batu-batu kata yang kau mantra, 
menjelma jadi ribuan kupu
orang-orang akan bertanya,
apakah kau sengaja menumpah madu dari botol-botol
atau kau tanam perdu bunga di lingkar pagar?


aku; mengikis waktu-waktu
berusaha menciptakan sesuatu


/Punteuet 20 Oktober 2014

sumber gambar: http://pixel2foto.com/wp-content/uploads/2014/04/webIMG_7954-Soli-Art-Photography-final-500px-logo.jpg

Selasa, 07 April 2015

Tentang Seorang Nelayan



Tuhan semalam singgah pada sujud terakhirmu
Kau bercerita tentang laut Nya yang tak lagi ber-ikan
Tentang anak-anakmu yang lapar
Tentang istrimu yang menangis diam-diam dalam tidur
Dan perut-perut kosong mereka mendengkur sepanjang malam;
Mengusik sembahyangmu


Malam itu kau mencari-cari Tuhan dalam doa
Dan Ia, tepat berada di urat-urat lehermu

Berdenyut memberi hidup


/Letung, 11 Maret 2014

Aku Tanpa Apa-Apa



Ibu suatu siang menemukanku menggunting isi kepalaku
sendiri di halaman belakang
Di sekelilingku bercecer rambut dan kulit kepala
Kata ibu; aku sudah memotong semua pikiranku
Bagaimana bisa aku menghitung jariku lagi nanti


Ibu marah sepanjang tahun karena aku kehilangan isi kepala
Ayah menghukumku dengan memotong mulutku sekaligus
“Kau tak akan bisa bicara tanpa isi kepala,
Jadi pulangkan saja pada Tuhan!”


Sekarang, di belakang rumah aku sering duduk sendiri
Menyesal memotong isi kepala


            /100414_Letung

Hujan Desember



Sepanjang desember, hujan mengetuk-ngetuk jendela
Rumah kami
Meminta kami bukakan pintu
Jendela, atau apapun hingga mereka dapat masuk ke dalam
Lalu mereka akan menyelimuti kami dan anak-anak kami
Dengan gigil yang menggila


Sepanjang desember, hujan menyepak tanah dengan kaki-kaki kecil mereka
Hingga terlempar ke beranda kami
Disana, disampaikannya rindu
Diciptakannya sisa yang terpatri pada matahari



/Letung, 18 Desember 2013

Sabtu, 28 Maret 2015

A book: Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu

oleh : 
Norman Erikson Pasaribu




Kamu tahu, mungkin hidup semua orang, termasuk kamu dan aku, akan lebih mudah jika kita boleh menikah dengan bantal yang menyangga kepala kita setiap malam, yang mengusir demam, menjauhkan kuntilanak dari mimpi, mengamini doa-doa, merindukan kita di siang hari, menyimpan aroma sampo yang kita sukai, menyerap keringat, liur, air mata, tumpahan kopi tanpa sekalipun protes, dan berbisik ke telinga kita di tiap malam yang murung: "Berbahagialah. Berbahagialah. Di luar sana. Seseorang mencintaimu, seseorang tengah mencintaimu.." Tetapi, apakah dunia ini akan membiarkan kita menikahi sesuatu yang tidak berasal dari kita, meskipun ia mencintai kita tanpa merasakan duka dan damba? Sepertinya tidak. Semoga hanya "belum" sehingga kita bisa menunggu datangnya hari itu. Sekarang, coba bayangkan gunung terdekat dari rumahmu.(Kalau tak ada, kamu boleh membayangkan Gunung Fuji ataupun Everest.) Coba bayangkan gunung itu pecinta sedang menunggu orang yang dicintainya. Dan dia menunggu semenjak dia ada di dunia. Kurasa sebesar itulah bakatku dalam menunggu. Kurasa sebesar itulah aku ingin bertemu dengan hari itu. Dan berkata kepadanya, "Hanya kamu yang tahu berapa lama lagi aku harus menunggu.”



*sinopsis di Gramedia. 

Senin, 23 Maret 2015

Selamat Ulang Tahun, Athaya





Athaya Alifa,

selamat Ulang tahun, buah hati Cut Nyak


Athaya, cahaya mata..
jika di bawah kaki bunda ada surga
maka carilah cinta di mata-matanya
jangan kau bikin ia berkaca
karena setiap duka yang lahir karena engkau
Tuhan menulis 'durhaka' di kertas-kertasmu


Athaya, pelipur lara..
Ayah yang barangkali diam dan wibawa
suatu waktu mungkin akan murka
bukan karena ia kehilangan cinta
tapi ada lakumu yang tak ia suka
Nak, rendahkan suara. Carilah ridha


sepanjang malam-malam yang dirimbuni gelap
kau barangkali lelap
dan tak pernah melihat juntaian cahaya
melayang bagai kunang di ujung rumputan
;doa-doa 
menjadi mantra sepanjang hidup


Athaya,
di hati ibu bapa Tuhan menyelip ridha
kau buru,nak.
Ridha Tuhan
Ridha mereka
Bahagialah hidup. bahagialah kau buah hati.


/Banda Aceh. 4 Jan-23 Maret 2015
*Maaf, Terlambat Cut Nyak selesaikan.
4 Tahun Athaya nya Cut Nyak.

Rabu, 04 Maret 2015

Selendang Duka Cita



Aku delapan belas tahun ketika Tuhan mengenalkan duka cita itu pada kita.
Aku di kanan, kau di kiri, dan air mata menggandeng di antara
Suaramu yang serak, jatuh basah di telinga
“Lelaki kita pulang ke surga”
Sambil kau seka ujung mata dengan selendang hitam tua
Selendangmu menjalin rupa duka kita jadi makin legam
Kau tumpuk di kepala
Kau sembunyikan cerita-cerita
Hingga suatu malam seorang pesulap singgah dan mulai membaca mantra

Kau dan orang-orang kampung kita mengerumuni keganjilan
Selendang itu kau bawa sekali
Demi menyamarkanmu dan duka luka
Aku mengintip di balik tenda
Kudengar kau tertawa,
Selendang hitam tuamu yang legam disulap jadi merpati
Merpati dan tawamu terbang jauh sekali.
Kau tak tahu, selendangmu jatuh di kepalaku
Ketika kau dan orang-orang pulang, aku berjalan menuju gelap
Selendang itu tiba-tiba berubah jadi air mata.
Punteuet, 2015
* May Yusra Soelaiman, menulis puisi dan cerita pendek. Bermukim di Punteuet, Aceh Utara.

dimuat di Serambi Indonesia, 22 Februari 2015

Perjamuan



Di meja makan, aku tersedu sendirian
Betapa tahun-tahun telah memisahkan kita
dan jadi asing
Kau, aku. Tiba-tiba jadi kelu yang kekal.
Meja makan sepi
Tapi bukankah di sini kita menyimpan kenangan dengan rapi?
Pada meja kayu dan kursi.
Pada benda-benda bersamanya
Seperti ia yang merawat suaramu di serat-serat.
Malam ini,
Kau tiba-tiba di sini, menyimak hujan denganku di meja makan
Di antara doa dan rindu yang pelan-pelan kau lafal tanpa ku tahu
Di hujung meja jarak dua depa,
Kau menungguku di kursi beda
Maaf, aku jarang pulang
Padahal di sana, setiap kali kudatang.
Aku menemukanmu di meja makan.
Kau; diantar serat kayu yang menyimpan kenangan.
/Punteuet, 2015

*dimuat di Serambi Indonesia, 22 Februari 2015
http://aceh.tribunnews.com/2015/02/22/malam-perayaan?page=2

Quote

Quote

Total Pageviews