Kamis, 12 April 2012

Serenade Bait-Bait Kenangan


If someone said you were not my princess
If someone said you were a little parasite
If someone said you were nothing
Don’t waste any words!
Just let the breeze blows the story
Only me know the truth §


Nazza tertegun membaca puisi kecil Papa yang ia temukan dalam laci kamar Papa dulu, ketika ia membersihkan kamar. Beberapa baris indah yang sangat berarti untuknya. Sayang, Papa tak sempat membacakan ketika meninabobokannya dulu, sebelum mengucapkan selamat malam, mengecup keningnya lalu mematikan lampu kamar. Ia melipat kertas yang sudah agak lusuh itu dan memasukkannya dalam saku rok. Mungkin nanti akan ia tempelkan di lembaran pertama buku harian tuanya, hadiah yang ia dapat dari Papa juga.
----

Namanya Nazza. Kata Papa, hanya Nazza, agar kau menjadi anak yang cerdas, yang pintar, sesuai nama yang Papa lekatkan padamu. Dan sejak itu, ia dengan bangga menyebutkan namanya setiap kali teman-temannya ataupun orang-orang menanyakan siapa namanya. Namaku, Nazza. Sicerdas.
Nazza kecil yang lucu dan cerdas milik Papa. Ia  hanya menjawab, aku tak punya Mama ketika orang bertanya-tanya tentang Mamanya. Meskipun demikian, ia selalu bertanya pada Papanya, Mama kemana? Dan jawabannya, Mama sedang terbaring disurga diantara kenanga yang sedang mekar. Sebelum ia tidur, ia juga saban malam meminta Papa menceritakan surga Mamanya. Bertanya, bahagiakah Mama tanpa dirinya dan Papa?. Sedangkan ia harus selalu menjawab pertanyaan dari teman-temannya, kenapa kamu gak punya Mama? Nazza merasa cemburu setiap kali teman-temannya menceritakan tentang masakan Mama mereka, hal-hal yang mereka lakukan setiap kali berakhir pekan dengan keluarga, dan Nazza ingin sekali punya keluarga yang lengkap seperti mereka.
Kadang, ia juga bertanya kenapa nenek tak pernah menyukainya, selalu dibedakan dari sepupunya yang lain. Nazza lebih sering bersama Papa saat berkumpul dengan keluarga. Meskipun saat itu ia belum memahami hakikat yang sebenarnya, namun ia melihat seperti ada jurang pemisah antara Papa dan saudara-saudaranya yang lain. Kenapa Papanya tak disukai?, kenapa ia tak pernah disenangi oleh sepupu-sepupunya? Itu semua menjadi pertanyaan yang tak pernah ada jawaban dari Papa. Nazza tak pernah ingin menanyakan lagi pada Papa ketika ia lihat bola mata Papa agak mulai berair dan memerah. Nazza tak pernah melihat mata Papa seperti itu sebelumnya.
Nazza semakin dewasa. Hidup terpisah dari keluarga besar Papa tak pernah membuatnya ingat kembali pada masalah itu. Ia hidup sewajarnya anak-anak yang lain. Walaupun ia tak punya Mama, Papa mampu mencukupi semua kebutuhan Nazza. Namun, tetap saja ia tak pernah merasakan belaian seorang ibu.
----

Ia meremas kantong plastik di tangannya dengan kasar. Di dalamnya ada oleh-oleh untuk nenek. Mukanya memerah, menahan marah yang hampir tak terkendalikan lagi. Papa menepuk-nepuk bahunya, meminta sedikit bersabar atas sikap nenek terhadapnya sambil mengelus anak rambutnya.
“Fuad, sudah berapa kali kukatakan, jangan pernah bawa anak ini ke rumahku. Aku tak pernah ingin melihat mukanya”, nenek mulai berang. Ia menggoyangkan kursi goyangnya tanpa melihat kearah Nazza. Tapi, semarah apapun nenek pada Nazza, ia tak pernah menyebutkan kesalahan masa lalu yang telah terjadi. Meskipun Nazza sangat ingin tahu.
“Kita pulang, pa”, ia menarik tangan Papa. Meletakkan beberapa kilo apel hijau dalam plastik hitam dekat kaki nenek.
“Bu, maafkan aku. Tapi, Nazza juga cucumu, berhak mendapatkan perhatianmu seperti cucu-cucu yang lain. Seperti anak bang Alief, kak Ratih, kak Nindy, dan juga bang Raiz. Tak harus dibedakan”, Papa sedikit memohon pada nenek.
Nenek  masih membuang muka. Tak peduli pada Papa dan Nazza. Ini bukan untuk pertama kali mereka datang dan tak dipedulikan oleh nenek. Sudah kesekian kali terjadi seperti ini, namun Papa selalu meyakinkan Nazza bahwa nenek akan luluh juga pada akhirnya.
“Nazza gak akan pernah mau datang lagi ke rumah nenek”, ucap Nazza ketika sudah masuk kedalam mobil. Papa hanya menoleh, tak ingin membujuknya, anak-anak juga punya batas kesabaran. Wajar mungkin jika ia tak ingin datang lagi, sikap nenek yang selalu acuh tak acuh dan memojokkannya sungguh sangat menyakitkan baginya. Seolah ia adalah anak yang tak pernah diharapkan untuk hadir dalam keluarga mereka. Walaupun sebenarnya, hampir demikian.
----

“Pa, kenapa nenek membenci Nazza?”, matanya menatap lurus kedalam bola mata Papa. Diam, tak ada jawab. Seperti biasa. Mungkin terlalu sulit menguntai kata demi kata, walaupun untuk sedikit memuaskan buah hatinya tentang pertanyaan selama ini yang selalu menggantung dibenak putri nya.
“Mama Nazza bukan orang baik ya? Sampai nenek juga tidak menyukainya?”
Papa mengelus rambutnya, tetap masih belum ada jawaban.
“Nanti kau akan tau, nak. Sekarang belum saatnya kau harus tau tentang itu”, hanya dalam hati. Tak ada gerak mulut untuk mengatakannya.
----š

“Nanti, kalau malam telah menutup kisah. Pagi akan memulainya lagi kembali indah ”, Papa membelai lembut anak rambut Nazza menjelang tidur.
“Kalau malam datang lagi?”
“Ia akan terus berputar dan kita tak mampu untuk mengatakan, berhentilah. Adakalanya hari cerah dengan matahari, kadang dinaungi awan putih yang indah, kadang juga mendung dan hujan. Tak juga harus siang, malam juga begitu. Kadang ia bermandikan cahaya rembulan, kadang juga gelap disaput awan hitam. Kehidupan juga demikian, Nazzaku. Semuanya akan berhenti ketika raga terpisah dengan jiwa”
“Mama juga demikian, pa? “, matanya mencari bola hitam mata Papa.
“Ia, Mama telah memulai kehidupan baru yang hakiki di Barzahnya. Kita juga menyusul ketika jatah kita telah sampai pada temponya “.
Nazza hanya manggut-manggut, mengerti dengan maksud Papa.
“Tidurlah, malam hampir terlelap dalam impi dan kau masih terjaga disini“, Papa tersenyum bijak. Nazza menutup mata, sambil mencoba mensketsa pelan-pelan wajah Mama. Ah, buram.
----

“Berceritalah, jika Papa ingin“, Nazza melirik Papa yang duduk disisinya. Hanya debur ombak yang terdengar, buih sesekali menyapa kaki mereka. Ia melirik, putri kecilnya yang kini telah dewasa. Sudah delapan belas tahun, usia yang cukup untuk mengatakan semua hal yang seharusnya ia tahu.
“Kau ingin dengar cerita tentang Mamamu? “
“Sangat ingin, pa. tapi, Nazza lebih memilih menunggu daripada harus memaksa Papa untuk mengatakan semuanya”, matanya berbinar bahagia. Saat inilah yang paling ia tunggu-tunggu dalam hidupnya. Bercerita tentang Mama yang melahirkannya.
“Baiklah, Papa mulai dari…, Mamamu bernama Azra”, kisah itu kian berlanjut menjadi bait-bait cerita yang panjang.


Beberapa tahun yang silam…

“Kau akan menyesal Fuad, memilih Azra sebagai istrimu. Bukan saja ibu yang tidak pernah merestui hubunganmu dengannya. Tapi, kami juga tidak ingin ia menjadi ipar kami. Kau tahukan, cacat cela yang ia punya hingga menimbulkan omongan dari keluarga besar kita dan tetangga ”, Alief, sebagai anak sulung mencoba untuk menjelaskan pada Fuad tentang keputusannya untuk menikahi Azra, seorang perempuan dari desa terpencil yang sekarang sangat ia cintai. Sedangkan adik-adiknya yang lain sudah angkat tangan untuk membujuk Fuad.
“Aku sudah memikirkan matang-matang, keputusanku sudah bulat untuk menerima semuanya“, Fuad menatap langit di atas kepalanya. Hanya awan yang terus bergerak tanpa mampu membantunya menghadapi masalah ini. Beberapa burung melayang tanpa menoleh. Mungkin mereka juga ikut tak menyetujui keinginannya.
“Walaupun ibu masih bersikeras juga? “
“Ia, apapun itu“, jawabnya tegas.
Alief bangkit, ia tahu adiknya takkan pernah mengubah keputusan yang telah diambilnya. Diantara mereka, hanya Fuad yang paling keras kepala dan susah untuk dibujuk. Meskipun ia adalah anak bungsu dalam keluarga mereka.
Ia sekarang tinggal sendiri, sedang mengenang saat-saat terindahnya bersama Azra. Sebelum kejadian itu mengubah semuanya, mengubah tawa seorang Azra yang ceria menjadi duka yang berkesinambung dan juga mengubah pandangan keluarganya tentang Azra.
“Perempuan itu tak pernah mengharapkanmu. Buktinya, ia tak mampu menjaga dirinya dengan baik, Fuad. Kau pahamkan, bagaimana pandangan orang-orang ketika kau menikahi seorang perempuan yang tidak suci lagi?“, Nindy menghujam Fuad dengan kata-kata yang sangat menyakitkan.
“Kak, itu cuma kecelakaan yang tak pernah ia kehendaki sebelumnya. Ia diperkosa oleh orang yang tak ia kenali. Mentalnya sekarang sedang labil, ia tak punya siapa-siapa lagi, aku yakin ia sangat membutuhkanku saat ini”, ia membela diri dan demi kehormatan wanita yang sangat ia kagumi lahir batinnya.
“Jangan sok menjadi pahlawan. Kau masih bisa menikahi perempuan dari kalangan baik-baik. Keluarga yang terhormat tak akan pernah menerima seorang wanita yang diperkosa sepertinya dan ia akan melahirkan anak dari hasil pekerjaan itu serta mengatasnamakan keluarga besar kita yang terhormat”, kali ini Raiz mempertegas kata-kata kakaknya, Nindy. Fuad meredam amarahnya.
“Ia tidak seperti yang kalian tuduhkan “.
“Terserah apa katamu. Seorang dewikah atau malaikat, Kami tak peduli”. Kalimat terakhir itu menutup pertengkaran mereka sore itu, sepulang kakak-kakaknya dari tempat kerja mereka masing-masing.
Beberapa minggu kemudian, pernikahan tanpa restu itu dilaksanakan. Tak banyak tamu yang hadir, hanya beberapa orang. Keluarga Fuad tak datang, cuma teman-temannya yang ikut memberi berkah bagi pernikahan mereka. Dua hari kemudian, ia memboyong istrinya ke sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Sesekali, Fuad masih juga datang untuk menjenguk ibunya yang sudah sakit-sakitan bersama Azra. Wanita yang sudah menua itu tidak pernah peduli pada kunjungan-kunjungan mereka. Ia tak pernah menyambut Azra seperti halnya menantu-menantu yang lain. Azra pun memakluminya bahwa pernikahan mereka bukanlah seperti pernikahan anak-anak yang lain, yang mendapat restu dari Ibu serta kejadian masa lalu membuatnya lebih banyak diam dari biasanya, bahkan Fuadlah yang lebih sering mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap Ibu kepada Azra seusai mereka mengunjunginya.
Azra hamil, tapi bukan anak Fuad. Pernah beberapa kali ia berusaha untuk mengugurkannya. Ini mengingatkannya pada kebejatan seseorang di masa lalunya yang telah rela menodai kesuciannya secara terpaksa dan sampai sekarang ia tidak tahu siapa. Namun, Fuad selalu meyakinkannya bahwa janin tak berdosa itu adalah milik mereka dan sama sekali tak berdosa. Akhirnya, berangkat dari itu, Azra mulai mencintai bayinya sendiri.
Di usia kandungannya yang telah hampir mencapai sembilan bulan, Azra masih saja suka mengurusi keadaan rumahnya tanpa memerlukan bantuan. Terkadang, sepulang dari kantor tempat bekerja, Fuad membantunya. Sebenarnya, ia juga kasihan melihat istrinya demikian, tapi Azra juga berwatak keras. Susah diubah kemauannya.
Suatu sore sepulang dari kantor, Fuad mendapati Azra duduk merenung di teras depan. Tak biasanya seperti ini. Setelah memberi salam, ia duduk disampingnya, menanyakan hal kegiatan yang ia lakukan pada hari ini. Tak ada sahutan. Azra diam.
“Kau tak takut jika kisah kita usai sebelum kita ingin mengakhirkannya? Tak pernahkah kau pikirkan, bagaimana jika kau hanya tinggal bersama anak yang bukan anakmu? Rasanya harus mulai kau pikirkan, Mas ”, Ia menoleh sebentar kearah Fuad, lalu kembali tengggelam dalam lamunannya. Fuad sendiri tak sadar, apakah itu pertanyaan untuknya atau bukan. Namun sepertinya Azra tak butuh jawaban itu saat sekarang.
Seminggu kemudian, seorang bayi  perempuan sehat dan cantik lahir dari Azra. Sayang, ia harus mengorbankan nyawanya sendiri sebagai tebusan untuk itu. Sempat untuk terakhir kalinya, ia meminta Fuad memberikan nama untuk putri kecilnya.
“ Namanya Nazza, sayang”, pelan ia membisik ditelinga istrinya.
Fuad kembali kerumah dengan membawa Nazza kecil digendongannya, tak ada lagi Azra. Ia memulai sendiri semuanya. Keluarganya tersenyum bahagia saat itu, Azra hilang dari kehidupan tapi Fuad tak sempat peduli, ia punya Nazza sekarang. Sosok kecil yang memanggilnya, Papa.
Keluarga Fuad tak ada yang bisa menerima anak tak berdosa itu.
“ Kau membawa bayi haram ke dalam rumah ini”
“ Malapetaka terbesar kenapa kau datangkan untuk kami?”, dan masih banyak lagi cemoohan untuk sikecil. Saat itu, dengan segala kerendahan hati, Fuad meminta pada mereka untuk tetap merahasiakan tentang ibunya pada Nazza. Ia tak ingin membiarkan kekesalan mereka pada ibunya, sehingga akhirnya akan berimbas kepada Nazza.
Kisah tersebut mereka tutup hingga hari itu. Tak ada yang menyebutnya anak haram, najis atau apa pun. Namun, mereka membatasi semuanya dari Nazza. Ia tak memperoleh perhatian mereka sedikit pun. Ia diacuhkan oleh semua, oom-tantenya dan sepupu-sepupunya. Hanya benalu, kata mereka.
š----

Nazza sesenggukan di pangku Papa. Ah, mungkin ia tak pantas menyebutnya sebagai Papa lagi. Sayangnya, ia sudah sangat terlalu mencintai lelaki yang dipanggil Papa ini. Ada ikatan batin yang tak bertali lewat darah disini, hanya sesuatu yang telah merangkumnya menjadi sebuah gundukan rasa yang bernama cinta.
“Aku masih boleh memanggil, ‘Papa’?“, ia mencoba memberanikan diri mendongakkan kepalanya kearah Papa. Mata itu kembali memerah. Sebuah anggukan kuat mengiyakan,
“Slalu, putriku“
š----

“Puisi Papa, Mas. Aku temukan dalam laci kamarnya dulu“, Nazza mengeluarkan sesuatu dari kantong roknya, lalu melempar punggungnya ke sofa, disamping Fathar, suaminya yang sedang mengawasi sikecil Abel belajar berjalan sambil tertatih-tatih didepan mereka.
“Kangen Papa, ya“, Fathar menambahkan dengan sedikit menghela.
Nazza hanya diam, mulai sibuk dengan lamunan yang kian melemparnya pada masa lalu. Berjalan di labirin kenangan yang membuatnya mengerti kenapa ia semakin mencintai Papa. Sosok yang membantunya untuk mengenali dirinya sendiri, berjalan mengatur hidup yang kadang indah dan kadang penuh liku dan mengajarinya mengatur semua waktu yang ia punya. Sayang, tak ada lagi ia saat sekarang. Ia kembali ingat ucapan Papa ketika ia bertanya kenapa Mama pergi terlalu cepat,
“Selesaikah kisah sebelum kita ingin mengakhirkannya? Padahal torehan pena dan bercak kata masih ingin kita luahkan di atas kertas rencana. Sayang, penghapus ada padaNya dan Ia akan mulai menghapus bagian-bagian yang salah serta kembali membantu menuliskan rencana lainnya yang sangat indah ”.

š


Banda Aceh, 16 Januari 2010. 21:54
Aku dedikasi untuk Bapak, atas cinta yang tak hilang
sayang yang tak lekang dan rindu yang selalu mengambang.
Sambut ia di jannahMu tertinggi ya Rabb. Amien..


§ Jika ada yang kata kau bukan putriku,
Jika ada yang kata kau benalu kecil
Jika ada yang kata kau bukan apa-apa
Jangan jawab apapun,
Biarkan angin berkisah,
Karena hanya aku yang tahu jawabnya

Quote

Quote

Total Pageviews