Sabtu, 14 April 2012

PRAHARA


Panggung adalah ruangan remang-remang dengan pencahayaan dari sebuah lentera, sebuah meja yang sedikit berantakan. Tampak anak sedang duduk merenung sendiri.

Anak     : Kau tau? Telah berlembar-lembar kertas kuhabiskan untuk menulis surat padanya. Mengabari bahwa aku ingin bertemu dengannya. Bermalam-malam aku terjaga, berdoa pada Tuhanku. Mungkin Ia mendengar dan mengabulkan harapanku yang tinggal sebatang saja. (wajahnya murung, menekuri lantai)

Suara    : Tapi Kau anaknya dan dia Ibumu!

(Anak berteriak dengan garang).

Anak     : Ia tak pernah menganggapku anak. Andai bisa, mungkin Ia akan membunuhku sebelum aku melihat dunia ini. (matanya menerawang). Ibu macam apa dia??

Suara    : Meskipun demikian, Kau tak bisa membohongi dirimu sendiri. Kau sangat menginginkannya.

Anak     : Dia tidak menginginkanku.

Suara    : Kau sadar ? Ada darahnya dalam tubuhmu. Berbaur, kawan.
Anak   : Aaaarrrggghhh…. Ibuuu.. (Berteriak)

Suara    : Ia sedang mendengarmu yang memanggil-manggilnya. Kau tidak melihat?. Jiwanya menggigil.

Anak     : Tidak… Batinnya tidak pernah mengikat batinku. Setetes air susu pun tidak pernah kurasakan darinya. Ia tak pernah mendendang di dekat buaianku. Ia tak memelukku. Kau tau, Ia hanya butuh ayahku. (anak mencibir).

Suara    : Kau melupakan pengorbanan Sembilan bulannya?

Anak     : Ayahku masih ada saat itu (menjawab dengan ketus)

Suara    : Senyumnya berbinar ketika Kau mulai masuki dunia barumu di rahimnya. Wajahnya secerah matahari pagi. Kau tak melihat, Ia sungguh bahagia saat itu.

Anak     : Untuk mempererat hubungannya dengan ayahku dan talinya adalah Aku.

Suara    : Ia membelai lembut saat Kau menendang-nendang di dalam perutnya. Masihkah Kau rasakan usapannya?

Anak     : Ada Ayahku di sampingnya.

Suara    : Ia semakin terhuyung-huyung saat kau kian membesar di perutnya. Ia lemah, tapi berusaha kuat.
Anak     : Itu trik menarik perhatian Ayahku.

Suara    : Perjuangannya dengan keringat dan darah tepat saat kau genap Sembilan  bulan? Kau lupa? Kau menjerit sekuat tenagamu. Kau tak pedulikan ia bahkan.

Anak     : Aku tak tahu apa-apa saat itu. Tapi, kau lihat sendiri sekarang. Ia tak pernah peduli kepadaku. Menelantarkanku pada Ibu tiri yang sungguh sangat baik hati, saudara yang mau menerimaku apa adanya. Hingga aku ragu pada mitos Ibu tiri yang mereka semburkan ketika kukecil.

Suara    : Kau melupakan posisinya sebagai Ibu kandungmu !. (suara mengingatkan)

Anak     : Ia tak pernah berfikir bahwa aku anaknya. Ia mudah saja melepasku pergi setelah Ayahku meninggal, menitipkanku pada Ibu tiri. Aku bimbang, masih adakah surga di bawah telapak kakinya ??? (suaranya merendah, sedikit mencibir)

Suara    : Mungkin Kau tak lagi butuh pada surga itu. Kau tak mencarinya.

Anak     : Aku telah lelah mencarinya. Menghiba kasih padanya. Kau tak melihat, Aku menunggunya seusai dia berbelanja. Kau tak dengar, pilunya suaraku ketika memanggilnya. Kau tau reksinya? melihat ke arahku saja tidak. Ia tak mengenaliku. Ia tak tau, aku semangnya yang dulu ia tinggal. Bayi merahnya yang tak ia inginkan.

Suara    : Itu cuma perasaanmu. Kau di ambang benci karena Kau sangat mencintainya. Animo yang kau pendam karena ingin bertemu dengan Ibumu.

Anak     : Sekarang Kau jawab!. Aku atau Ia yang salah ?

Suara    : Tak ada yang salah.

Anak     : Kau bohong.

Suara    : Aku atau Kau yang berbohong sekarang?.

Anak terdiam. Merenung sendiri.

Suara    : Kau berbohong pada dirimu sendiri. Kau butuh ia, tapi mengatakan seolah Kau tak peduli ia ada atau tidak. Kau sangat mencintainya, namun Kau berpura-pura tak menginginkannya. Kau sadar? Kau menyiksa dirimu sendiri, kawan.

Anak     : Kau ingat? Ia tak menginginkanku, tak butuh padaku, tak mencintaiku, tak mengharapkanku, tak ingin aku masuk dalam kehidupannya, tak ingin berbaur dengan hidupku, Ia tak menganggapku ada.. (anak meluapkan emosinya lewat kata yang ia ucapkan)

Suara    : Sungguh ?.Kau belum jujur. Katakan kau menginginkannya.

Anak     : Tidak.

Suara    : Katakan !

Anak     : Jangan memaksa lebih padaku. Aku benci padanya…

Suara    : Baiklah. Terserah Kau saja. Aku lelah membujukmu. Aku telah mengarahkanmu pada surga pada yang Kau impikan.

Anak     : Terserah. Kau mau apa jika Aku tak mau ?

Suara    : Aku akan pergi.

(Suara angin berhembus. Suara telah pergi. Anak mencari-cari suara)

Anak     : Dimana Kau ??? (ia berteriak. Senyap. Tak ada suara.)

Anak     : Kau dengar ?? Aku Mencintainya … Aku Butuh Ia… Ia Ibuku, Aku akan mencari surga yang telah Kau tunjuk itu. Kembalilah Kau… Kau dengar aku ??

Tak ada suara. Semuanya telah sepi. Gelap bahkan seiring Layar yang tetutup.


SEKIAN

Quote

Quote

Total Pageviews