Berpuluh
tahun kemudian ia akan ingat, ia pernah menikmati malam yang indah di jembatan
ini. Laut malam yang tenang mengirimkan gigil yang menggemeletukkan
tulang-tulang, angin berpusar sekitarnya seolah mengepung dari berbagai
penjuru. Dalam gelap yang sembab oleh cuaca, ia melihat rumah-rumah panggung
penduduk berjejer rapi di pinggiran pantai. Lampunya berpendar pada gelombang
air pasang yang beringsut digoyang angin. Menciptakan lilin-lilin imaji dalam
pikirannya. Ya, ia seperti melihat ratusan lilin mengelilingi bukit rimbun
menggelap yang jauh di belakangnya. Tampak puncak Gunung Datok menjulang ke
langit. Ia ingat kunang-kunang yang bercahaya sepanjang malam di kebun belakang
rumahnya yang ditumbuhi jagung muda. Ia sedang merindukan rumahnya saat itu,
tapi berpuluh tahun kemudian ia juga merindukan malam di tepi jembatan itu.
Dari tempatnya duduk, lampu perahu nelayan berkedip dalam kelam. Bulan sedang
tak singgah malam itu. Ia kurung badannya dengan dua tangan yang melingkari
tubuh. Jaket tebalnya tak mampu mengusir dingin yang menusuk.
“Apakah
kita akan lupa malam ini ketika suatu hari tak di sini?” ia melempar pandang
pada seorang teman di sisinya. Perempuan itu tersenyum sebentar, mengira-ngira
bagaimana suatu hari nanti.
“Bagaimana
bisa? Di sini begitu damai, indah. Bahkan dalam gelap sekalipun.”
“Beginikah
surga di malam hari?”
Temannya
tidak menjawab, malah tertawa.
Ia
melihat sekitar. Merasa-rasa bagaimana kerinduan yang akan melandanya
bertahun-tahun kemudian. Pulau Berhala di hadapannya tampak gulita dengan
pohonan besar dan batu-batu raksasa yang melindunginya. Oleh penduduk, dibagi
pulau itu menjadi dua. Di bagian kiri pulau dibangun pelabuhan Feri antarpulau
ke ibukota propinsi dan kabupaten. Sedangkan di sisi kanan terdapat dermaga yang
biasa disinggahi kapal Pelni Trigas dan Gunung Bintan. Untuk sampai ke dermaga
dan pelabuhan, di tengah-tengah Pulau Berhala dibangunlah jalan dan jembatan.
Jembatan dari semen itu menyambung dari pinggir jalan perkampungan ke arah
laut, dibangun atas tiang-tiang yang kokoh. Di bawahnya, laut yang jernih
seolah bisa menembus pandangan hingga ke dasar yang paling dalam. Laut menjadi
cermin ajaib ketika ditimpa cahaya, tampak ikan-ikan dengan berbagai jenis semarak
kegirangan di antara terumbu karang.
Jembatan
yang sedang ia duduki saat itu ialah jembatan panjang yang dibangun itu. Mereka
menyebutnya Semen Panjang Berhala, karena panjang dan dibuat dari semen. Setiap
menjelang sore, jembatan itu ramai dilalui orang-orang. Berpasang-pasang suami
istri dengan anak-anak mereka, remaja yang jatuh cinta dan tertawa cekikikan di
atas motor, anak-anak perempuan dengan rambut panjang tergerai berkibar ditiup
angin, anak-anak bersepeda, laki-laki dengan kaos dan keringat yang bersimbah
karena olahraga. Di bawah jembatan, beberapa anak berlatih renang dengan bebas
di laut. Setelah waktu magrib usai, berderetlah para lelaki di bibir jembatan bersama
joran dan alat pancingnya, bersiap memancing ikan. Tak jarang mereka membawa
serta anak istri mereka ketika malam-malam libur.
Ia
bukan tak senang dengan keramaian, tapi ia merasa damai ketika duduk jauh dari
mereka dan bising anak-anak yang menyanyi dengan gitar digejreng di pinggir
pelabuhan. Meskipun ketika ia lewat, anak-anak itu akan menegurnya sopan
sembari menundukkan kepala sedikit rendah. Tapi tak jarang, ia menghabiskan
sore bersama mereka. Menunggu sampai matahari mangkat dari langit di sebalik
Pulau Tulai yang behadap-hadapan dengan Pulau Berhala hingga menyisakan merah
saga. Saat itu, ia selalu merasa sangat dekat dengan langit, dengan pencipta.
Ia
selalu datang dengan teman yang sama setiap kali ke jembatan itu. Temannya,
mereka bertemu di kapal ketika ia hendak turun. Seperti beberapa pendatang yang
lain, ia masih asing dengan tempat yang ia singgahi. Mereka saling mengenalkan
diri, lalu memilih tinggal bersama di rumah yang disewakan warga. Ada beberapa
teman yang lain, tapi ia merasa hanya dengannya ia nyaman. Barangkali karena
usia mereka hanya terpaut dua tahun. Temannya tak akan bertanya kenapa ia ingin
ke sana. Kenapa harus malam ketika dingin angin membuat kulit menjadi kisut.
Mereka bisa sama-sama menikmati kesunyian yang mereka ciptakan sendiri, kecuali
jika mereka memang ingin bercerita, bergantian satu sama lain sambil menikmati
otak-otak hangat atau nasi goreng dalam kotak makan.
Malam
itu, ia datang dan duduk di pinggir jembatan panjang itu hanya untuk mengenang
bagaimana ia akan mengingat kenangan itu baik-baik dalam kepalanya. Ia ingin
hafal aroma asin laut yang mampir di penciumannya hingga lekat pada pakaiannya.
Dingin pada pucuk hidungnya. Gigil jari-jari kakinya yang terayun lemah ke arah
air. Kelip-kelip lampu perahu yang jauh. Dan langit yang seolah hanya puluhan
meter dari puncak kepala. Ia simpan baik-baik dalam ingatannya.
“Kau
tahu, aku sangat bersyukur dengan jalan hidup yang digariskan Tuhan untukku.
Bahkan sampai saat sekarang.”
“Termasuk
kehilangan dan keterasingan?”
Kepalanya
lemah mengangguk. Sesuatu yang hangat mengaburkan pandangannya. Ia mendongak,
menatap langit dan mencari bintang yang menunjukkan arah jalan pulang para
nelayan.
“Hidup
menyediakan banyak sekali kejutan, hmm? Ya. Seringkali, kita memang tak siap.”
Sebuah tangan dari belakang memeluk bahunya. Milik temannya.
“Aku
merasa, Tuhan sedang menempa.”
“Nah.
Itu kau tahu.” Tangan itu menepuk-nepuk bahunya.
“Kehilangan.
Perpisahan, kenapa kita sering mengalaminya?”
“Mungkin
karena setelahnya ada pertemuan baru. Seperti bagaimana ranting berpisah dengan
daun, lalu dirimbuni daun muda.”
“Ya,
barangkali kau benar.” Ia menghela napas.
“Saat
ini, aku sedang bersiap-siap untuk perpisahan. Kau tahu?”
Temannya
mengangguk.
Di
minggu-minggu terakhir ia semakin menikmati malam-malam itu sendirian. Terisak
sambil memeluk lutut yang gigil. Ia sendiri bingung, apa yang membuatnya
demikian bersedih kali ini. Ia telah bepergian dari satu tempat ke tempat yang
lain, tapi di sini ia merasa Tuhan telah menciptakan rumah untuknya. Rumah yang
ia cari hingga sepanjang usianya itu. Ia ingat terakhir kali ketika ibunya
memeluk, lalu membisikinya pelan,
“Pulanglah
jika kau rindu, di sini akan selalu ada rumah”
Ia
mengangguk saat itu, melepas ibunya yang sakit-sakitan dengan mata sembab. Tapi
ia tak pernah berani mengatakan pada ibunya bahwa di sana, tak pernah ada rumah
untuknya. Ia cukup tahu, ‘di sana’ yang diucapkan ibunya, hanya di hati
perempuan itu. Hati yang dirimbuni cinta untuknya, tapi selalu dikalahkan oleh
orang lain.
Ia
bukan tak rindu, sering malah. Ia ingin rindu rumah. Rumah yang menenangkan
seperti ia selalu duduk di jembatan. Rumah yang ia bangun dalam kepalanya
sendiri, lengkap dengan gambar wajah-wajah dalam rumah itu, lalu tersenyum
membayangkan kebahagiaan yang dikecapnya dulu. Ia bayangkan tubuhnya mengecil,
berlari mengitar semua isi rumah, membuat seisinya tertawa. Ia terjatuh, menangis,
lalu sebuah tangan mengangkatnya tinggi. Kokoh dan kuat. Tuan tangan itulah
yang tak pernah berhenti menguji rindunya. Bapak. Ia lah yang mengusiknya
pulang dan ingin diziarahi.
Perempuan
itu meninggalkan jembatan dan pohon-pohon besar itu seminggu kemudian dengan
sebuah kapal besar yang bertolak menuju ke Tanjung Pinang. Ia berdiri di
buritan, menatap jembatan itu terakhir kali. Melambai pelan sambil mengucapkan
selamat tinggal. Pada ‘rumah’, pada kebahagiaan yang diberikannya secara
percuma.
***
Bertahun
kemudian, ia mencari ‘sesuatu yang sama’ seperti jembatan yang telah ditemuinya.
Pada setiap perhentian, ia menginap semalam-dua malam untuk menikmati malam di
jembatan dekat pantai. Jika dirasanya hampir sama, ia akan menginap sampai
seminggu. Tapi, tak pernah ada yang benar-benar sama. Sampai pada suatu waktu
di jembatan terakhir, ia bertemu seseorang. Lelaki itu datang hampir senja.
Berkenalan, lalu mengajaknya menyeruput es kelapa muda di pinggir pantai. Ia
canggung. Karena di tahun-tahun yang lewat, saat ia berdiri sendiri, tak pernah
ada yang mengajaknya begitu. Orang-orang terlalu sibuk dengan urusan sendiri
dan ia juga demikian. Lelaki itu mengajaknya bercerita, tentang pantai dan
matahari sore, tentang menikmati sepi seorang diri. Ia bercerita tentang
jembatan dan rumah yang ia cari, tentang rindu yang mengendap dalam kepalanya. Entah
bagaimana, mereka yakin. Mereka merasa pernah bertemu, tapi lupa dimana.
Setahun
setelahnya, ia membangun rumah di tepi pantai. Sebuah rumah panggung sederhana
dari kayu dengan jendela-jendela besar. Suaminya menyenangi pantai, dan ia
rindu jembatan meskipun telah berpuluh-puluh tahun telah lewat.
May Yusra
Soelaiman
Guru Muda Program
Profesi Pendidikan Guru, Unsyiah.
dimuat di Serambi Indonesia, 13 September 2015
http://aceh.tribunnews.com/2015/09/13/jembatan-dan-kenangan-kenangan