Kamis, 26 April 2012

PROMISES, PROMISES. Mencintaimu sekali lagi


Apa yang mesti dilakukan ketika orang yang pernah singgah dalam hati kita datang kembali pada waktu yang tiba-tiba? Mengusik kembali hidup kita yang sudah tenang? Memaksa kita untuk melempar kembali kenangan-kenangan yang sudah kita redam untuk muncul ke permukaan? Mengelupas luka kita yang sudah hampir kering dengan senyumnya lagi? Takdir memang tak pernah mampu kita gambar.


Fiona, ia bertemu dengan lelaki masa lalunya tanpa diduga. Siang itu, ia berkunjung ke rumah kliennya untuk melihat kondisi rumah. Pekerjaannya sebagai designer interior memang mengkhususkannya untuk mengambil gambar dan mengukur ruang pada rumah klien untuk keperluannya. Kliennya adalah seorang artis, Bianca namanya. Ia tak ingin datang terlambat karena ia tak suka menunggu dan ditunggu. Namun, betapa terkejut ketika mendapati bukan Bianca yang datang menemuinya tetapi ia. Lelaki yang diharapnya takkan pernah ia temui seumur hidupnya lagi. Lelaki yang telah menghancurkannya. Lelaki yang membuat semua orang yang dicintainya pergi. Ia tak bisa mengelak. Bosnya (Raymond) perfeksionis dan selalu memaksa setiap orang yang bekerja dengannya harus perfect. Demi pekerjaannya, ia harus mengerjakan design rumah Evan.


Evan pun tak pernah menyangka bahwa ia akan menemukan Fiona-nya. Kekasihnya yang ia tinggalkan 13 tahun yang lalu karena ia harus melanjutkan studi ke Jerman. Ia pergi dengan rasa pengecut yang disimpan dalam hati. Ia tak mampu bertanggungjawab setelah mengambil sesuatu yang berharga milik Fiona. Evan malah meminta Fiona untuk menggugurkan kandungannya dan memberikan sejumlah uang. Fiona memang pergi dari hidup Evan dan berharap ia tak akan menjumpai lelaki itu lagi. Ia membenci Evan dengan janji-janjinya. Sejujurnya, Evan sangat mengharapkan pertemuan itu. Ia sangat senang ketika tak menemukan cincin kawin pada jemari Fiona. Evan menjawab sejujurnya ketika ditanyai Fiona tentang istrinya. Bianca memang istrinya, tepatnya calon mantan istri karena Evan dan Bianca akan bercerai. Sebaliknya, Fiona malah membohongi Evan dengan mengatakan bahwa suaminya telah meninggal.


Fiona telah berubah dan belajar mandiri. Ia terlihat lebih dewasa menyikapi Evan. Ia tak ingin mengulang kesalahannya di masa lalu. Fiona memiliki tanggung jawab yang sudah diembannya. Ia harus menghidupi dirinya sendiri dan Kejora, anaknya yang sedang duduk di bangku SMP. Evan sangat berharap Kejora putrinya, namun Fiona membohonginya. Hingga suatu hari, saat Evan mengunjungi Fiona dan membawakannya bunga matahari, ia melihat Kejora sekilas. Kejora sangat mirip dengan Fiona, namun Ia tak bisa menapik kalau Kejora sepertinya juga memiliki kemiripan dengannya sendiri.


Suatu siang, ia bertemu Kejora sedang bersama teman-temannya. Tak ragu, ia segera mendekat dan mengenalkan diri bahwa mereka pernah bertemu sewaktu Evan mengunjungi Fiona. Sepulangnya ke rumah, Fiona dibuat terkejut oleh Kejora yang membawa buku sangat banyak. Sambil berceloteh, Kejora mengatakan kalau itu adalah hadiah dari Om Evan. Fiona mulai takut. Ia lalu meminta Kejora untuk menginap di Sukabumi menemani ibunya selama liburan. Kejora menurut dengan janji akan mendapat 10 buku untuk jatah seminggu. Hobi membaca Kejora memang menurun dari ayahnya.


Fiona tetap mengerjakan design rumah Evan sampai selesai. Anehnya, setelah satu ruangan selesai, Evan akan meminta Fiona untuk mengerjakan ruangan yang lain. Evan ingin selalu dekat dengan Fiona. Hingga satu hari, Kejora dikabarkan sakit oleh ibu Fiona. Ia bersama Evan lantas ke Sukabumi. Kejora divonis DBD oleh dokter dan harus mendapat donor darah AB secepatnya. Sontak Evan terkejut dan meninggalkan Fiona untuk keluar.  Fiona berpikir bahwa Evan sudah tau posisi Kejora dan berniat meningalkannya dan Kejora. Ia semakin yakin bahwa lelaki itu memang pengecut dan tak ingin bertanggung jawab. Pontang-panting ia mencari donor AB untuk anaknya sampai ke rumah sakit lainnya. Sementara Evan susah mencarinya kemana-mana. Akhirnya Evan mendonorkan darahnya untuk Kejora. Fiona menjumpai Evan setelah menemui ibunya. Lantas mengajaknya ke kantin untuk makan siang. Fiona lalu mengungkapkan semua hal tentang Kejora dan betapa terkejutnya Evan mendengar itu. Evan bersyukur Fiona tidak menuruti kemauannya.


Mereka kembali menjalani hubungan dengan baik. Evan sedikit kecewa karena Kejora tak memanggilnya Papa atau Daddy, tapi tak terlalu mempermasalahkannya karena ia sudah bahagia bisa bersama mereka. Mereka menghabiskan waktu bersama-sama, liburan ke kebun strawbery Evan,dll. Evan lalu meminta Fiona mendesain kamar anak perempuan di rumahnya. Tak diduga, Bianca datang ketika Fiona sedang mengejakannya. Ia mengatakan bahwa ia dan Evan akan rujuk dan mengambil Kejora dari Fiona. Bagi Bianca tak masalah, karena Kejora memang anak biologis dari Evan. Toh, ia sekarang bisa memenuhi harapan Evan untuk memiliki puteri. Emosi Fiona memuncak. Ia pulang ke rumahnya dan meninggalkan semua barang pemberian Evan.


Sekembali dari tugas luar negeri, Evan terkejut mendapati mobil Fiona di rumahnya. Ia berharap Fiona akan memberinya kejutan. Namun Fiona memang tak di rumahnya dan lebih kaget ketika mendapati semua barang pemberiannya ada di kamar. Ia ke rumah Fiona. Fiona berubah, tak lagi seperti biasa. Evan meminta penjelasan tentang perubahan sikap Fiona. Kejora yang tanpa sengaja mendengar pertengakaran itu akhirnya tau kalau ia memang anak Evan. Kejora kecewa pada sikap Fiona.
Esoknya, Kejora tak pulang ke rumah. Fiona sibuk mencarinya dan meminta bantuan Evan. Ia tak punya pilihan lain. Akhirnya, Kejora ditemukan di rumah temannya. Ia langsung berlari memeluk Evan begitu melihatnya, menangis sesengukan di pelukannya. Evan berbicara panjang lebar dengan Kejora sedang Fiona duduk di dalam dengan orang tua Melisa, teman Kejora.
Evan tak menelpon atau menjumpainya lagi setelah mengantarnya sewaktu menjemput Kejora. Fiona merasa bersalah dan harus minta maaf. Beberapa kali ia mendial nomor Evan, namun ia tak mampu untuk bicara. Akhirnya ia memutuskan untuk datang ke rumah Evan. Ia mendapati lelaki itu seperti biasa, tetap menatapnya dengan cinta, memberinya rasa nyaman saat berada di dekat Evan. Ia harusnya percaya pada janji Evan. Evan mencintainya dengan tulus, dengan cinta yang penuh.


Akhirnya, disinilah ia. Bersama Evan.




Judul              : Promises, Promises. Mencintaimu sekali lagi
Penulis            : Dahlian
Penerbit         : Gagasmedia
Tahun             : 2012 (cet. kelima)

Rabu, 18 April 2012

Sepotong Kisah yang Tertinggal


Hembusan angin sepoi membelai lembut jilbab biruku. Aku merapikannya kembali. Sepasang jundi kembarku, zayyan dan rayyan sedang bermain didekat kolam ikan dengan papanya sambil sekali-sekali dilemparkannya umpan ke kolam. Aku hanya tersenyum melihat mereka berteriak gembira ketika ikan-ikan itu menyerbu berebutan makanan.
Ah… ternyata waktu begitu cepat berlalu, jundiku saja sudah tiga tahun setengah. Berarti, kepergianmu sudah berjalan tujuh tahun dan sejak saat itu aku tidak pernah menginjakkan kakiku di Tanah Rencong ini karena aku tidak ingin mengingatmu dan takut luka lama kehilanganmu semakin menganga. Aku kembali ke Yogyakarta karena kurasa itu lebih baik bagi diriku.
Kenangan tentang kita di Langsa dulu masih terekam bagus dalam flashdisk di brainku dan semua kebersamaan kita tercatat dalam buku harianku yang kusimpan rapi digudang rumah ibu dikampung. Dan saat ini, kenangan ini terus menari diruang imajinasiku, aku seakan berjalan dilabirin masa lalu.

***

Aku menyukaimu karena kamu shaleh dan pintar. Setiap memberikan pertanyaan selalu berlandaskan hadist Rasulullah, berbeda lagi dengan Najib dan Imam yang mengajukan pertanyaan berdasarkan Tafsir dan Hikayat. Aku tidak tahu kapan rasa itu dapat muncul, mungkin karena kebersamaan kita dalam satu kelas. Tapi, perasaan sukaku tidak pernah kuungkapkan di depan teman-teman. Aku tetap menjaga marwahmu di depan semua.  Hal itu kusimpan rapat dalam hatiku.
Pernah suatu hari Tia menanyakan perasaanku terhadapmu,
“Qayla suka sama Rifki kan?”, tebaknya asal
“Enggak.. Qayla gak suka kok. Cuma temen aja”, aku mengelak sambil berusaha menyembunyikan rona wajahku yang kian semerah tomat.
“Jujur aja deh..”, ia menudingkan telunjuk kanannya ke mukaku. Sebuah pertanyaan yang sangat menggoda.
“Udah ah. Qayla gak suka diejek sama Rifki, Qayla bakal marah ne..”, itu senjata terakhirku untuk hari ini. Walaupun keesokan harinya mereka kembali mengolok-olok aku dan kamu.
Hari-hari kita lewati dalam satu kelas. Rasanya senang dan bahagia karena aku bisa bersamamu selama tiga tahun. Selama itu pula aku mencoba mengenal hatimu. Ternyata semakin kukenal, semakin pula aku jatuh cinta pada hatimu, aku takut jika suatu hari akan kehilangan hati seperti milikmu. Olokan teman-teman semakin gencar saja. Tapi, kamu masih bisa bertahan dengan ejekan mereka. Aku pikir, mereka hanya mengolok-olokku saja, ternyata juga kamu. Waktu itu, kamu hendak ke perpustakaan di samping gedung Aliyah, teman-teman sedang berkumpul di koridor depan kelas. Aku hanya mengamatimu dari jauh, akhlakmu kian tampan saja. Tiba-tiba suara serak Indi memanggilmu,
“Rifki…Qayla titip salam tuh.”, kamu hanya melihat sekilas, aku menahan degup jantung yang tidak beraturan dibalik gorden jendela kelas kita. Tuhan..aku malu pada Rifki. Kupikir akan ada reaksi negatif darimu, ternyata kamu hanya diam dan terus mengatur langkah menuju kearah perpustakaan kampus kita. Rifki..kamu terlalu dingin.
Penghujung kelas tiga…
Kita mulai konsentrasi untuk belajar ujian akhir sekolah dan dayah. Aku sibuk dan kamu juga sangat sibuk. Tapi, akhir-akhir ini aku gelisah, entah apa yang aku risaukan. Mungkin karena hatiku sangat takut kehilangan hatimu. Entahlah… aku masih menyimpan perasaanku. Tidak ada yang tahu selain aku dan Tuhan.
Malam perpisahan aku lewati dengan kesan yang mendalam, namun tidak ada kesan khusus darimu. Tak ada signal yang mampu kutangkap walaupun untuk terakhir kalinya aku berjumpa denganmu. Engkau masih menatapku seperti dulu, sekilas lalu menunduk…padahal aku ingin berteriak,
“Rifki…katakan sesuatu!!”
Tapi aku tidak mampu. Kubiarkan saja waktu yang akan menjawab semua itu. Hingga akhirnya kita sama-sama meninggalkan Aceh, kamu mendapat beasiswa Strata 1 ke Thailand dan aku lulus undangan ke Yogyakarta. Jarak membentang jauh antara kita, melewati lautan. Dan aku hanya mampu menyerahkan semuanya pada Tuhan, jika kita memang sehati maka Tuhan akan menyatukan kita kembali dalam satu cawan cintaNya yang agung. Aku percaya akan janji Tuhan.
Nun jauh di kota pelajar, aku mencoba belajar sesibuk mungkin. Ikut terjun dalam kesibukan organisasi di kampus, dan kucoba lumpuhkan perasaan ku terhadap masa lalu antara kita. Kucoba menghibur diri dengan berpertualang ke dunia maya, hingga akhirnya kutemukan satu “Email tersesat” dalam inbox milikku..

>>Ass. Qayla.. met ulang tahun ke 22 ya. Maaf kalo’ selama ini gak hubungin Qayla.(Rifki)

Air mata meleleh pelan dari mataku, langsung aku bersujud syukur di lantai kamar. Tuhan menjawab doa yang kupanjat ketika mata-mata lelah manusia terkatup kuat dan lelap dalam selimut malam yang dingin dan senyap, dalam embun-embun pagi yang turun dari langit tujuhNya. Ku reply cepat Email darimu sambil kucoba bayangkan kamu saat itu.

>>Wss. Makasi rifki, masih ingat hari istimewanya Qayla. Senang akhirnya bisa ketemu sama rifki lagi. Kapan kita bisa chatting?

Kuberanikan diri untuk lebih agresif, seperti Tia katakan kalau kamu tidak akan pernah berubah. Getaran itu semakin dahsyat menguasaiku. Tapi kurasa, kamu mulai sedikit berubah.
Kita chatting dua hari selanjutnya, aku tidak dapat menggambarkan suasana hatiku saat itu. Dengan agak malu aku menanyakan,

>>Rifki kok gak marah waktu temen-temen ngejek kita dulu?
>>Ngapain marah. Bukan Rifki kok yang capek
>>Berarti senang donk.. B-p
>>Gak juga. Biasa saja
Sikapmu masih juga sama. Cuek dan tak terlalu peduli.
>>Emmm…Rifki gak suka sama Qayla ya?
Agak lama kamu me-reply nya. Aku tak sabar. Menyinggungmu kah??
>>Afwan, tadi dhuha dulu. Siapa yang gak suka sama Qayla??
Ya tuhan…itukah jawaban untukku? Jebolan air bah membuncah dari mataku. Aku sudah cukup bahagia dengan kabar itu.
>>Pulang ke Aceh yuk. Ntar ketemu di Mesjid Raya Baiturrahman saja, gimana? Maukan?? J
>>Insya Allah 24 ini Qayla sampai.
>>Yupz, Rifki akan pulang lebih cepat.

Dengan hati yang penuh harapan, aku kembali ke Aceh. Tujuanku hanya ingin menemuimu. Aku malu mengakui pada Tia, namun akhirnya kuceritakan juga yang sebenarnya dan kuharap ia bisa menemaniku sewaktu bertemu denganmu.
“ Yang suka sama Rifki kan, Qayla?.  Jadi perginya sendiri aja yah..”
“ Qayla gak berani. Qayla malu sama Rifky !”, aku merengek padanya.
Akhirnya anggukan kepala Tia cukup menjadi jawaban yang sangat menggembirakan untukku. Seperti janji, aku menunggumu di teras mesjid. Agak lama aku mencarimu karena belum muncul-muncul juga. Dari arah dalam mesjid, kamu datang. Aku mencoba untuk mengendalikan suara hatiku yang bergejolak. Inikah Rifky yang selama ini telah menawan hatiku? Yang selalu hadir dalam doa di setiap usai shalatku? Ia memberi salam.
“ wa’alaikum salam!”, aku menjawabnya dengan sangat malu-malu.
“ Saya tahu, kalo udah ketemu setiap perempuan pasti malu-malu”, mukaku kian merah seperti tomat ketika kamu mengatakan seperti itu. Hari itu kita bicara banyak di teras mesjid. Aku ikut mencatat dalam perjalanan hidupku, 25 Desember, pertama kalinya seorang Rifky duduk berbicara denganku, di tempat yang maha mulia. Kemudian setelah itu, kamu pergi karena harus menyiapkan rapat untuk besok, ada Mubes ORALEXISMUQ (Musyawarah Besar Organisasi Alumni dan Eks Santri Madrasah Ulumul Qur’an). Banyak anggota dan ustadz-ustadz yang ikut menghadirinya. Aku juga mohon diri. Untuk terakhir kalinya, kamu masih sempat memberikan senyum untukku. Terima kasih, Rifky.
Malam itu aku tersentak dari lena yang panjang. Entah apa yang terjadi, aku mengkhawatirkan sesuatu akan terjadi padamu, karena aku tiba-tiba teringat padamu ketika bangun. Tuhan, tolong jaga Rifky,,pintaku pelan dalam doa tahajudku.
Minggu pagi…
Tiba-tiba semua bergoncang. Aku berzikir dalam hati, memohon pertolongan pada yang Esa. Padahal saat itu, aku sedang bersiap-siap hendak menghadiri acara ORALEXISMUQ. Goncangan itu semakin dahsyat. Hingga aku tak sempat memikirkanmu, aku sibuk berzikir. Tak lama kemudian, terdengan suara ribut orang-orang yang mengatakan bahwa air laut mulai naik dan aku juga ikut berlari bersama mereka. Ini mungkin akhir cerita di dunia. it’s the real kiamat.
Aku tidak sanggup menceritakan secara detail padamu. Yang aku tahu, semua bangunan roboh, banjir dengan air hitam yang setinggi pohon kelapa, menghanyutkan semuanya. Ibu terpisah dari anak, suami dari istrinya, keluarga dari saudara-saudaranya. Aceh berduka kala itu, berpuluh ribu orang ikut tenggelam bersama ie beuna, Tsunami melanda. Aku juga ikut mencatat dalam buku harianku, tidak ! bukan hanya aku, tapi dunia mencatat dalam peradabannya, Aceh menangis pilu saat itu.
Rifky, aku tidak tahu kamu dimana. Kucoba menghubungi lewat ponsel, tak ada jaringan. Teman-teman tak ada yang tahu. Tahajudku sedikit membantu memberi ketenangan. Kucoba untuk tilawah, namun fikiranku hampa dan melayang entah kemana. Hingga kabar keesokan harinya mengejutkanku, menghentikan kerja organ dalam tubuhku, kamu meninggal saat ikut berlari bersama teman-teman yang sedang mempersiapkan acara Mubes. Duniaku berputar, tak kutemukan lagi pijakan. Rifky, secepat itu ? padahal kita sudah berjanji selesai rapat ORALEXISMUQ, kita akan membicarakan tentang rancangan masa depan kita. Tapi, sekarang.. semua hancur cuma beberapa saat setelah Allah menunjukkan kuasanya yang agung.
Meskipun demikian, aku mencari jasadmu diantara ribuan mayat yang lain, diantara puing reruntuhan yang tak bernama lagi. Tapi, nihil. Kamu bagai ditelan bumi. Aku lelah dan tidak menemukan apa-apa. Aku ridhai kepergianmu, tapi tak bisakah aku melihatmu untuk keterakhir kalinya? Sebelum kita berpisah untuk selama-lamanya? Beberapa teman yang mencarimu juga tidak mendapatimu. Aku semakin putus asa. Rifky, semua kehilanganmu. Ibumu menangis kehilangan pelita hidupnya, ayahmu berduka kehilangan tonggak harapan, dua adikmu lebih-lebih lagi, mereka seakan kehilangan separuh hidup mereka dan aku, separuh hatiku telah kau bawa pergi dan aku hidup saat ini dengan setengah hatiku lagi.
Dalam temaram lampu tengah malam, kadang aku berpikir. Kenapa kita ditemukan kembali setelah lama dipisahkan, toh  ujung-ujungnya dipisahkan juga. Tapi, aku harus yakin bahwa ada rahasia tuhan untukku dan untukmu. Meskipun demikian, aku belum mampu menutup kisah kita. Terlalu banyak cerita dan ketika aku mencoba melupakannya sangat sulit dan akhirnya kuputuskan untuk kembali ke Yogyakarta dan tidak akan pernah kembali lagi ke Aceh karena trauma kehilanganmu. Kusibukkan diriku dengan banyak kegiatan, tak kupedulikan stamina yang kurang fit. Pokoknya aku tidak boleh duduk karena tanpa sadar bayangan tentangmu akan terselip diantara khayalku dan akan membuatku sesenggukan menangis. Walaupun demikian, harus kuakui bahwa aku selalu menangis saat mendoakanmu.
Hingga suatu hari sebuah proposal datang kepadaku. Ada ikhwan ingin mengkhitbahku. Aku meminta waktu yang cukup lama untuk mempertimbangkannya. Lalu kucoba untuk konsultasi pada guru ngajiku, Ustazah Raihana. Aku sempat terkejut mendengar jawabannya, “Qayla, menikahlah. Kau harus menyadarinya bahwa Rifky dan kamu sekarang berada di alam yang berbeda. Mustahil akan bersatu dan kamu juga harus melanjutkan hidupmu”, tepukan lembut di bahuku sedikit menyadarkanku bahwa keadaannya memang telah berbeda. Ya, aku harus membulatkan sebagian purnamaku yang belum penuh, menggenapkan separuh dienku lagi.

***

“ Mama.. yuk !. papa dah nunggu tuh !”, tarikan Rayyan dan Zayyan membuyarkan semuanya. Lakon cerita di masa lalu terurai entah kemana.
“ Mama, ayuk..!”.
Aku memalingkan wajahku ke arah mesjid. Jantungku seketika berdetak lebih kencang, bola mataku membulat. Rifky !!!. kukedipkan mata berkali-kali, tak percaya dengan penglihatanku sendiri. Oh tuhan, suamiku. Ia duduk di tempat Rifky duduk saat itu. Entah hanya kebetulan atau memang rencana Tuhan, wajah mas Fikry dan Rifky memang sangat mirip. Persis bahkan, seperti kembar identik, begitu juga dengan namanya. Ini adalah sebagian kecil dari keajaiban Tuhan menurutku.
Kusunggingkan senyum pada dua jundiku,
“ Ayuk…!!!”, ajakku sambil berjalan menuju teras mesjid. Senyuman khas mas Fikry menyambutku, kulepaskan Rayyan dan Zayyan untuk terus bermain.
“ Kenapa dek? Inget Rifky lagi?”, pertanyaan mas Fikry mengejutkanku, aku mengangguk pelan. Tetesan bening mengalir perlahan dari mataku.
“ Ya udah, sini…!!”, ia menarikku dalam rengkuhnya. Betapa damai, semoga Rifky juga merasakan kedamaian yang sama.

***
Punteuet, 19 juni 2007
Aku dedikasi untuk kak Dian dan bang Razy yang sudah pergi. Semoga arwahnya tenang disisi rabb yang agung. Amien ya Allah..

Sabtu, 14 April 2012

PRAHARA


Panggung adalah ruangan remang-remang dengan pencahayaan dari sebuah lentera, sebuah meja yang sedikit berantakan. Tampak anak sedang duduk merenung sendiri.

Anak     : Kau tau? Telah berlembar-lembar kertas kuhabiskan untuk menulis surat padanya. Mengabari bahwa aku ingin bertemu dengannya. Bermalam-malam aku terjaga, berdoa pada Tuhanku. Mungkin Ia mendengar dan mengabulkan harapanku yang tinggal sebatang saja. (wajahnya murung, menekuri lantai)

Suara    : Tapi Kau anaknya dan dia Ibumu!

(Anak berteriak dengan garang).

Anak     : Ia tak pernah menganggapku anak. Andai bisa, mungkin Ia akan membunuhku sebelum aku melihat dunia ini. (matanya menerawang). Ibu macam apa dia??

Suara    : Meskipun demikian, Kau tak bisa membohongi dirimu sendiri. Kau sangat menginginkannya.

Anak     : Dia tidak menginginkanku.

Suara    : Kau sadar ? Ada darahnya dalam tubuhmu. Berbaur, kawan.
Anak   : Aaaarrrggghhh…. Ibuuu.. (Berteriak)

Suara    : Ia sedang mendengarmu yang memanggil-manggilnya. Kau tidak melihat?. Jiwanya menggigil.

Anak     : Tidak… Batinnya tidak pernah mengikat batinku. Setetes air susu pun tidak pernah kurasakan darinya. Ia tak pernah mendendang di dekat buaianku. Ia tak memelukku. Kau tau, Ia hanya butuh ayahku. (anak mencibir).

Suara    : Kau melupakan pengorbanan Sembilan bulannya?

Anak     : Ayahku masih ada saat itu (menjawab dengan ketus)

Suara    : Senyumnya berbinar ketika Kau mulai masuki dunia barumu di rahimnya. Wajahnya secerah matahari pagi. Kau tak melihat, Ia sungguh bahagia saat itu.

Anak     : Untuk mempererat hubungannya dengan ayahku dan talinya adalah Aku.

Suara    : Ia membelai lembut saat Kau menendang-nendang di dalam perutnya. Masihkah Kau rasakan usapannya?

Anak     : Ada Ayahku di sampingnya.

Suara    : Ia semakin terhuyung-huyung saat kau kian membesar di perutnya. Ia lemah, tapi berusaha kuat.
Anak     : Itu trik menarik perhatian Ayahku.

Suara    : Perjuangannya dengan keringat dan darah tepat saat kau genap Sembilan  bulan? Kau lupa? Kau menjerit sekuat tenagamu. Kau tak pedulikan ia bahkan.

Anak     : Aku tak tahu apa-apa saat itu. Tapi, kau lihat sendiri sekarang. Ia tak pernah peduli kepadaku. Menelantarkanku pada Ibu tiri yang sungguh sangat baik hati, saudara yang mau menerimaku apa adanya. Hingga aku ragu pada mitos Ibu tiri yang mereka semburkan ketika kukecil.

Suara    : Kau melupakan posisinya sebagai Ibu kandungmu !. (suara mengingatkan)

Anak     : Ia tak pernah berfikir bahwa aku anaknya. Ia mudah saja melepasku pergi setelah Ayahku meninggal, menitipkanku pada Ibu tiri. Aku bimbang, masih adakah surga di bawah telapak kakinya ??? (suaranya merendah, sedikit mencibir)

Suara    : Mungkin Kau tak lagi butuh pada surga itu. Kau tak mencarinya.

Anak     : Aku telah lelah mencarinya. Menghiba kasih padanya. Kau tak melihat, Aku menunggunya seusai dia berbelanja. Kau tak dengar, pilunya suaraku ketika memanggilnya. Kau tau reksinya? melihat ke arahku saja tidak. Ia tak mengenaliku. Ia tak tau, aku semangnya yang dulu ia tinggal. Bayi merahnya yang tak ia inginkan.

Suara    : Itu cuma perasaanmu. Kau di ambang benci karena Kau sangat mencintainya. Animo yang kau pendam karena ingin bertemu dengan Ibumu.

Anak     : Sekarang Kau jawab!. Aku atau Ia yang salah ?

Suara    : Tak ada yang salah.

Anak     : Kau bohong.

Suara    : Aku atau Kau yang berbohong sekarang?.

Anak terdiam. Merenung sendiri.

Suara    : Kau berbohong pada dirimu sendiri. Kau butuh ia, tapi mengatakan seolah Kau tak peduli ia ada atau tidak. Kau sangat mencintainya, namun Kau berpura-pura tak menginginkannya. Kau sadar? Kau menyiksa dirimu sendiri, kawan.

Anak     : Kau ingat? Ia tak menginginkanku, tak butuh padaku, tak mencintaiku, tak mengharapkanku, tak ingin aku masuk dalam kehidupannya, tak ingin berbaur dengan hidupku, Ia tak menganggapku ada.. (anak meluapkan emosinya lewat kata yang ia ucapkan)

Suara    : Sungguh ?.Kau belum jujur. Katakan kau menginginkannya.

Anak     : Tidak.

Suara    : Katakan !

Anak     : Jangan memaksa lebih padaku. Aku benci padanya…

Suara    : Baiklah. Terserah Kau saja. Aku lelah membujukmu. Aku telah mengarahkanmu pada surga pada yang Kau impikan.

Anak     : Terserah. Kau mau apa jika Aku tak mau ?

Suara    : Aku akan pergi.

(Suara angin berhembus. Suara telah pergi. Anak mencari-cari suara)

Anak     : Dimana Kau ??? (ia berteriak. Senyap. Tak ada suara.)

Anak     : Kau dengar ?? Aku Mencintainya … Aku Butuh Ia… Ia Ibuku, Aku akan mencari surga yang telah Kau tunjuk itu. Kembalilah Kau… Kau dengar aku ??

Tak ada suara. Semuanya telah sepi. Gelap bahkan seiring Layar yang tetutup.


SEKIAN

Terima Kasih, Bapak


Bismillah..
Hari ini tak ada cerita. Aku hanya ingin menulis. Menulis tentang sesuatu. Untuk menghapus rinduku yang kelam. Tertumpuk dalam hati. Ingin membuang. Tapi sungguh sayang. Rinduku adalah rindunya yang belum usai. Rindu nilai-nilai ku, rindu prestasiku, rindu pada toga ku yang gagah, rindu melepas pergi dan entah rindu apa-apa lagi. Aku bingung.
Tapi aku tau, ia rindu. Aku rindu. Sama merindu, tapi kami tak dekat, tak jauh, ia mengamati tanpa kutahu, ia mengunjungi tika ku lelap.
Mimpiku kian mengantar rindu itu. Lalu sesat entah dimana.
Setelah dua tahun, ini lah aku. Hasil tempaannya selama ini seolah tak berguna. Aku tak mendengar petuah panjang nasehat manfaat darinya. Tak melaksanakan secuil pun dari itu semua. Aku takut dibenci. Tapi terlanjur.meski kutahu, ia takkan setega itu.
Aku mencintainya dan ia mencintaiku. Lelakiku setelah ayah. Yang kusibak wajah dan kukecup wajahnya berkali-kali. Melepas tangis. Melepas pergi. Akh, maha sudah rinduku.
Kau sedang apa?
Mengukir wajahku di kaki surga kah ?
Agar aku juga diperkenan ke sana?
Kau tau, amalku seujung kuku pun tak. Sedang kau, orang yang paling ku hormati dalam hidup. Kucintai dengan caraku. Kau segalanya. Kau ayah pertama setelah ayah. Kau orang pertama dengan nafas didikmu.
Aku pernah menyibak hati berkali-kali, tapi salah itu masih membelenggu. seolah itu dosa masa lalu yang tak kan hilang biar kusiram berliter-liter air surga. Resah yang menggantung. Tanggung jawab yang tak usai dan kata yang tepat. ‘Tak tahu di untung’
Ini aku, yang kau kenang saban malam dahulu. Yang kau doa sepanjang mekkah-madinah, memohon ridhanya tuk tetap bersamaku. Kau dengan semua kesempurnaan yang telah kau lekatkan pada fikirku. Kau dengan sikap kerasmu yang mengungkung untuk semua kebaikanku. Aku bangga bernafas bersamamu.
Sekali lagi, terima kasih telah menjadi bapakku.

Adakah Rindu..


Mungkin karena tiap detik adalah bait rindu yang panjang..
Yang menguntai melewati waktu,
Menerbangkan sejuta angan,
Seperti rindu ku…
Tak rindu kita.

Jika serentet masa telah terlewat tanpa tawa,
Adakah bahagia itu juga masih untukku?
Sedang rindu telah kau bungkus dengan sorban yang telah kau khususkan untuknya…?
Tertulis nama nya..
Dan nama ku, hanyalah keping sampah di sudut hati…
Tak kau buang,
Tak juga kau daur ulang…
Padahal aku ingin, berlindung dalam ruang hati yang kau siapkan…
Atau sampai ku harus menunggu?
Jika kau ingin begitu,

Karena ku tak harap,
Jika sebaris tawamu berganti luka.
Jika untai hari bahagia, ku toreh coretan kecil kecewa..
Pahamkah kau,
Ada rindu di mataku..?
Ada cinta yang tak terucap lewat tatapku..
Ada gumpal kehampaan dalam relung kelam ini,
Seperti yang lalu,
Ketika aku menunggu purnama di dekat hatimu,,,

Mari Memula Kisah Kita


Renung..
Lalu,
Mari memulai kisah kita. Ini kisah bukan sembarang. Tak senang dibuang dan tak indah disimpan. Ketika cinta merangsek masuk perlahan ke dalam jambang bernama hati, kita tak paham. Kau ingat ? kita mengawalnya dan merangkum dengan sayang. Memapahnya pelan takut hilang. Sedang kau jua tak lekang memegang pergelangan cinta. Aku merajut rindu. Perlahan mengambang antara ada dan tiada. Hingga tak mampu kubedakan, ini sayang atau cinta. Ini rindu atau muak. Oh, maafkan jika kataku kelewatan.
Sepanjang waktu, kita menghayal, memimpi harapan, meramu semau kita hingga kisah itu berakhir indah. Namun, kita lupa pada satu hal. Hidup tak dan bukan kita mengatur.
Saat semua berakhir, kita masih seperti semula. Bercakap lama dalam sua yang jarang. Akh, sedikit mengenang malam-malam kita dahulu. Aku tak ingin sebenarnya, tapi harus. Ini sakit, tapi akan indah jika kita mengganti nama jadi saudara.
Inilah kita,
Dan masih seperti dulu.
Kita masih bersaudara.

Puing Masa Kanak


Hai.. apa kabar?

Segelintir ingatan mengantarku padamu. Impianku terdahulu. Setelah lama aku membuang rasa percuma pada sikapmu. Aku seakan tersadar, liku ini telah lama panjang. Hanya tinggal sisa puing kenangan kita saja. Pahit, manis mengabur dalam asa yang hilang entah kemana. Kau tak pernah menanggapi rasa ini semacam apa. Yang aku tau, kau tak pernah ingin aku ada. Itu saja. Tak ada sikapmu yang dapat meyakinkanku. Cinta kadang tak pernah memilih secara benar. Aku bingung.
Sepanjang masa yang telah lewat, kejappun tak pernah kau ingat aku. Terombang-ambing dalam galau gamang berbaur. Dicinta atau dibuang, dan mungkin hidupku memang tak ingin Tuhan tautkan denganmu.

Ah, sudahlah.
Kau saja tak mengenalku. Untuk apa berharap. Namun, rindu ini mengecamku. Menarik punah semua egoku untuk tak memulai. Aku ingin jadi penyampai. Meski kau bukan seorang yang bisa menerima dengan baik. Kau kadung sempurna memimpikan sesuatu. Membuatku serasa tak punyai hal semua itu dengan lengkap. kau tau? Aku penat berharap jadi impi-impimu yang utuh.
Aku tahu, sekarang kau tak lagi memapah langkah sendiri. Puzzle-puzzle yang kau nanti telah kau harap sesempurna anganmu. Akankah ?

Relung itu mulai tak kosong atau kau telah membuang senyap yang dulu erat rapat dalam remang kau simpan?

Baiklah,
Aku telah tak mencari lagi hati sempurna milikmu, serta aku juga sudah tak memandangmu penuh kagum lagi. Batu karang yang kusangka kokoh, toh juga akan roboh. Maaf.


Kenalkan;
Aku,
Sepasang mata yang dulu pernah lekat menatap.

Seorang Takmir,,


Malam senyap kian menggigil,
Menebarkan sedikit aroma ketakutan pada jiwa-jiwa kerdil,
Dalam kelam bisu,
Terdengar tasbihnya mengalun seirama desah nafas yang telah lelah
Mungkin lelah menelaah hidup,
Tak juga sampai,
Atau mungkin masih panjang.

Diantara shaf kosong, tanpa penghuni
Ia mengimami para malaikat yang turun kebumi.
Malam itu, tahajudnya bersama sedikit rintik gerimis.

Dalam doa panjang,
Ia memanggil nama anak-anaknya, menghiba pada Tuhan
Agar selalu dilindungi, dirahmati dalam naungan.
Agar tak sesat langkah tika berjalan,
Sayang, mereka sedang bermimpi, tak sempat peduli.
Yang seorang sedang mencuri,
Terjawabkah doa?

Esok,
Setelah fajar dan dhuha kian meninggi..
Ia mati.
Anak-anaknya tak mendatangi
Karena malu, ayahnya seorang takmir mesjid.

Banda Aceh, 17 January 2010

Stanza Dosa


Maka pada satu sudut sunyi
Kuhantar sesembah diri paling suci
Di relung-relung palung rasa
Kita menghamba
Pada senyap sayap iman
Hamba lupa papar doa
Remah-remah itu kian layu di batas masa
Dosa itu telah tua.

Banda Aceh [Kelas 2 IA 1, SMA 3],
4 Oktober 2011

Quote

Quote

Total Pageviews