Panggung
adalah ruangan remang-remang dengan pencahayaan dari sebuah lentera, sebuah
meja yang sedikit berantakan. Tampak anak sedang duduk merenung sendiri.
Anak : Kau tau? Telah berlembar-lembar kertas
kuhabiskan untuk menulis surat padanya. Mengabari bahwa aku ingin bertemu
dengannya. Bermalam-malam aku terjaga, berdoa pada Tuhanku. Mungkin Ia
mendengar dan mengabulkan harapanku yang tinggal sebatang saja. (wajahnya
murung, menekuri lantai)
Suara : Tapi Kau anaknya dan dia Ibumu!
(Anak berteriak
dengan garang).
Anak : Ia tak pernah menganggapku anak. Andai
bisa, mungkin Ia akan membunuhku sebelum aku melihat dunia ini. (matanya
menerawang). Ibu macam apa dia??
Suara : Meskipun demikian, Kau tak bisa membohongi
dirimu sendiri. Kau sangat menginginkannya.
Anak : Dia tidak menginginkanku.
Suara : Kau sadar ? Ada darahnya dalam tubuhmu.
Berbaur, kawan.
Anak : Aaaarrrggghhh…. Ibuuu.. (Berteriak)
Suara : Ia sedang mendengarmu yang
memanggil-manggilnya. Kau tidak melihat?. Jiwanya menggigil.
Anak : Tidak… Batinnya tidak pernah mengikat
batinku. Setetes air susu pun tidak pernah kurasakan darinya. Ia tak pernah
mendendang di dekat buaianku. Ia tak memelukku. Kau tau, Ia hanya butuh ayahku.
(anak mencibir).
Suara : Kau melupakan pengorbanan Sembilan
bulannya?
Anak : Ayahku masih ada saat itu (menjawab dengan
ketus)
Suara : Senyumnya berbinar ketika Kau mulai masuki
dunia barumu di rahimnya. Wajahnya secerah matahari pagi. Kau tak melihat, Ia
sungguh bahagia saat itu.
Anak : Untuk mempererat hubungannya dengan ayahku
dan talinya adalah Aku.
Suara : Ia membelai lembut saat Kau
menendang-nendang di dalam perutnya. Masihkah Kau rasakan usapannya?
Anak : Ada Ayahku di sampingnya.
Suara : Ia semakin terhuyung-huyung saat kau kian
membesar di perutnya. Ia lemah, tapi berusaha kuat.
Anak : Itu trik menarik perhatian Ayahku.
Suara : Perjuangannya dengan keringat dan darah
tepat saat kau genap Sembilan bulan? Kau
lupa? Kau menjerit sekuat tenagamu. Kau tak pedulikan ia bahkan.
Anak : Aku tak tahu apa-apa saat itu. Tapi, kau
lihat sendiri sekarang. Ia tak pernah peduli kepadaku. Menelantarkanku pada Ibu
tiri yang sungguh sangat baik hati, saudara yang mau menerimaku apa adanya.
Hingga aku ragu pada mitos Ibu tiri yang mereka semburkan ketika kukecil.
Suara : Kau melupakan posisinya sebagai Ibu
kandungmu !. (suara mengingatkan)
Anak : Ia tak pernah berfikir bahwa aku anaknya.
Ia mudah saja melepasku pergi setelah Ayahku meninggal, menitipkanku pada Ibu
tiri. Aku bimbang, masih adakah surga di bawah telapak kakinya ??? (suaranya
merendah, sedikit mencibir)
Suara : Mungkin Kau tak lagi butuh pada surga itu.
Kau tak mencarinya.
Anak : Aku telah lelah mencarinya. Menghiba
kasih padanya. Kau tak melihat, Aku menunggunya seusai dia berbelanja. Kau tak
dengar, pilunya suaraku ketika memanggilnya. Kau tau reksinya? melihat ke
arahku saja tidak. Ia tak mengenaliku. Ia tak tau, aku semangnya yang dulu ia
tinggal. Bayi merahnya yang tak ia inginkan.
Suara : Itu cuma perasaanmu. Kau di ambang benci
karena Kau sangat mencintainya. Animo yang kau pendam karena ingin bertemu
dengan Ibumu.
Anak : Sekarang Kau jawab!. Aku atau Ia yang
salah ?
Suara : Tak ada yang salah.
Anak : Kau bohong.
Suara : Aku atau Kau yang berbohong sekarang?.
Anak terdiam.
Merenung sendiri.
Suara : Kau berbohong pada dirimu sendiri. Kau
butuh ia, tapi mengatakan seolah Kau tak peduli ia ada atau tidak. Kau sangat
mencintainya, namun Kau berpura-pura tak menginginkannya. Kau sadar? Kau menyiksa
dirimu sendiri, kawan.
Anak : Kau ingat? Ia tak menginginkanku, tak
butuh padaku, tak mencintaiku, tak mengharapkanku, tak ingin aku masuk dalam
kehidupannya, tak ingin berbaur dengan hidupku, Ia tak menganggapku ada.. (anak
meluapkan emosinya lewat kata yang ia ucapkan)
Suara : Sungguh ?.Kau belum jujur. Katakan kau
menginginkannya.
Anak : Tidak.
Suara : Katakan !
Anak : Jangan memaksa lebih padaku. Aku benci
padanya…
Suara : Baiklah. Terserah Kau saja. Aku lelah
membujukmu. Aku telah mengarahkanmu pada surga pada yang Kau impikan.
Anak : Terserah. Kau mau apa jika Aku tak mau ?
Suara : Aku akan pergi.
(Suara angin
berhembus. Suara telah pergi. Anak mencari-cari suara)
Anak : Dimana Kau ??? (ia berteriak. Senyap. Tak
ada suara.)
Anak : Kau dengar ?? Aku Mencintainya … Aku Butuh
Ia… Ia Ibuku, Aku akan mencari surga yang telah Kau tunjuk itu. Kembalilah Kau…
Kau dengar aku ??
Tak ada suara.
Semuanya telah sepi. Gelap bahkan seiring Layar yang tetutup.
SEKIAN

