“A
friend is someone who knows the song in your heart and can sing it back when
you have forgotten the words”
Aku mengulang sampai
beberapa kali kalimat yang kutemukan dalam buku harian Mumtaz. Kalimat yang
indah..!. Mungkin, Aku sendiri tidak bisa membuat kalimat sepuitis itu.
Ternyata Mumtaz yang biasanya usil dan ku-cap sebagai cowok cerewet
satu-satunya di planet bumi bisa juga mengartikan seorang sahabat seperti
dikata-katanya. Entah kenapa, Aku juga berkeinginan untuk menuliskan kata-kata
yang sama di buku harian biruku.
“ Jihan !”
Prakk..
Tidak sengaja Aku
menjatuhkan buku harian Mumtaz ke lantai. Ada
selembar foto yang menyembul keluar di antara lembaran-lembaran tersebut.
Buru-buru Mumtaz memungutnya, menyembunyikan ke balik punggungnya.
“ Jihan, ini privasi Aku.
Kenapa sih, kamu menyentuhnya?”
Aku diam. Pandanganku
jatuh ke lantai, itu kesalahanku yang sengaja
membuka buku harian Mumtaz. Padahal, Aku tahu betul. Mumtaz sangat tidak
suka apabila ada orang ikut campur urusan pribadinya. Ia selalu menjaga
privasinya. Dan sekarang Aku telah merusak kepercayaan Mumtaz.
“ Maafkan. Aku tidak
sengaja. Lagi pula, Aku belum membaca semuanya. Aku hanya melihat.., kata-kata
indah di lembar pertama. Itu bukan suatu yang rahasia kan?”
“ Kamu keterlaluan, Jihan!”
Aku bangkit dari duduk
dan melangkah keluar kamar. Lebih baik Aku memilih pergi daripada Mumtaz akan
lebih marah lagi.
“ Maafkan Aku, Mumtaz.
Awalnya Aku hanya ingin sekedar tahu, apakah ada namaku dalam hitungan
hari-harimu?”, desahku dalam hati. Tapi, yang di foto tadi siapa ya?
JJJ
Namaku Jihan Farah
Aniendya, anak tunggal dari keluarga Al-Hamra. Sedangkan Mumtaz, Mumtaz
Fachrezy- ia adalah teman kecilku yang dikenalkan Papa ketika Aku ulang tahun
ke-5.
“ Jihan, ini...Papa
punya hadiah buat kamu. Seorang teman..ayo kenalan…!!”
Ya..saat itu Mumtaz
adalah tetangga baruku. Aku juga tidak berani mengajaknya bermain, karena ia
terlalu pendiam. Kemudian waktu lah yang menyatukan kami. Aku dan Mumtaz
bersahabat. Bahkan banyak yang mengira Aku dan Mumtaz adik-kakak, karena sangat
dekatnya. Mungkin ada sebagian teman perempuan yang juga iri melihat Aku dan Mumtaz
sering berdua. Ketika Aku mengatakan pada Mumtaz, ia menjawab dengan santai,
“ Paling mereka iri ngeliat
kamu jalan sama cowok cakep kaya’ Aku !”. Huwekkk…dasar cowok PD.
Mungkin, kehidupanku
adalah kehidupan Mumtaz. Dari mulai TK ,
SD , SMP, dan sampai SMA Aku
selalu bersama Mumtaz, dalam sekolah dan ruang kelas yang sama. Tak heran
banyak dari mereka mengira Aku dan Mumtaz dijodohkan dari bayi. Pemikiran yang
konyol !. Pernah beberapa kali Aku mengusulkannya untuk pacaran dengan beberapa
perempuan yang menarik perhatiannya. Masih dengan gaya khasnya,
“ Kan masih ada Jihan yang selalu ada di
samping Aku..!”, tangannya mengacak-acak rambut sepinggangku. Entah kenapa, Aku
juga tidak ingin pacaran seperti Mumtaz.
Persahabatan kami
abadi, begitu katanya ketika kami mengikat janji. Hingga sekarang, saat Aku dan
Mumtaz kelas tiga SMA, kami tetap sahabat. Walaupun banyak sikapku yang
berbenturan dengan sifatnya, kami bisa menyesuaikannya. Bahkan, Aku bisa
menyimpulkan jika Mumtaz adalah sosok yang perhatian, baik, melindungi dan Mumtaz
selalu ada jika Aku butuhkan. Sahabat yang baik..
Dan Aku tidak tahu,
apakah ia bisa memaafkan Aku karena sikap kurang ajarku yang telah lancang
membaca hariannya. Maafkan Aku, Mumtaz..!
Ujian akhir semakin
dekat. Aku dan Mumtaz sibuk belajar untuk persiapan ujian. Hingga tak ada lagi
waktu untuk bermain basket di lapangan dekat rumah atau sekedar jalan-jalan
dengan Mumtaz. Semuanya hilang..,komunikasi antara Aku dan Mumtaz putus. Entah
karena buku harian, atau mungkin ia merasa bosan berteman denganku selama
belasan tahun.
Pagi Minggu, Aku
biasanya lari pagi dengan Mumtaz. Tapi, hari ini ia lebih memilih untuk
sendiri. Di belokan gang Aku bertemu dengannya.
“ Pagi, Mumtaz.”, ku
berikan senyumku untuknya.
“ Pagi.”, ia menjawab
dengan senyum kaku, tanpa ekspresi
Oh, Mumtaz. Maafkan Aku.
Saat ia mulai menjauh
dan menghilang dari hari-hariku, seperti ada sebuah perubahan besar dalam
hidupku. Ada
separuh jiwaku yang hilang, terbang menguap melewati suatu batas yang Aku
sendiri tidak tahu apa namanya. Seharusnya sebagai sahabat, ia tahu nyanyian
hatiku, ia memahamiku…, tetapi, kenapa ia tak pernah peduli??
###
“ Lusa kita pindah ke
Jakarta. Papa sudah dipindah tugaskan ke sana. Jadi, semua barang disiapkan dipack terus ya..”, Papa mengambil lalapan
di sebelah kiriku
Spontan Aku mengangkat
kepalaku yang sedari tadi khusyuk makan, masih belum yakin dengan omongan Papa
barusan.
“ Kita pindah, pa?”
“ Iya. Kan tidak apa-apa. Toh Jihan
tinggal menunggu hasil pengumuman kelulusan saja, dan itu bisa Jihan hubungi
teman-teman yang ada di Bandung
nanti.”
Aku meninggalkan makan
siangku tanpa selera. Mengapa seakan-akan semuanya menginginkan supaya Aku
berjauhan dengan Mumtaz?. Suara ketukan pintu tidak membuatku bangkit dari
tidurku,. Mama masuk dan langsung menasehatiku dengan sejuta rayuan supaya Aku
mau ikut pindah ke Surabaya .
“ Jihan, pindah ke sana memang bukan maunya
kita, tapi kantor Papa yang putuskan gitu. Mau gak mau, kita juga harus pindah.
Jihan bisa ngertikan ?”
Duh…, Mama juga tidak
akan mengerti , betapa sulit meninggalkan Bandung .
Bandung adalah
duniaku, terlalu banyak kenangan antara Aku dan Mumtaz yang begitu indah dan
sangat mustahil untuk dilupakan.
###
Sore sebelum hari
keberangkatan, Aku ke rumah Mumtaz. Sudah lama Aku tidak ke sini. Terakhir kali
sewaktu Aku bertengkar dengan Mumtaz dan ini mungkin adalah yang ke terakhir
kalinya. Karena besok pagi-pagi sekali kami akan pindah. Langit memang agak
mendung ketika Aku tiba di depan rumah Mumtaz, titik gerimis mulai berjatuhan
ke atas wajahku. Senyum tante Alya mengembang ketika melihatku di depan pintu.
“ Assalamu’alaikum, Tante.”,
sapaku seraya menciumi tangan wanita seusia Mamaku.
“ wa’alaikum salam. Jihan
kok gak pernah datang lagi ke sini? Tante kesepian lho.”
“ Jihan agak sibuk, Tante.
Maafkan ya”
“ Iya. Gak apa-apa. Oh
ya, Jihan cari Mumtaz ya?”
“ Iya, Tante. Jihan
ada perlu”
“ Duh, Mumtaz lagi ke
rumah eyangnya di Bogor .
Jihan ada pesan apa biar Tante sampaikan nanti?
“ Jihan mau pamit
Tante, besok Papa pindah tugas ke Surabaya. “, tetes air mataku jatuh. Kenapa
aku harus mengatakan kata itu juga pada akhirnya?.
“ Kalo gitu, Jihan permisi
pulang Tante ya. Assalamu’alaikum.”
Ku tinggalkan rumah Mumtaz
dengan perasaan kecewa. Aku tidak sempat mengucapkan kata-kata perpisahan yang
terakhir kali pada Mumtaz. Maafkan Aku, Mumtaz. Aku harus pergi.
Sepanjang jalan
pulang, aku hanya mengingat indahnya dulu, Mumtaz akan mengalah jika berselisih
paham denganku. Walaupun Aku yang salah, dia akan minta maaf padaku dengan
membawa lily putih untukku, karena Mumtaz tahu Aku sangat suka pada lily putih.
Akhirnya Aku luluh juga dan memaafkannya. Tapi kenapa sekarang ia tidak
melakukan hal yang sama seperti dulu?. Dan Aku berjanji, ini akan menjadi kala
pertama Aku mengucapkan kata maaf pada Mumtaz.
Aku terduduk dipinggir
lapangan basket yang biasanya kami gunakan untuk bermain, berlari dan kemudian jatuh,
bahkan kami sering duduk melihat pelangi kala hujan mulai mereda ataupun menghitung
bintang saat malam. Dan Mumtaz akan
menunjukkan beberapa rasi bintang dan mengenalkan padaku nama nama bintang
tersebut. Saat ini, semua kututup sebagai kenangan.
###
Beberapa tahun
kemudian..
“ Mama !, Jihan gak
bisa pulang ke Jakarta. Apalagi akhir-akhir ini Jihan sibuk. Belum tugas
kuliah, acara pengajian di kampus, pokoknya berjubel, ma”, kubetulkan letak
jilbab putihku yang tertiup angin.
“Tapi, ini penting, Jihan
sayang.”
“Kalo minggu depan,
gimana? Jihan akan atur semuanya nanti”, kumatikan Laptop yang masih menyala
dengan tangan kananku.
“Terserah kamu deh.
Pokoknya dalam bulan ini. Titik”
“Iya, Mama. Ya udah
ya, titip salam buat Papa sayang. Assalamualaikum”
Aku menutup telpon
genggamku dan meletakkannya atas tempat tidur.
Disinilah aku. Ini
ranah minang, tempat kelahiran Papa. Aku memilih Padang sebagai tujuanku
daripada Bandung karena aku tak yakin bisa melupakan Mumtaz. Akh, Mumtaz apa
kabar sekarang? Padahal semenjak aku memutuskan untuk berhijrah, aku sudah
berniat untuk melupakan semua tentangnya dan seiring waktu, sedikit-sedikit aku
mulai melupakannya. Terkadang, lewat jendela di rumah panggung Niniak,
kuungkapkan rinduku pada Bandung. Sambil kupandangi sawah milik Mamak yang
semakin menghijau di sebelah barat rumah.
Aku melangkah keluar
kamar, masih menggantung pertanyaan dihatiku, sebenarnya kenapa Mama begitu
memaksaku untuk pulang?
###
Pesawat take off di
Bandara Soekarno Hatta tepat jam 10.00 pagi. Aku langsung melaju dengan Taksi
kerumah. Bik Hanum membuka pagar dan mengambil barang yang kubawa dari Padang.
Ku salami ia dengan takzim, agak terkejut dengan sikapku yang demikian.
“ Mama mana, bi? “
“di dalam, neng. Sudah
di tunggu dari tadi. Sepertinya ada kejutan buat neng”, Bi Hanum tersenyum simpul.
Papa dan Mama sedang duduk di ruang tengah ketika aku datang.
“ Assalamualaikum, Ma..
Pa..”, kusalami mereka satu persatu. Aku meletakkan badan penatku di atas sofa
di samping Papa, seperti biasa ia akan membelai lembut kepalaku.
“ Papa dan Mama minta
maaf, Jihan. Karena mengambil keputusan tanpa sepengetahuan kamu. Tapi,
sepertinya tebakan Mama dan Papa gak salah deh”, Papa mengedipkan sebelah
matanya kearah Mama. Yang dikedip hanya tersenyum saja.
“ Jihan gak paham apa
maksudnya? “, aku menegakkan badanku sambil memeluk bantal sofa.
“ Temui dia di gazebo
“, Papa menoleh kearahku. Rautnya serius. Aku bangkit dan melangkah ke belakang
dengan rasa penasaran yang semakin membuncah dalam hatiku. Ia sedang duduk
dekat taman kecil bunga lilyku, menatap langit yang sebentar lagi akan turun
hujan.
“ Assalamualaikum “,
sapaku dari arah belakangnya.
“ Wa’alaikum salam “,
ia berbalik menatap arah kedatanganku. Ya tuhan, aku memegang dada sebelah
kiriku, takut jantungku tak lagi berfungsi dengan baik. Matanya yang bening di
balik kacamata tanpa frame, berubah dari yang dulu. Ia juga semakin dewasa.
“ Jihan.. “
“ Mumtaz.. “, aku
menggumam pelan. Tak percaya dengan yang ada di hadapanku. Ia mempersilakanku
untuk duduk disampingnya. Agak jauh memang. Rintik mulai jatuh ke bumi. Aku
menunduk malu.
“ Maafkan aku.. Jihan
“, ia terbata menyebut namaku. Aku mengangguk perlahan.
“ Aku bersama Mama dan
Papa ke sini. Sengaja aku meminta mereka untuk datang menemui kamu, Om dan tante
di November ini. Karena, aku ingat.. kita ketemu saat Ulang tahunmu yang ke-5
di bulan November juga. Ingat?“,
setitik air hujan jatuh atas wajahnya yang semakin teduh.
“ Mumtaz, gerimis.
Kita bicara di dalam saja yuk.. ! “, tawarku padanya.
“ Kan kita suka
gerimis. Kamu suka lily putih dan
ingatkan, saat kamu ngambek dulu aku selalu berusaha minta maaf dengan metik
bunga lily kamu di belakang rumah “, ia tertawa lepas mengenang itu. Tiba-tiba
rautnya berubah serius.
“ Jihan, aku telah
jatuh cinta pada seeorang yang sebenarnya tak boleh kucintai “
“ maksudmu ?”, aku
menatap tajam kearahnya. Jadi, maksud menyuruhku pulang hanya untuk
mendengarkan bahwa ia akan menikahi seseorang gadis yang ia kenal selang lama
setelah kami berpisah.
“ ya, aku jatuh cinta
di batas usia yang belum wajar. Tapi, saat itu aku belum tahu bahwa itulah yang
dinamai cinta. Perasaan ingin selalu bersama, terus melindungi, tetap mengalah,
dan rasa itulah yang kerap kali menawan perasaanku di saat dekat dengannya “,
ia membetulkan letak kacamatanya. Aku masih diam, mendengarkan ceritanya
setengah jengkel. Cerita ia jatuh cinta kenapa harus ke aku?
“ Dia itu adalah kamu,
Jihan “, aku hampir saja tersedak dengan air liurku sendiri.
“ Bukannya kamu
mencintai seseorang yang fotonya sempat kutemukan di lembar buku harian kamu
dulu ?”, aku tak berani menatap wajahnya. Gerimis masih saja turun.
“ Itu… gambar kamu
waktu acara ulang tahun ke-5. Lucu, muka kamu banyak belepotan kue. Aku suka
sekali. Sayang, saat itu aku belum pintar merekam “, Mumtaz sedikit mengenang
sambil tersenyum kecil.
“ dan aku belajar
untuk tak ada orang lain lagi selain kamu. Saat itu, kupikir kamu akan mengerti
dengan perkataanku bahwa aku masih punya Jihan disampingku. Saat kau
menyarankanku untuk berpacaran saja “, aku semakin dalam menunduk.
“ dan sekarang, aku
sangat berharap kau juga merasakan seperti halnya rasaku untukmu. Masalahnya
semua kembali padamu dan aku rasa, sudah saatnya aku mencari pasangan hidup
yang aku cintai untuk terus menemaniku dan kuharap, itu kamu“.
“ Maaf Mumtaz…aku tak
pernah bisa menolak kata hatiku “, Mumtaz menunduk kecewa. Tak paham dengan
maksudku.
“ sepertinya, Aku juga
punya rasa yang sama “, ia menarik nafas lega. Akhirnya, tercapai juga.
Rintik hujan mulai
mereda. Pelangi menyembul dibalik awan. Indah, seindah kisah sepasang anak
manusia yang hendak di mulai dalam lembaran kertas baru.
Banda
Aceh, 7 january 2010
Di revisi ulang ne..

