“ Aku menemukan Nabila”
Kukejapkan mata
berkali-kali, sepertinya aku tak dapat percaya pada penglihatanku sendiri atau
mungkin kacamataku tak lagi berfungsi dengan baik. Kuangkat kaca berframe hitam
dari mataku, Kukucek mataku sekali lagi. Yah, itu memang Nabila. Aku masih
hafal senyumnya, sorot pandangnya yang agak kemayu, namun semakin terlihat ayu
dengan lesung pipi mungil yang menghiasi pipi putihnya. Langkah kaki
panjangnya. Ya, aku ingat semuanya. Itu nabilaku.
Aku mempercepat
langkah untuk mendekati Nabila. Ia berlari, berbaur dengan teman-temannya. Aku kehilangan jejaknya, karena tak lama
sesudah itu dentang bel membuat tapak-tapak kecil mereka berebut masuk ke kelas
masing-masing. Alpha, putriku melambaikan tangan kearahku, memberikan ciuman
jarak jauhnya untukku. Aku membalasnya lalu berbalik kearah mobil.
Akh, Nabila..
---
Tak ada yang aku
fikirkan sesampai ke kantor, hanya Nabila dan terus Nabila. Konsenstrasiku
buyar. Kenapa tak kubayangkan saja senyum Alpha yang manja, tawa Rayyan dan
Zayyan, jagoan kembarku yang tampan. Entah, aku tak tahu kenapa. Aku gelisah,
beberapa kali kulirik rolex yang
melekat di pergelangan tangan
kiriku.
“Kenapa belum jam dua belas”,
gerutuku dalam hati. Aku mengetuk meja
kerjaku berkali-kali dengan bolpein parker yang masih di tanganku. Kalau
saja jam bisa lebih cepat berlari keseperempat
hari, maka aku akan coba mencari wajah Nabila
lagi. Ya, wajah Nabila yang hilang beberapa tahun yang silam, ditelan
jerit-jerit kepedihan, hilang dalam balutan air hitam. Nabila yang kucoba cari
di jendela langit, di laut-laut yang hampa. Nabilaku, kamukah itu?
Suara handphone di
atas meja mengejutkanku,
“Ayahanda, jangan lupa jemput Alpha.”
Dari istriku, Azra.
Kutelan ludah di tenggorokanku.
Pahit. Aku kembali ingat Nabila. Tepatnya, aku merindukan Nabila.
---
Pukul
12.00 wib
Aku harus
menjemput Alpha dan menemukan Nabila di Taman Kanak-Kanaknya. Kuraih kunci
mobil disisi meja sebelah kanan lalu melangkah keluar. Tak lama, Viosku telah
meninggalkan pelataran parkir kantor. Sepanjang jalan, kenangan tentang Nabila
yang berupa puing-puing masa lalu merantai membentuk yang indah untukku.
“Ssssttt....
namanya Nabila”, beberapa teman sedang berbisik ketika seorang gadis-mungil,
cantik, berjilbab anggun- memperkenalkan diri didepan kelas.
Kesan
pertamaku untuknya, cantik, kelihatan cerdas, anak orang kaya- terlihat dari
gaya pakaiannya meskipun dalam seragam sekolah tetap modis-, tak lupa satu hal;
sepertinya banyak bicara. Namun, aku tak pernah melihat kekurangannya.
Perlahan, aku mulai mengagumi kecantikannya, cara jalannya. Tapi, hanya untukku
dalam hati. Semakin hari, semakin kupahat kuat raut wajahnya yang tersenyum,
ronanya yang gembira, tawa renyahnya seusai istirahat.
“eh, ada cewek bertengkar karena berebut cowok”.
“siapa?”
“Nabila.”
Kagumku
tak surut. Hanya sedikit pudar, tak
sampai hilang. Karena keesokan, ia kembali menyapaku dengan senyum, tak ada
kata. Rinduku menguap tanpa batas.
Setelah
selesai pelepasan dari sekolah, aku tak pernah tau lagi ia dimana. Bahkan, aku
tak pernah berani untuk sekedar menanyakan rumahnya dimana pada teman-teman. Hingga
kami telah sampai ke sekolah menengah sekalipun, kami tidak pernah bertemu
lagi. Tapi, rasaku masih sama. Merah jambu tanpa paduan apa-apa. Kuikat kuat
dalam hati. Biar tak seorang pun tau.
Tepatnya
desember, air bah hitam yang maha besar datang. Menampar tiap-tiap pelosok
kota, desa dari segala penjuru dan meluluhlantakkan semuanya. Tak ada sisa.
Hanya puing-puing yang kian membangkitkan kenangan pilu. Nabila terakhir kali
kulihat di belakangku. Berlarian dalam gamang. Seirama teriakan-teriakan
menyayat yang sangat duka merobek hati. Mereka-aku yang memohon ampun pada
Tuhan yang ‘adhim.
Setelah
itu, senyum Nabila tak ada lagi dalam mimpi malamku. Kepedihan itu seakan ikut
juga ia rasakan, dibalut jilatan-jilatan raksasa hitam yang datang dari lautan.
Nabila hilang. Tapi, tak dihatiku.
Seorang
polisi lalulintas mendekat ke kaca mobil, lalu mengetuknya. Dengan isyarat, ia
mengarahkan tangannya ke depan. Memintaku untuk jalan. Aku terkejut. Suara
klakson mobil dibelakang agak memekakkan telinga, aku melirik lewat spion
depan. Lalu kualihkan pada lampu lalu lintas didepanku. Warna hijau. Aku
langsung tancap gas. Oh Tuhan, keterlaluan. Aku melamun di jalanan.
---
“Tadi
Alpha disuruh gambar”, tangan mungilnya merangkul leherku. Bergelayut manja
seperti biasa, seusai aku pulang kantor.
“ Iya?
Terus, Alpha gambar apa?”, kujawil hidung mancungnya- yang kata Azra, warisan
murni dariku.
“ Gambar
bunga. Kaya bunga auntie Nadia
dirumah nenek”
Kualihkan
mataku kearah sekolah Alpha. Hanya tinggal beberapa anak yang masih menunggu
dijemput orang tuanya. Ada Nabila. Ya, itu Nabila, yang duduk di ayunan
menghadap kearah jalan, menunggu dijemput.
“Itu
teman Alpha?”, aku menunjuk kearah Nabila.
“Iya.
Alpha temenin dulu boleh? Kasihan, belum dijemput ayahnya”, aku menoleh kearah
Alpha, matanya meminta izin padaku.
“
Ayahanda ikut ya?”, pintaku padanya.
“Yuk”,
ia melorot turun dari gendongku lalu menggenggam jari kelingkingku dan
menuntunku kearah Nabila. Namun, seorang perempuan telah terlebih dahulu
mendekat kearahnya. Nabila menyalaminya. Perempuan itu menarik ransel kecil
berisi bekal dari punggung Nabila, memegangnya dengan kirinya sedangkan tangan
kanannya menuntun Nabila berjalan. Ia berbalik, menuju arah jalan.
Sejenak,
kakiku terpacak atas kerikil-kerikil jalan.
“Nabila??????”
Banda
Aceh, 23 may 2010
Saat
iqamah zuhur.

