
If someone said you
were not my princess
If someone said you
were a little parasite
If someone said you
were nothing
Don’t waste any words!
Just let the breeze
blows the story
Nazza tertegun membaca
puisi kecil Papa yang ia temukan dalam laci kamar Papa dulu, ketika ia
membersihkan kamar. Beberapa baris indah yang sangat berarti untuknya. Sayang, Papa
tak sempat membacakan ketika meninabobokannya dulu, sebelum mengucapkan selamat
malam, mengecup keningnya lalu mematikan lampu kamar. Ia melipat kertas yang
sudah agak lusuh itu dan memasukkannya dalam saku rok. Mungkin nanti akan ia
tempelkan di lembaran pertama buku harian tuanya, hadiah yang ia dapat dari Papa
juga.
----
Namanya Nazza. Kata Papa,
hanya Nazza, agar kau menjadi anak yang cerdas, yang pintar, sesuai nama yang Papa
lekatkan padamu. Dan sejak itu, ia dengan bangga menyebutkan namanya setiap
kali teman-temannya ataupun orang-orang menanyakan siapa namanya. Namaku,
Nazza. Sicerdas.
Nazza kecil yang lucu
dan cerdas milik Papa. Ia hanya
menjawab, aku tak punya Mama ketika orang bertanya-tanya tentang Mamanya. Meskipun
demikian, ia selalu bertanya pada Papanya, Mama kemana? Dan jawabannya, Mama
sedang terbaring disurga diantara kenanga yang sedang mekar. Sebelum ia tidur,
ia juga saban malam meminta Papa menceritakan surga Mamanya. Bertanya,
bahagiakah Mama tanpa dirinya dan Papa?. Sedangkan ia harus selalu menjawab
pertanyaan dari teman-temannya, kenapa kamu gak punya Mama? Nazza merasa
cemburu setiap kali teman-temannya menceritakan tentang masakan Mama mereka,
hal-hal yang mereka lakukan setiap kali berakhir pekan dengan keluarga, dan
Nazza ingin sekali punya keluarga yang lengkap seperti mereka.
Kadang, ia juga
bertanya kenapa nenek tak pernah menyukainya, selalu dibedakan dari sepupunya
yang lain. Nazza lebih sering bersama Papa saat berkumpul dengan keluarga.
Meskipun saat itu ia belum memahami hakikat yang sebenarnya, namun ia melihat
seperti ada jurang pemisah antara Papa dan saudara-saudaranya yang lain. Kenapa
Papanya tak disukai?, kenapa ia tak pernah disenangi oleh sepupu-sepupunya? Itu
semua menjadi pertanyaan yang tak pernah ada jawaban dari Papa. Nazza tak
pernah ingin menanyakan lagi pada Papa ketika ia lihat bola mata Papa agak
mulai berair dan memerah. Nazza tak pernah melihat mata Papa seperti itu
sebelumnya.
Nazza semakin dewasa.
Hidup terpisah dari keluarga besar Papa tak pernah membuatnya ingat kembali
pada masalah itu. Ia hidup sewajarnya anak-anak yang lain. Walaupun ia tak
punya Mama, Papa mampu mencukupi semua kebutuhan Nazza. Namun, tetap saja ia
tak pernah merasakan belaian seorang ibu.
----
Ia meremas kantong
plastik di tangannya dengan kasar. Di dalamnya ada oleh-oleh untuk nenek.
Mukanya memerah, menahan marah yang hampir tak terkendalikan lagi. Papa
menepuk-nepuk bahunya, meminta sedikit bersabar atas sikap nenek terhadapnya
sambil mengelus anak rambutnya.
“Fuad, sudah berapa
kali kukatakan, jangan pernah bawa anak ini ke rumahku. Aku tak pernah ingin
melihat mukanya”, nenek mulai berang. Ia menggoyangkan kursi goyangnya tanpa
melihat kearah Nazza. Tapi, semarah apapun nenek pada Nazza, ia tak pernah
menyebutkan kesalahan masa lalu yang telah terjadi. Meskipun Nazza sangat ingin
tahu.
“Kita pulang, pa”, ia
menarik tangan Papa. Meletakkan beberapa kilo apel hijau dalam plastik hitam dekat
kaki nenek.
“Bu, maafkan aku. Tapi,
Nazza juga cucumu, berhak mendapatkan perhatianmu seperti cucu-cucu yang lain.
Seperti anak bang Alief, kak Ratih, kak Nindy, dan juga bang Raiz. Tak harus
dibedakan”, Papa sedikit memohon pada nenek.
Nenek masih membuang muka. Tak peduli pada Papa dan
Nazza. Ini bukan untuk pertama kali mereka datang dan tak dipedulikan oleh
nenek. Sudah kesekian kali terjadi seperti ini, namun Papa selalu meyakinkan
Nazza bahwa nenek akan luluh juga pada akhirnya.
“Nazza gak akan pernah
mau datang lagi ke rumah nenek”, ucap Nazza ketika sudah masuk kedalam mobil. Papa
hanya menoleh, tak ingin membujuknya, anak-anak juga punya batas kesabaran.
Wajar mungkin jika ia tak ingin datang lagi, sikap nenek yang selalu acuh tak
acuh dan memojokkannya sungguh sangat menyakitkan baginya. Seolah ia adalah
anak yang tak pernah diharapkan untuk hadir dalam keluarga mereka. Walaupun
sebenarnya, hampir demikian.
----
“Pa, kenapa nenek
membenci Nazza?”, matanya menatap lurus kedalam bola mata Papa. Diam, tak ada
jawab. Seperti biasa. Mungkin terlalu sulit menguntai kata demi kata, walaupun
untuk sedikit memuaskan buah hatinya tentang pertanyaan selama ini yang selalu
menggantung dibenak putri nya.
“Mama Nazza bukan orang
baik ya? Sampai nenek juga tidak menyukainya?”
Papa mengelus
rambutnya, tetap masih belum ada jawaban.
“Nanti kau akan tau,
nak. Sekarang belum saatnya kau harus tau tentang itu”, hanya dalam hati. Tak
ada gerak mulut untuk mengatakannya.
----
“Nanti, kalau malam
telah menutup kisah. Pagi akan memulainya lagi kembali indah ”, Papa membelai
lembut anak rambut Nazza menjelang tidur.
“Kalau malam datang
lagi?”
“Ia akan terus berputar
dan kita tak mampu untuk mengatakan, berhentilah. Adakalanya hari cerah dengan
matahari, kadang dinaungi awan putih yang indah, kadang juga mendung dan hujan.
Tak juga harus siang, malam juga begitu. Kadang ia bermandikan cahaya rembulan,
kadang juga gelap disaput awan hitam. Kehidupan juga demikian, Nazzaku.
Semuanya akan berhenti ketika raga terpisah dengan jiwa”
“Mama juga demikian,
pa? “, matanya mencari bola hitam mata Papa.
“Ia, Mama telah memulai
kehidupan baru yang hakiki di Barzahnya. Kita juga menyusul ketika jatah kita
telah sampai pada temponya “.
Nazza hanya
manggut-manggut, mengerti dengan maksud Papa.
“Tidurlah, malam hampir
terlelap dalam impi dan kau masih terjaga disini“, Papa tersenyum bijak. Nazza
menutup mata, sambil mencoba mensketsa pelan-pelan wajah Mama. Ah, buram.
----
“Berceritalah, jika Papa
ingin“, Nazza melirik Papa yang duduk disisinya. Hanya debur ombak yang
terdengar, buih sesekali menyapa kaki mereka. Ia melirik, putri kecilnya yang
kini telah dewasa. Sudah delapan belas tahun, usia yang cukup untuk mengatakan
semua hal yang seharusnya ia tahu.
“Kau ingin dengar
cerita tentang Mamamu? “
“Sangat ingin, pa.
tapi, Nazza lebih memilih menunggu daripada harus memaksa Papa untuk mengatakan
semuanya”, matanya berbinar bahagia. Saat inilah yang paling ia tunggu-tunggu
dalam hidupnya. Bercerita tentang Mama yang melahirkannya.
“Baiklah, Papa mulai
dari…, Mamamu bernama Azra”, kisah itu kian berlanjut menjadi bait-bait cerita
yang panjang.
Beberapa tahun yang silam…
“Kau akan menyesal
Fuad, memilih Azra sebagai istrimu. Bukan saja ibu yang tidak pernah merestui
hubunganmu dengannya. Tapi, kami juga tidak ingin ia menjadi ipar kami. Kau
tahukan, cacat cela yang ia punya hingga menimbulkan omongan dari keluarga
besar kita dan tetangga ”, Alief, sebagai anak sulung mencoba untuk menjelaskan
pada Fuad tentang keputusannya untuk menikahi Azra, seorang perempuan dari desa
terpencil yang sekarang sangat ia cintai. Sedangkan adik-adiknya yang lain
sudah angkat tangan untuk membujuk Fuad.
“Aku sudah memikirkan
matang-matang, keputusanku sudah bulat untuk menerima semuanya“, Fuad menatap
langit di atas kepalanya. Hanya awan yang terus bergerak tanpa mampu
membantunya menghadapi masalah ini. Beberapa burung melayang tanpa menoleh.
Mungkin mereka juga ikut tak menyetujui keinginannya.
“Walaupun ibu masih
bersikeras juga? “
“Ia, apapun itu“,
jawabnya tegas.
Alief bangkit, ia tahu
adiknya takkan pernah mengubah keputusan yang telah diambilnya. Diantara
mereka, hanya Fuad yang paling keras kepala dan susah untuk dibujuk. Meskipun
ia adalah anak bungsu dalam keluarga mereka.
Ia sekarang tinggal
sendiri, sedang mengenang saat-saat terindahnya bersama Azra. Sebelum kejadian
itu mengubah semuanya, mengubah tawa seorang Azra yang ceria menjadi duka yang
berkesinambung dan juga mengubah pandangan keluarganya tentang Azra.
“Perempuan itu tak
pernah mengharapkanmu. Buktinya, ia tak mampu menjaga dirinya dengan baik,
Fuad. Kau pahamkan, bagaimana pandangan orang-orang ketika kau menikahi seorang
perempuan yang tidak suci lagi?“, Nindy menghujam Fuad dengan kata-kata yang
sangat menyakitkan.
“Kak, itu cuma
kecelakaan yang tak pernah ia kehendaki sebelumnya. Ia diperkosa oleh orang
yang tak ia kenali. Mentalnya sekarang sedang labil, ia tak punya siapa-siapa
lagi, aku yakin ia sangat membutuhkanku saat ini”, ia membela diri dan demi
kehormatan wanita yang sangat ia kagumi lahir batinnya.
“Jangan sok menjadi
pahlawan. Kau masih bisa menikahi perempuan dari kalangan baik-baik. Keluarga
yang terhormat tak akan pernah menerima seorang wanita yang diperkosa sepertinya
dan ia akan melahirkan anak dari hasil pekerjaan itu serta mengatasnamakan
keluarga besar kita yang terhormat”, kali ini Raiz mempertegas kata-kata
kakaknya, Nindy. Fuad meredam amarahnya.
“Ia tidak seperti yang
kalian tuduhkan “.
“Terserah apa katamu.
Seorang dewikah atau malaikat, Kami tak peduli”. Kalimat terakhir itu menutup
pertengkaran mereka sore itu, sepulang kakak-kakaknya dari tempat kerja mereka
masing-masing.
Beberapa minggu
kemudian, pernikahan tanpa restu itu dilaksanakan. Tak banyak tamu yang hadir,
hanya beberapa orang. Keluarga Fuad tak datang, cuma teman-temannya yang ikut
memberi berkah bagi pernikahan mereka. Dua hari kemudian, ia memboyong istrinya
ke sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Sesekali, Fuad masih juga datang
untuk menjenguk ibunya yang sudah sakit-sakitan bersama Azra. Wanita yang sudah
menua itu tidak pernah peduli pada kunjungan-kunjungan mereka. Ia tak pernah
menyambut Azra seperti halnya menantu-menantu yang lain. Azra pun memakluminya
bahwa pernikahan mereka bukanlah seperti pernikahan anak-anak yang lain, yang
mendapat restu dari Ibu serta kejadian masa lalu membuatnya lebih banyak diam
dari biasanya, bahkan Fuadlah yang lebih sering mengungkapkan kekecewaannya terhadap
sikap Ibu kepada Azra seusai mereka mengunjunginya.
Azra hamil, tapi bukan
anak Fuad. Pernah beberapa kali ia berusaha untuk mengugurkannya. Ini
mengingatkannya pada kebejatan seseorang di masa lalunya yang telah rela
menodai kesuciannya secara terpaksa dan sampai sekarang ia tidak tahu siapa.
Namun, Fuad selalu meyakinkannya bahwa janin tak berdosa itu adalah milik
mereka dan sama sekali tak berdosa. Akhirnya, berangkat dari itu, Azra mulai
mencintai bayinya sendiri.
Di usia kandungannya
yang telah hampir mencapai sembilan bulan, Azra masih saja suka mengurusi keadaan
rumahnya tanpa memerlukan bantuan. Terkadang, sepulang dari kantor tempat
bekerja, Fuad membantunya. Sebenarnya, ia juga kasihan melihat istrinya
demikian, tapi Azra juga berwatak keras. Susah diubah kemauannya.
Suatu sore sepulang
dari kantor, Fuad mendapati Azra duduk merenung di teras depan. Tak biasanya
seperti ini. Setelah memberi salam, ia duduk disampingnya, menanyakan hal
kegiatan yang ia lakukan pada hari ini. Tak ada sahutan. Azra diam.
“Kau tak takut jika
kisah kita usai sebelum kita ingin mengakhirkannya? Tak pernahkah kau pikirkan,
bagaimana jika kau hanya tinggal bersama anak yang bukan anakmu? Rasanya harus mulai
kau pikirkan, Mas ”, Ia menoleh sebentar kearah Fuad, lalu kembali tengggelam
dalam lamunannya. Fuad sendiri tak sadar, apakah itu pertanyaan untuknya atau
bukan. Namun sepertinya Azra tak butuh jawaban itu saat sekarang.
Seminggu kemudian,
seorang bayi perempuan sehat dan cantik
lahir dari Azra. Sayang, ia harus mengorbankan nyawanya sendiri sebagai tebusan
untuk itu. Sempat untuk terakhir kalinya, ia meminta Fuad memberikan nama untuk
putri kecilnya.
“ Namanya Nazza,
sayang”, pelan ia membisik ditelinga istrinya.
Fuad kembali kerumah
dengan membawa Nazza kecil digendongannya, tak ada lagi Azra. Ia memulai
sendiri semuanya. Keluarganya tersenyum bahagia saat itu, Azra hilang dari
kehidupan tapi Fuad tak sempat peduli, ia punya Nazza sekarang. Sosok kecil
yang memanggilnya, Papa.
Keluarga Fuad tak ada
yang bisa menerima anak tak berdosa itu.
“ Kau membawa bayi
haram ke dalam rumah ini”
“ Malapetaka terbesar
kenapa kau datangkan untuk kami?”, dan masih banyak lagi cemoohan untuk
sikecil. Saat itu, dengan segala kerendahan hati, Fuad meminta pada mereka
untuk tetap merahasiakan tentang ibunya pada Nazza. Ia tak ingin membiarkan kekesalan
mereka pada ibunya, sehingga akhirnya akan berimbas kepada Nazza.
Kisah tersebut mereka
tutup hingga hari itu. Tak ada yang menyebutnya anak haram, najis atau apa pun.
Namun, mereka membatasi semuanya dari Nazza. Ia tak memperoleh perhatian mereka
sedikit pun. Ia diacuhkan oleh semua, oom-tantenya dan sepupu-sepupunya. Hanya
benalu, kata mereka.
----
Nazza sesenggukan di
pangku Papa. Ah, mungkin ia tak pantas menyebutnya sebagai Papa lagi.
Sayangnya, ia sudah sangat terlalu mencintai lelaki yang dipanggil Papa ini.
Ada ikatan batin yang tak bertali lewat darah disini, hanya sesuatu yang telah
merangkumnya menjadi sebuah gundukan rasa yang bernama cinta.
“Aku masih boleh
memanggil, ‘Papa’?“, ia mencoba memberanikan diri mendongakkan kepalanya kearah
Papa. Mata itu kembali memerah. Sebuah anggukan kuat mengiyakan,
“Slalu, putriku“
----
“Puisi Papa, Mas. Aku temukan
dalam laci kamarnya dulu“, Nazza mengeluarkan sesuatu dari kantong roknya, lalu
melempar punggungnya ke sofa, disamping Fathar, suaminya yang sedang mengawasi
sikecil Abel belajar berjalan sambil tertatih-tatih didepan mereka.
“Kangen Papa, ya“,
Fathar menambahkan dengan sedikit menghela.
Nazza hanya diam, mulai
sibuk dengan lamunan yang kian melemparnya pada masa lalu. Berjalan di labirin
kenangan yang membuatnya mengerti kenapa ia semakin mencintai Papa. Sosok yang
membantunya untuk mengenali dirinya sendiri, berjalan mengatur hidup yang
kadang indah dan kadang penuh liku dan mengajarinya mengatur semua waktu yang
ia punya. Sayang, tak ada lagi ia saat sekarang. Ia kembali ingat ucapan Papa
ketika ia bertanya kenapa Mama pergi terlalu cepat,
“Selesaikah kisah
sebelum kita ingin mengakhirkannya? Padahal torehan pena dan bercak kata masih
ingin kita luahkan di atas kertas rencana. Sayang, penghapus ada padaNya dan Ia
akan mulai menghapus bagian-bagian yang salah serta kembali membantu menuliskan
rencana lainnya yang sangat indah ”.
Banda Aceh, 16
Januari 2010. 21:54
Aku dedikasi untuk
Bapak, atas cinta yang tak hilang
sayang yang tak
lekang dan rindu yang selalu mengambang.
Sambut ia di
jannahMu tertinggi ya Rabb. Amien..
§ Jika
ada yang kata kau bukan putriku,
Jika ada yang
kata kau benalu kecil
Jika ada yang
kata kau bukan apa-apa
Jangan jawab apapun,
Biarkan angin
berkisah,
Karena hanya aku
yang tahu jawabnya
