Anak itu berdiri
mematung dekat pagar sekolah, merapatkan jemari kecilnya pada jeruji-jeruji
besi. Postur tubuhnya kecil dan kulitnya agak legam kehitaman, mungkin karena
ia sering bermain diluar rumah dan jarang mandi. Rambutnya kusut masai, alisnya
tak beraturan, matanya menyorotkan kesedihan yang mendalam, hidungnya agak
sedikit pesek, serta bibir mungilnya tampak pecah-pecah terkena sinar matahari.
Baju hijau dan potongan rok lipit hitam dengan motif polkadot merah telah
memudar warnanya menambah kesan ketidak terurusnya anak itu.
Sesekali ia merapikan
rambutnya yang jatuh kearah mata karena tiupan angin sehingga menghalangi arah
pandangnya. Dihadapannya, beberapa anak tampak sedang berlarian di halaman
sekolah, bermain pelosotan dan bermain ayunan sambil meniru suara lagu
anak-anak yang terdengar mengalun dari tape recorder yang diletakkan tak jauh
dari tempat bermain mereka. Tawa mereka terbawa dalam sapuan angin, tawa masa
kanak-kanak yang sangat polos, lugu, dan penuh keceriaan.
Tapi tidak untuk gadis
kecil itu, untuk sekedar makan tiga kali sehari saja tak pernah bisa, apalagi
sekolah. Meskipun ia sangat ingin sekolah karena saban pagi, ia melihat
kawan-kawannya diantar ke sekolah oleh ibu mereka. Sepulang dari sekolah,
mereka akan bercerita betapa enaknya bermain sepanjang hari di Taman
Kanak-Kanak itu.
Pandangan matanya
menorehkan luka yang amat dalam. Terlalu dini jika ia harus menghadapi
kepahitan hidup yang sesungguhnya. Toh, ia hanya anak kecil yang tidak tahu
apa-apa.
Sandal yang melekat
dikaki kanannya sesekali dilepas supaya ia bisa menggaruk kaki kirinya yang
gatal dengan kaki yang sebelahnya lagi. Karena tadi pagi ia tidak sempat
diminyaki oleh neneknya.
Seorang anak laki-laki
tampan berseragam putih-biru mendekat kearahnya, mengulurkan sesuatu lewat jeruji
besi pagar sekolah.
“Ini untukmu”, mata
coklatnya mengerjap beberapa kali. Sekotak krayon berwarna yang baru saja
dikeluarkan dari kantong celananya.
Anak perempuan itu
terpaku.
“Namaku Yousuf”, kali
ini ia memindahkan kotak krayon itu ke tangan kirinya dan mengulurkan kanannya
untuk menyalami gadis kecil itu. Ia masih diam.
“Jangan takut. Ayo
sebutkan namamu”, pinta Yousuf
Dengan agak
takut-takut, ia melepas tangannya dari pagar dan mengulurkannya kearah Yousuf.
“Namaku Zulaikha”
Belum sempat ia melepas
tangannya dari salaman Yousuf, seorang wanita tua telah menarik tangan kirinya
dengan kasar.
“Leha, sudah berapa kali kukatakan. Jangan
pernah datang lagi kesini. Kamu nakal. Akan kupukul kau”, tangannya menarik
pergelangan tangan kiri Zulaikha dengan kasar. Langkahnya terseret diantara
kerikil-kerikil yang memenuhi jalan menuju kearah sekolah.
“Nek, sakit !”,
isaknya tertahan.
Sebelah sandalnya
putus. Ia berusaha mengambil. Namun hentakan kuat dari nenek membuatnya enggan
untuk mengambil lagi sebelah sandalnya yang telah putus. Ia menatap Yousuf
terakhir kali.
“Jangan lagi kau
datangi tempat itu. Aku sudah mengatakannya berkali-kali. Kau hanya akan
melihat mereka bersenang-senang sedangkan kau akan sedih karena tak bisa
seperti mereka, leha”, nenek terus menyerocos panjang lebar sambil
menggosok-gosok badan leha yang sedang dimandikannya.
“Tapi, aku senang melihat mereka bermain, nek”, bantah leha
Nenek menghentikan kegiatannya, lalu menatap tajam kearah
leha.
“Kalau aku bilang tidak, ya tidak. jangan nakal”
Zulaikha diam.
Hari sudah beranjak ke peraduan senja. Ufuk merah sedikit
membayang sebelah barat. Pipit juga sudah mulai mengayun sayap kecil mereka
untuk pulang ke sarang masing-masing. Selesai mandi, Zulaikha mendekati wanita
paruh baya yang sedang duduk di bangku depan rumah gubuk mereka. Pelan, ia
menyusupkan kepala dalam rengkuh wanita itu. Pandangan matanya kosong, entah
apa yang sedang dilihatnya.
“Mak..!!”, panggilnya pelan.
Wanita itu membelai rambut anaknya. Sambil sedikit menggoyang-goyangkan
badannya. Ia tak menjawab, seperti biasanya.
“Aku ingin sekolah, belajar berhitung dan membaca”.
Elusan itu terhenti. Zulaikha mendongakkan kepalanya,
mencari wajah ibunya.
“Jangan… jangaaaan… kau akan jahat. Kau akan seperti
laki-laki itu. Jangaaaannnnn…”, perempuan itu memegang kepalanya, menggeleng
berkali-kali. Lalu berteriak sekuatnya.
Nenek berlari tergopoh-gopoh dari arah dalam rumah, terkejut
mendengar teriakan Fatimah, anaknya.
“Apa yang kau katakan pada Emakmu, Leha?”, nenek mendelik
kearah Zulaikha.
“Aku hanya ingin sekolah, nek”
Tangan kanan renta itu melayang kearah punggung Leha.
Memukulnya berkali-kali. Lalu menariknya masuk ke dalam.
“Anak kurang ajar, tak tahu diuntung. Sudah kubesarkan, kau
malah minta sekolah. Kau pikir, aku dapat uang darimana menyekolahkanmu?. Untuk
makan saja aku mengutang. Kau pikir, yang kau makan itu tanah, pasir?. Kau
lihat, Makmu saja gila. Ayahmu tak tahu dimana. Ia pergi dengan perempuan lain,
tanpa peduli padamu”.
Zulaikha menangis terisak-isak atas dipan bambu dekat dapur.
Nasibnya sangat malang.
“Kau hanya punya aku, tapi aku tidak punya uang. Maafkan
aku, aku hanya tidak ingin kau bersedih melihat mereka yang bisa bersekolah,
makanya aku melarangmu kesana”, kali ini nenek mengelus kepalanya yang mungil.
Suara azan maghrib menggema dari corong mesjid kampung,
zulaikha sudah diam. Ia telah terlelap dalam tidurnya karena kelelahan.
“Mak, aku ingin pergi kesana lagi. Jangan katakan pada
nenek”, ia meraih tangan wanita paruh baya yang sedang termenung itu. Ia tidak
merespon, hanya diam saja.
Zulaikha bangkit dari samping Fatimah, lalu berlari kecil
sambil bersenandung, menyanyikan lagu “pelangi”. Sesampai disana, ia tetap
berdiri dekat pagar sekolah. Yousuf mendekat, lalu menyapanya.
“Itu ibuku”, katanya sembari menunjuk seorang perempuan
paruh baya yang mengenakan seragam berwarna ungu.
“Ibuku pandai bernyanyi. Aku sudah minta padanya supaya kau
bisa bernyanyi dan membaca seperti kami. Katanya boleh. Kau mau sekolah?”, Yousuf
memandangi Zulaikha.
Cepat ia mengangguk.
“Aku mau”, Zulaikha tersenyum.
“Ayo, katakan pada nenekmu”, Yousuf membalas senyum itu.
Zulaikha tertawa senang. Ia berlarian meninggalkan sekolah,
menuju kerumahnya untuk menjumpai nenek. Sepanjang jalan ia berlari kecil,
tersenyum. Aih, ia sangat bahagia. Tanpa sadar, seorang anak muda yang
ugal-ugalan dengan sepeda motornya melaju dengan kencang dari arah berlawanan.
Ia tak sempat melihat ada Zulaikha di belokan jalan sedang tertawa gembira.
Spedometer pada motor menunjukkan angka paling tinggi.
Sangat kencang, tapi sebelumnya Zulaikha telah terpeleset jatuh dan terguling ke
parit di samping jalan. Ia sedikit meringis, lalu tersenyum lagi. Besok ia akan
sekolah, bersama Yousuf.
Penghujung Magrib, menuju Isya
Darussalam, 09 juni 2010


0 komentar:
Posting Komentar