Kamis, 12 April 2012

ANTARA GERIMIS DAN PELANGI


“A friend is someone who knows the song in your heart and can sing it back when you have forgotten the words”

Aku mengulang sampai beberapa kali kalimat yang kutemukan dalam buku harian Mumtaz. Kalimat yang indah..!. Mungkin, Aku sendiri tidak bisa membuat kalimat sepuitis itu. Ternyata Mumtaz yang biasanya usil dan ku-cap sebagai cowok cerewet satu-satunya di planet bumi bisa juga mengartikan seorang sahabat seperti dikata-katanya. Entah kenapa, Aku juga berkeinginan untuk menuliskan kata-kata yang sama di buku harian biruku.
“ Jihan !”
Prakk..
Tidak sengaja Aku menjatuhkan buku harian Mumtaz ke lantai. Ada selembar foto yang menyembul keluar di antara lembaran-lembaran tersebut. Buru-buru Mumtaz memungutnya, menyembunyikan ke balik punggungnya.
“ Jihan, ini privasi Aku. Kenapa sih, kamu menyentuhnya?”
Aku diam. Pandanganku jatuh ke lantai, itu kesalahanku yang sengaja  membuka buku harian Mumtaz. Padahal, Aku tahu betul. Mumtaz sangat tidak suka apabila ada orang ikut campur urusan pribadinya. Ia selalu menjaga privasinya. Dan sekarang Aku telah merusak kepercayaan Mumtaz.
“ Maafkan. Aku tidak sengaja. Lagi pula, Aku belum membaca semuanya. Aku hanya melihat.., kata-kata indah di lembar pertama. Itu bukan suatu yang rahasia kan?”
“ Kamu keterlaluan, Jihan!”
Aku bangkit dari duduk dan melangkah keluar kamar. Lebih baik Aku memilih pergi daripada Mumtaz akan lebih marah lagi.
“ Maafkan Aku, Mumtaz. Awalnya Aku hanya ingin sekedar tahu, apakah ada namaku dalam hitungan hari-harimu?”, desahku dalam hati. Tapi, yang di foto tadi siapa ya?                                                                                                               
JJJ
Namaku Jihan Farah Aniendya, anak tunggal dari keluarga Al-Hamra. Sedangkan Mumtaz, Mumtaz Fachrezy- ia adalah teman kecilku yang dikenalkan Papa ketika Aku ulang tahun ke-5.
“ Jihan, ini...Papa punya hadiah buat kamu. Seorang teman..ayo kenalan…!!”
Ya..saat itu Mumtaz adalah tetangga baruku. Aku juga tidak berani mengajaknya bermain, karena ia terlalu pendiam. Kemudian waktu lah yang menyatukan kami. Aku dan Mumtaz bersahabat. Bahkan banyak yang mengira Aku dan Mumtaz adik-kakak, karena sangat dekatnya. Mungkin ada sebagian teman perempuan yang juga iri melihat Aku dan Mumtaz sering berdua. Ketika Aku mengatakan pada Mumtaz, ia menjawab dengan santai,
“ Paling mereka iri ngeliat kamu jalan sama cowok cakep kaya’ Aku !”. Huwekkk…dasar cowok PD.
Mungkin, kehidupanku adalah kehidupan Mumtaz. Dari mulai TK, SD, SMP, dan sampai SMA Aku selalu bersama Mumtaz, dalam sekolah dan ruang kelas yang sama. Tak heran banyak dari mereka mengira Aku dan Mumtaz dijodohkan dari bayi. Pemikiran yang konyol !. Pernah beberapa kali Aku mengusulkannya untuk pacaran dengan beberapa perempuan yang menarik perhatiannya. Masih dengan gaya khasnya,
Kan masih ada Jihan yang selalu ada di samping Aku..!”, tangannya mengacak-acak rambut sepinggangku. Entah kenapa, Aku juga tidak ingin pacaran seperti Mumtaz.
Persahabatan kami abadi, begitu katanya ketika kami mengikat janji. Hingga sekarang, saat Aku dan Mumtaz kelas tiga SMA, kami tetap sahabat. Walaupun banyak sikapku yang berbenturan dengan sifatnya, kami bisa menyesuaikannya. Bahkan, Aku bisa menyimpulkan jika Mumtaz adalah sosok yang perhatian, baik, melindungi dan Mumtaz selalu ada jika Aku butuhkan. Sahabat yang baik..
Dan Aku tidak tahu, apakah ia bisa memaafkan Aku karena sikap kurang ajarku yang telah lancang membaca hariannya. Maafkan Aku, Mumtaz..!
                                                                               ###

Ujian akhir semakin dekat. Aku dan Mumtaz sibuk belajar untuk persiapan ujian. Hingga tak ada lagi waktu untuk bermain basket di lapangan dekat rumah atau sekedar jalan-jalan dengan Mumtaz. Semuanya hilang..,komunikasi antara Aku dan Mumtaz putus. Entah karena buku harian, atau mungkin ia merasa bosan berteman denganku selama belasan tahun.
Pagi Minggu, Aku biasanya lari pagi dengan Mumtaz. Tapi, hari ini ia lebih memilih untuk sendiri. Di belokan gang Aku bertemu dengannya.
“ Pagi, Mumtaz.”, ku berikan senyumku untuknya.
“ Pagi.”, ia menjawab dengan senyum kaku, tanpa ekspresi
Oh, Mumtaz. Maafkan Aku.
Saat ia mulai menjauh dan menghilang dari hari-hariku, seperti ada sebuah perubahan besar dalam hidupku. Ada separuh jiwaku yang hilang, terbang menguap melewati suatu batas yang Aku sendiri tidak tahu apa namanya. Seharusnya sebagai sahabat, ia tahu nyanyian hatiku, ia memahamiku…, tetapi, kenapa ia tak pernah peduli??
###

“ Lusa kita pindah ke Jakarta. Papa sudah dipindah tugaskan ke sana. Jadi, semua barang disiapkan dipack terus ya..”, Papa mengambil lalapan di sebelah kiriku
Spontan Aku mengangkat kepalaku yang sedari tadi khusyuk makan, masih belum yakin dengan omongan Papa barusan.
“ Kita pindah, pa?”
“ Iya. Kan tidak apa-apa. Toh Jihan tinggal menunggu hasil pengumuman kelulusan saja, dan itu bisa Jihan hubungi teman-teman yang ada di Bandung nanti.”
Aku meninggalkan makan siangku tanpa selera. Mengapa seakan-akan semuanya menginginkan supaya Aku berjauhan dengan Mumtaz?. Suara ketukan pintu tidak membuatku bangkit dari tidurku,. Mama masuk dan langsung menasehatiku dengan sejuta rayuan supaya Aku mau ikut pindah ke Surabaya.
“ Jihan, pindah ke sana memang bukan maunya kita, tapi kantor Papa yang putuskan gitu. Mau gak mau, kita juga harus pindah. Jihan bisa ngertikan ?”
Duh…, Mama juga tidak akan mengerti , betapa sulit meninggalkan Bandung. Bandung adalah duniaku, terlalu banyak kenangan antara Aku dan Mumtaz yang begitu indah dan sangat mustahil untuk dilupakan.
###

Sore sebelum hari keberangkatan, Aku ke rumah Mumtaz. Sudah lama Aku tidak ke sini. Terakhir kali sewaktu Aku bertengkar dengan Mumtaz dan ini mungkin adalah yang ke terakhir kalinya. Karena besok pagi-pagi sekali kami akan pindah. Langit memang agak mendung ketika Aku tiba di depan rumah Mumtaz, titik gerimis mulai berjatuhan ke atas wajahku. Senyum tante Alya mengembang ketika melihatku di depan pintu.
“ Assalamu’alaikum, Tante.”, sapaku seraya menciumi tangan wanita seusia Mamaku.
“ wa’alaikum salam. Jihan kok gak pernah datang lagi ke sini? Tante kesepian lho.”
“ Jihan agak sibuk, Tante. Maafkan ya”
“ Iya. Gak apa-apa. Oh ya, Jihan cari Mumtaz ya?”
“ Iya, Tante. Jihan ada perlu”
“ Duh, Mumtaz lagi ke rumah eyangnya di Bogor. Jihan ada pesan apa biar Tante sampaikan nanti?
“ Jihan mau pamit Tante, besok Papa pindah tugas ke Surabaya. “, tetes air mataku jatuh. Kenapa aku harus mengatakan kata itu juga pada akhirnya?.
“ Kalo gitu, Jihan permisi pulang Tante ya. Assalamu’alaikum.”
Ku tinggalkan rumah Mumtaz dengan perasaan kecewa. Aku tidak sempat mengucapkan kata-kata perpisahan yang terakhir kali pada Mumtaz. Maafkan Aku, Mumtaz. Aku harus pergi.
Sepanjang jalan pulang, aku hanya mengingat indahnya dulu, Mumtaz akan mengalah jika berselisih paham denganku. Walaupun Aku yang salah, dia akan minta maaf padaku dengan membawa lily putih untukku, karena Mumtaz tahu Aku sangat suka pada lily putih. Akhirnya Aku luluh juga dan memaafkannya. Tapi kenapa sekarang ia tidak melakukan hal yang sama seperti dulu?. Dan Aku berjanji, ini akan menjadi kala pertama Aku mengucapkan kata maaf pada Mumtaz.
Aku terduduk dipinggir lapangan basket yang biasanya kami gunakan untuk bermain, berlari dan kemudian jatuh, bahkan kami sering duduk melihat pelangi kala hujan mulai mereda ataupun menghitung bintang saat malam. Dan  Mumtaz akan menunjukkan beberapa rasi bintang dan mengenalkan padaku nama nama bintang tersebut. Saat ini, semua kututup sebagai kenangan.
###
Beberapa tahun kemudian..
“ Mama !, Jihan gak bisa pulang ke Jakarta. Apalagi akhir-akhir ini Jihan sibuk. Belum tugas kuliah, acara pengajian di kampus, pokoknya berjubel, ma”, kubetulkan letak jilbab putihku yang tertiup angin.
“Tapi, ini penting, Jihan sayang.”
“Kalo minggu depan, gimana? Jihan akan atur semuanya nanti”, kumatikan Laptop yang masih menyala dengan tangan kananku.
“Terserah kamu deh. Pokoknya dalam bulan ini. Titik”
“Iya, Mama. Ya udah ya, titip salam buat Papa sayang. Assalamualaikum”
Aku menutup telpon genggamku dan meletakkannya atas tempat tidur.
Disinilah aku. Ini ranah minang, tempat kelahiran Papa. Aku memilih Padang sebagai tujuanku daripada Bandung karena aku tak yakin bisa melupakan Mumtaz. Akh, Mumtaz apa kabar sekarang? Padahal semenjak aku memutuskan untuk berhijrah, aku sudah berniat untuk melupakan semua tentangnya dan seiring waktu, sedikit-sedikit aku mulai melupakannya. Terkadang, lewat jendela di rumah panggung Niniak, kuungkapkan rinduku pada Bandung. Sambil kupandangi sawah milik Mamak yang semakin menghijau di sebelah barat rumah.
Aku melangkah keluar kamar, masih menggantung pertanyaan dihatiku, sebenarnya kenapa Mama begitu memaksaku untuk pulang?
###

Pesawat take off di Bandara Soekarno Hatta tepat jam 10.00 pagi. Aku langsung melaju dengan Taksi kerumah. Bik Hanum membuka pagar dan mengambil barang yang kubawa dari Padang. Ku salami ia dengan takzim, agak terkejut dengan sikapku yang demikian.
“ Mama mana, bi? “
“di dalam, neng. Sudah di tunggu dari tadi. Sepertinya ada kejutan buat neng”, Bi Hanum tersenyum simpul. Papa dan Mama sedang duduk di ruang tengah ketika aku datang.
“ Assalamualaikum, Ma.. Pa..”, kusalami mereka satu persatu. Aku meletakkan badan penatku di atas sofa di samping Papa, seperti biasa ia akan membelai lembut kepalaku.
“ Papa dan Mama minta maaf, Jihan. Karena mengambil keputusan tanpa sepengetahuan kamu. Tapi, sepertinya tebakan Mama dan Papa gak salah deh”, Papa mengedipkan sebelah matanya kearah Mama. Yang dikedip hanya tersenyum saja.
“ Jihan gak paham apa maksudnya? “, aku menegakkan badanku sambil memeluk bantal sofa.
“ Temui dia di gazebo “, Papa menoleh kearahku. Rautnya serius. Aku bangkit dan melangkah ke belakang dengan rasa penasaran yang semakin membuncah dalam hatiku. Ia sedang duduk dekat taman kecil bunga lilyku, menatap langit yang sebentar lagi akan turun hujan.
“ Assalamualaikum “, sapaku dari arah belakangnya.
“ Wa’alaikum salam “, ia berbalik menatap arah kedatanganku. Ya tuhan, aku memegang dada sebelah kiriku, takut jantungku tak lagi berfungsi dengan baik. Matanya yang bening di balik kacamata tanpa frame, berubah dari yang dulu. Ia juga semakin dewasa.
“ Jihan.. “
“ Mumtaz.. “, aku menggumam pelan. Tak percaya dengan yang ada di hadapanku. Ia mempersilakanku untuk duduk disampingnya. Agak jauh memang. Rintik mulai jatuh ke bumi. Aku menunduk malu.
“ Maafkan aku.. Jihan “, ia terbata menyebut namaku. Aku mengangguk perlahan.
“ Aku bersama Mama dan Papa ke sini. Sengaja aku meminta mereka untuk datang menemui kamu, Om dan tante di November ini. Karena, aku ingat.. kita ketemu saat Ulang tahunmu yang ke-5 di bulan November juga. Ingat?“, setitik air hujan jatuh atas wajahnya yang semakin teduh.
“ Mumtaz, gerimis. Kita bicara di dalam saja yuk.. ! “, tawarku padanya.
“ Kan kita suka gerimis. Kamu suka  lily putih dan ingatkan, saat kamu ngambek dulu aku selalu berusaha minta maaf dengan metik bunga lily kamu di belakang rumah “, ia tertawa lepas mengenang itu. Tiba-tiba rautnya berubah serius.
“ Jihan, aku telah jatuh cinta pada seeorang yang sebenarnya tak boleh kucintai “
“ maksudmu ?”, aku menatap tajam kearahnya. Jadi, maksud menyuruhku pulang hanya untuk mendengarkan bahwa ia akan menikahi seseorang gadis yang ia kenal selang lama setelah kami berpisah.
“ ya, aku jatuh cinta di batas usia yang belum wajar. Tapi, saat itu aku belum tahu bahwa itulah yang dinamai cinta. Perasaan ingin selalu bersama, terus melindungi, tetap mengalah, dan rasa itulah yang kerap kali menawan perasaanku di saat dekat dengannya “, ia membetulkan letak kacamatanya. Aku masih diam, mendengarkan ceritanya setengah jengkel. Cerita ia jatuh cinta kenapa harus ke aku?
“ Dia itu adalah kamu, Jihan “, aku hampir saja tersedak dengan air liurku sendiri.
“ Bukannya kamu mencintai seseorang yang fotonya sempat kutemukan di lembar buku harian kamu dulu ?”, aku tak berani menatap wajahnya. Gerimis masih saja turun.
“ Itu… gambar kamu waktu acara ulang tahun ke-5. Lucu, muka kamu banyak belepotan kue. Aku suka sekali. Sayang, saat itu aku belum pintar merekam “, Mumtaz sedikit mengenang sambil tersenyum kecil.
“ dan aku belajar untuk tak ada orang lain lagi selain kamu. Saat itu, kupikir kamu akan mengerti dengan perkataanku bahwa aku masih punya Jihan disampingku. Saat kau menyarankanku untuk berpacaran saja “, aku semakin dalam menunduk.
“ dan sekarang, aku sangat berharap kau juga merasakan seperti halnya rasaku untukmu. Masalahnya semua kembali padamu dan aku rasa, sudah saatnya aku mencari pasangan hidup yang aku cintai untuk terus menemaniku dan kuharap, itu kamu“.
“ Maaf Mumtaz…aku tak pernah bisa menolak kata hatiku “, Mumtaz menunduk kecewa. Tak paham dengan maksudku.
“ sepertinya, Aku juga punya rasa yang sama “, ia menarik nafas lega. Akhirnya, tercapai juga.
Rintik hujan mulai mereda. Pelangi menyembul dibalik awan. Indah, seindah kisah sepasang anak manusia yang hendak di mulai dalam lembaran kertas baru.



Banda Aceh, 7 january 2010
Di revisi ulang ne..

Quote

Quote

Total Pageviews