Selasa, 10 April 2012

KEPING-KEPING KENANGAN; Nabila

“ Aku menemukan Nabila”
Kukejapkan mata berkali-kali, sepertinya aku tak dapat percaya pada penglihatanku sendiri atau mungkin kacamataku tak lagi berfungsi dengan baik. Kuangkat kaca berframe hitam dari mataku, Kukucek mataku sekali lagi. Yah, itu memang Nabila. Aku masih hafal senyumnya, sorot pandangnya yang agak kemayu, namun semakin terlihat ayu dengan lesung pipi mungil yang menghiasi pipi putihnya. Langkah kaki panjangnya. Ya, aku ingat semuanya. Itu nabilaku.
Aku mempercepat langkah untuk mendekati Nabila. Ia berlari, berbaur dengan teman-temannya. Aku kehilangan jejaknya, karena tak lama sesudah itu dentang bel membuat tapak-tapak kecil mereka berebut masuk ke kelas masing-masing. Alpha, putriku melambaikan tangan kearahku, memberikan ciuman jarak jauhnya untukku. Aku membalasnya lalu berbalik kearah mobil.
Akh, Nabila..
---
Tak ada yang aku fikirkan sesampai ke kantor, hanya Nabila dan terus Nabila. Konsenstrasiku buyar. Kenapa tak kubayangkan saja senyum Alpha yang manja, tawa Rayyan dan Zayyan, jagoan kembarku yang tampan. Entah, aku tak tahu kenapa. Aku gelisah, beberapa kali kulirik rolex yang melekat di pergelangan tangan kiriku.
Kenapa belum jam dua belas”, gerutuku dalam hati. Aku mengetuk meja kerjaku berkali-kali dengan bolpein parker yang masih di tanganku. Kalau saja jam bisa lebih cepat berlari keseperempat  hari, maka aku akan coba mencari wajah Nabila lagi. Ya, wajah Nabila yang hilang beberapa tahun yang silam, ditelan jerit-jerit kepedihan, hilang dalam balutan air hitam. Nabila yang kucoba cari di jendela langit, di laut-laut yang hampa. Nabilaku, kamukah itu?
Suara handphone di atas meja mengejutkanku,
“Ayahanda, jangan lupa jemput Alpha.”
Dari istriku, Azra.
Kutelan ludah di tenggorokanku. Pahit. Aku kembali ingat Nabila. Tepatnya, aku merindukan Nabila.
---
Pukul 12.00 wib
Aku harus menjemput Alpha dan menemukan Nabila di Taman Kanak-Kanaknya. Kuraih kunci mobil disisi meja sebelah kanan lalu melangkah keluar. Tak lama, Viosku telah meninggalkan pelataran parkir kantor. Sepanjang jalan, kenangan tentang Nabila yang berupa puing-puing masa lalu merantai membentuk yang indah untukku.
 “Ssssttt.... namanya Nabila”, beberapa teman sedang berbisik ketika seorang gadis-mungil, cantik, berjilbab anggun- memperkenalkan diri didepan kelas.
Kesan pertamaku untuknya, cantik, kelihatan cerdas, anak orang kaya- terlihat dari gaya pakaiannya meskipun dalam seragam sekolah tetap modis-, tak lupa satu hal; sepertinya banyak bicara. Namun, aku tak pernah melihat kekurangannya. Perlahan, aku mulai mengagumi kecantikannya, cara jalannya. Tapi, hanya untukku dalam hati. Semakin hari, semakin kupahat kuat raut wajahnya yang tersenyum, ronanya yang gembira, tawa renyahnya seusai istirahat.
“eh, ada cewek bertengkar karena berebut cowok”.
“siapa?”
“Nabila.”
Kagumku tak surut. Hanya sedikit pudar,  tak sampai hilang. Karena keesokan, ia kembali menyapaku dengan senyum, tak ada kata. Rinduku menguap tanpa batas.
Setelah selesai pelepasan dari sekolah, aku tak pernah tau lagi ia dimana. Bahkan, aku tak pernah berani untuk sekedar menanyakan rumahnya dimana pada teman-teman. Hingga kami telah sampai ke sekolah menengah sekalipun, kami tidak pernah bertemu lagi. Tapi, rasaku masih sama. Merah jambu tanpa paduan apa-apa. Kuikat kuat dalam hati. Biar tak seorang pun tau.
Tepatnya desember, air bah hitam yang maha besar datang. Menampar tiap-tiap pelosok kota, desa dari segala penjuru dan meluluhlantakkan semuanya. Tak ada sisa. Hanya puing-puing yang kian membangkitkan kenangan pilu. Nabila terakhir kali kulihat di belakangku. Berlarian dalam gamang. Seirama teriakan-teriakan menyayat yang sangat duka merobek hati. Mereka-aku yang memohon ampun pada Tuhan yang ‘adhim.
Setelah itu, senyum Nabila tak ada lagi dalam mimpi malamku. Kepedihan itu seakan ikut juga ia rasakan, dibalut jilatan-jilatan raksasa hitam yang datang dari lautan. Nabila hilang. Tapi, tak dihatiku.

Seorang polisi lalulintas mendekat ke kaca mobil, lalu mengetuknya. Dengan isyarat, ia mengarahkan tangannya ke depan. Memintaku untuk jalan. Aku terkejut. Suara klakson mobil dibelakang agak memekakkan telinga, aku melirik lewat spion depan. Lalu kualihkan pada lampu lalu lintas didepanku. Warna hijau. Aku langsung tancap gas. Oh Tuhan, keterlaluan. Aku melamun di jalanan.
---

Alpha berlari mendekat kearahku, mengulurkan tangan mungilnya ke arahku untuk kugendong. Aku menariknya dalam pelukan.
“Tadi Alpha disuruh gambar”, tangan mungilnya merangkul leherku. Bergelayut manja seperti biasa, seusai aku pulang kantor.
“ Iya? Terus, Alpha gambar apa?”, kujawil hidung mancungnya- yang kata Azra, warisan murni dariku.
“ Gambar bunga. Kaya bunga auntie Nadia dirumah nenek”
Kualihkan mataku kearah sekolah Alpha. Hanya tinggal beberapa anak yang masih menunggu dijemput orang tuanya. Ada Nabila. Ya, itu Nabila, yang duduk di ayunan menghadap kearah jalan, menunggu dijemput.
“Itu teman Alpha?”, aku menunjuk kearah Nabila.
“Iya. Alpha temenin dulu boleh? Kasihan, belum dijemput ayahnya”, aku menoleh kearah Alpha, matanya meminta izin padaku.
“ Ayahanda ikut ya?”, pintaku padanya.
“Yuk”, ia melorot turun dari gendongku lalu menggenggam jari kelingkingku dan menuntunku kearah Nabila. Namun, seorang perempuan telah terlebih dahulu mendekat kearahnya. Nabila menyalaminya. Perempuan itu menarik ransel kecil berisi bekal dari punggung Nabila, memegangnya dengan kirinya sedangkan tangan kanannya menuntun Nabila berjalan. Ia berbalik, menuju arah jalan.
Sejenak, kakiku terpacak atas kerikil-kerikil jalan.
“Nabila??????”


Banda Aceh, 23 may 2010
Saat iqamah zuhur.


Quote

Quote

Total Pageviews