Hembusan
angin sepoi membelai lembut jilbab biruku. Aku merapikannya kembali. Sepasang
jundi kembarku, zayyan dan rayyan sedang bermain didekat kolam ikan dengan
papanya sambil sekali-sekali dilemparkannya umpan ke kolam. Aku hanya tersenyum
melihat mereka berteriak gembira ketika ikan-ikan itu menyerbu berebutan
makanan.
Ah…
ternyata waktu begitu cepat berlalu, jundiku saja sudah tiga tahun setengah.
Berarti, kepergianmu sudah berjalan tujuh tahun dan sejak saat itu aku tidak
pernah menginjakkan kakiku di Tanah Rencong ini karena aku tidak ingin
mengingatmu dan takut luka lama kehilanganmu semakin menganga. Aku kembali ke
Yogyakarta karena kurasa itu lebih baik bagi diriku.
Kenangan
tentang kita di Langsa dulu masih terekam bagus dalam flashdisk di brainku dan
semua kebersamaan kita tercatat dalam buku harianku yang kusimpan rapi digudang
rumah ibu dikampung. Dan saat ini, kenangan ini terus menari diruang
imajinasiku, aku seakan berjalan dilabirin masa lalu.
***
Aku
menyukaimu karena kamu shaleh dan pintar. Setiap memberikan pertanyaan selalu
berlandaskan hadist Rasulullah, berbeda lagi dengan Najib dan Imam yang
mengajukan pertanyaan berdasarkan Tafsir dan Hikayat. Aku tidak tahu kapan rasa
itu dapat muncul, mungkin karena kebersamaan kita dalam satu kelas. Tapi,
perasaan sukaku tidak pernah kuungkapkan di depan teman-teman. Aku tetap
menjaga marwahmu di depan semua. Hal itu
kusimpan rapat dalam hatiku.
Pernah
suatu hari Tia menanyakan perasaanku terhadapmu,
“Qayla
suka sama Rifki kan?”, tebaknya asal
“Enggak..
Qayla gak suka kok. Cuma temen aja”, aku mengelak sambil berusaha
menyembunyikan rona wajahku yang kian semerah tomat.
“Jujur
aja deh..”, ia menudingkan telunjuk kanannya ke mukaku. Sebuah pertanyaan yang
sangat menggoda.
“Udah
ah. Qayla gak suka diejek sama Rifki, Qayla bakal marah ne..”, itu senjata
terakhirku untuk hari ini. Walaupun keesokan harinya mereka kembali
mengolok-olok aku dan kamu.
Hari-hari
kita lewati dalam satu kelas. Rasanya senang dan bahagia karena aku bisa
bersamamu selama tiga tahun. Selama itu pula aku mencoba mengenal hatimu.
Ternyata semakin kukenal, semakin pula aku jatuh cinta pada hatimu, aku takut
jika suatu hari akan kehilangan hati seperti milikmu. Olokan teman-teman
semakin gencar saja. Tapi, kamu masih bisa bertahan dengan ejekan mereka. Aku
pikir, mereka hanya mengolok-olokku saja, ternyata juga kamu. Waktu itu, kamu
hendak ke perpustakaan di samping gedung Aliyah, teman-teman sedang berkumpul
di koridor depan kelas. Aku hanya mengamatimu dari jauh, akhlakmu kian tampan
saja. Tiba-tiba suara serak Indi memanggilmu,
“Rifki…Qayla
titip salam tuh.”, kamu hanya melihat sekilas, aku menahan degup jantung yang
tidak beraturan dibalik gorden jendela kelas kita. Tuhan..aku malu pada Rifki.
Kupikir akan ada reaksi negatif darimu, ternyata kamu hanya diam dan terus mengatur
langkah menuju kearah perpustakaan kampus kita. Rifki..kamu terlalu dingin.
Penghujung
kelas tiga…
Kita
mulai konsentrasi untuk belajar ujian akhir sekolah dan dayah. Aku sibuk dan
kamu juga sangat sibuk. Tapi, akhir-akhir ini aku gelisah, entah apa yang aku
risaukan. Mungkin karena hatiku sangat takut kehilangan hatimu. Entahlah… aku
masih menyimpan perasaanku. Tidak ada yang tahu selain aku dan Tuhan.
Malam
perpisahan aku lewati dengan kesan yang mendalam, namun tidak ada kesan khusus
darimu. Tak ada signal yang mampu kutangkap walaupun untuk terakhir kalinya aku
berjumpa denganmu. Engkau masih menatapku seperti dulu, sekilas lalu
menunduk…padahal aku ingin berteriak,
“Rifki…katakan
sesuatu!!”
Tapi
aku tidak mampu. Kubiarkan saja waktu yang akan menjawab semua itu. Hingga
akhirnya kita sama-sama meninggalkan Aceh, kamu mendapat beasiswa Strata 1 ke
Thailand dan aku lulus undangan ke Yogyakarta. Jarak membentang jauh antara kita,
melewati lautan. Dan aku hanya mampu menyerahkan semuanya pada Tuhan, jika kita
memang sehati maka Tuhan akan menyatukan kita kembali dalam satu cawan cintaNya
yang agung. Aku percaya akan janji Tuhan.
Nun
jauh di kota pelajar, aku mencoba belajar sesibuk mungkin. Ikut terjun dalam
kesibukan organisasi di kampus, dan kucoba lumpuhkan perasaan ku terhadap masa
lalu antara kita. Kucoba menghibur diri dengan berpertualang ke dunia maya,
hingga akhirnya kutemukan satu “Email tersesat” dalam inbox milikku..
>>Ass.
Qayla.. met ulang tahun ke 22 ya. Maaf kalo’ selama ini gak hubungin
Qayla.(Rifki)
Air
mata meleleh pelan dari mataku, langsung aku bersujud syukur di lantai kamar.
Tuhan menjawab doa yang kupanjat ketika mata-mata lelah manusia terkatup kuat
dan lelap dalam selimut malam yang dingin dan senyap, dalam embun-embun pagi
yang turun dari langit tujuhNya. Ku reply cepat Email darimu sambil kucoba
bayangkan kamu saat itu.
>>Wss.
Makasi rifki, masih ingat hari istimewanya Qayla. Senang akhirnya bisa ketemu
sama rifki lagi. Kapan kita bisa chatting?
Kuberanikan
diri untuk lebih agresif, seperti Tia katakan kalau kamu tidak akan pernah
berubah. Getaran itu semakin dahsyat menguasaiku. Tapi kurasa, kamu mulai
sedikit berubah.
Kita
chatting dua hari selanjutnya, aku tidak dapat menggambarkan suasana hatiku
saat itu. Dengan agak malu aku menanyakan,
>>Rifki
kok gak marah waktu temen-temen ngejek kita dulu?
>>Ngapain
marah. Bukan Rifki kok yang capek
>>Berarti
senang donk.. B-p
>>Gak
juga. Biasa saja
Sikapmu
masih juga sama. Cuek dan tak terlalu peduli.
>>Emmm…Rifki
gak suka sama Qayla ya?
Agak
lama kamu me-reply nya. Aku tak sabar. Menyinggungmu kah??
>>Afwan,
tadi dhuha dulu. Siapa yang gak suka sama Qayla??
Ya
tuhan…itukah jawaban untukku? Jebolan air bah membuncah dari mataku. Aku sudah
cukup bahagia dengan kabar itu.
>>Pulang
ke Aceh yuk. Ntar ketemu di Mesjid Raya Baiturrahman saja, gimana? Maukan?? J
>>Insya
Allah 24 ini Qayla sampai.
>>Yupz,
Rifki akan pulang lebih cepat.
Dengan
hati yang penuh harapan, aku kembali ke Aceh. Tujuanku hanya ingin menemuimu.
Aku malu mengakui pada Tia, namun akhirnya kuceritakan juga yang sebenarnya dan
kuharap ia bisa menemaniku sewaktu bertemu denganmu.
“
Yang suka sama Rifki kan, Qayla?. Jadi
perginya sendiri aja yah..”
“
Qayla gak berani. Qayla malu sama Rifky !”, aku merengek padanya.
Akhirnya
anggukan kepala Tia cukup menjadi jawaban yang sangat menggembirakan untukku.
Seperti janji, aku menunggumu di teras mesjid. Agak lama aku mencarimu karena
belum muncul-muncul juga. Dari arah dalam mesjid, kamu datang. Aku mencoba
untuk mengendalikan suara hatiku yang bergejolak. Inikah Rifky yang selama ini
telah menawan hatiku? Yang selalu hadir dalam doa di setiap usai shalatku? Ia
memberi salam.
“
wa’alaikum salam!”, aku menjawabnya dengan sangat malu-malu.
“
Saya tahu, kalo udah ketemu setiap perempuan pasti malu-malu”, mukaku kian
merah seperti tomat ketika kamu mengatakan seperti itu. Hari itu kita bicara
banyak di teras mesjid. Aku ikut mencatat dalam perjalanan hidupku, 25 Desember,
pertama kalinya seorang Rifky duduk berbicara denganku, di tempat yang maha
mulia. Kemudian setelah itu, kamu pergi karena harus menyiapkan rapat untuk
besok, ada Mubes ORALEXISMUQ (Musyawarah Besar Organisasi Alumni dan Eks Santri
Madrasah Ulumul Qur’an). Banyak anggota dan ustadz-ustadz yang ikut
menghadirinya. Aku juga mohon diri. Untuk terakhir kalinya, kamu masih sempat
memberikan senyum untukku. Terima kasih, Rifky.
Malam
itu aku tersentak dari lena yang panjang. Entah apa yang terjadi, aku
mengkhawatirkan sesuatu akan terjadi padamu, karena aku tiba-tiba teringat
padamu ketika bangun. Tuhan, tolong jaga Rifky,,pintaku pelan dalam doa
tahajudku.
Minggu
pagi…
Tiba-tiba
semua bergoncang. Aku berzikir dalam hati, memohon pertolongan pada yang Esa.
Padahal saat itu, aku sedang bersiap-siap hendak menghadiri acara ORALEXISMUQ.
Goncangan itu semakin dahsyat. Hingga aku tak sempat memikirkanmu, aku sibuk
berzikir. Tak lama kemudian, terdengan suara ribut orang-orang yang mengatakan
bahwa air laut mulai naik dan aku juga ikut berlari bersama mereka. Ini mungkin
akhir cerita di dunia. it’s the real kiamat.
Aku
tidak sanggup menceritakan secara detail padamu. Yang aku tahu, semua bangunan
roboh, banjir dengan air hitam yang setinggi pohon kelapa, menghanyutkan
semuanya. Ibu terpisah dari anak, suami dari istrinya, keluarga dari
saudara-saudaranya. Aceh berduka kala itu, berpuluh ribu orang ikut tenggelam
bersama ie beuna, Tsunami melanda.
Aku juga ikut mencatat dalam buku harianku, tidak ! bukan hanya aku, tapi dunia
mencatat dalam peradabannya, Aceh menangis pilu saat itu.
Rifky,
aku tidak tahu kamu dimana. Kucoba menghubungi lewat ponsel, tak ada jaringan.
Teman-teman tak ada yang tahu. Tahajudku sedikit membantu memberi ketenangan.
Kucoba untuk tilawah, namun fikiranku hampa dan melayang entah kemana. Hingga
kabar keesokan harinya mengejutkanku, menghentikan kerja organ dalam tubuhku,
kamu meninggal saat ikut berlari bersama teman-teman yang sedang mempersiapkan
acara Mubes. Duniaku berputar, tak kutemukan lagi pijakan. Rifky, secepat itu ?
padahal kita sudah berjanji selesai rapat ORALEXISMUQ, kita akan membicarakan
tentang rancangan masa depan kita. Tapi, sekarang.. semua hancur cuma beberapa
saat setelah Allah menunjukkan kuasanya yang agung.
Meskipun
demikian, aku mencari jasadmu diantara ribuan mayat yang lain, diantara puing
reruntuhan yang tak bernama lagi. Tapi, nihil. Kamu bagai ditelan bumi. Aku
lelah dan tidak menemukan apa-apa. Aku ridhai kepergianmu, tapi tak bisakah aku
melihatmu untuk keterakhir kalinya? Sebelum kita berpisah untuk selama-lamanya?
Beberapa teman yang mencarimu juga tidak mendapatimu. Aku semakin putus asa.
Rifky, semua kehilanganmu. Ibumu menangis kehilangan pelita hidupnya, ayahmu
berduka kehilangan tonggak harapan, dua adikmu lebih-lebih lagi, mereka seakan
kehilangan separuh hidup mereka dan aku, separuh hatiku telah kau bawa pergi
dan aku hidup saat ini dengan setengah hatiku lagi.
Dalam
temaram lampu tengah malam, kadang aku berpikir. Kenapa kita ditemukan kembali
setelah lama dipisahkan, toh
ujung-ujungnya dipisahkan juga. Tapi, aku harus yakin bahwa ada rahasia
tuhan untukku dan untukmu. Meskipun demikian, aku belum mampu menutup kisah
kita. Terlalu banyak cerita dan ketika aku mencoba melupakannya sangat sulit
dan akhirnya kuputuskan untuk kembali ke Yogyakarta dan tidak akan pernah
kembali lagi ke Aceh karena trauma kehilanganmu. Kusibukkan diriku dengan
banyak kegiatan, tak kupedulikan stamina yang kurang fit. Pokoknya aku tidak
boleh duduk karena tanpa sadar bayangan tentangmu akan terselip diantara
khayalku dan akan membuatku sesenggukan menangis. Walaupun demikian, harus
kuakui bahwa aku selalu menangis saat mendoakanmu.
Hingga
suatu hari sebuah proposal datang kepadaku. Ada ikhwan ingin mengkhitbahku. Aku
meminta waktu yang cukup lama untuk mempertimbangkannya. Lalu kucoba untuk
konsultasi pada guru ngajiku, Ustazah Raihana. Aku sempat terkejut mendengar
jawabannya, “Qayla, menikahlah. Kau harus menyadarinya bahwa Rifky dan kamu
sekarang berada di alam yang berbeda. Mustahil akan bersatu dan kamu juga harus
melanjutkan hidupmu”, tepukan lembut di bahuku sedikit menyadarkanku bahwa
keadaannya memang telah berbeda. Ya, aku harus membulatkan sebagian purnamaku
yang belum penuh, menggenapkan separuh dienku lagi.
***
“
Mama.. yuk !. papa dah nunggu tuh !”, tarikan Rayyan dan Zayyan membuyarkan
semuanya. Lakon cerita di masa lalu terurai entah kemana.
“
Mama, ayuk..!”.
Aku
memalingkan wajahku ke arah mesjid. Jantungku seketika berdetak lebih kencang,
bola mataku membulat. Rifky !!!. kukedipkan mata berkali-kali, tak percaya
dengan penglihatanku sendiri. Oh tuhan, suamiku. Ia duduk di tempat Rifky duduk
saat itu. Entah hanya kebetulan atau memang rencana Tuhan, wajah mas Fikry dan
Rifky memang sangat mirip. Persis bahkan, seperti kembar identik, begitu juga
dengan namanya. Ini adalah sebagian kecil dari keajaiban Tuhan menurutku.
Kusunggingkan
senyum pada dua jundiku,
“
Ayuk…!!!”, ajakku sambil berjalan menuju teras mesjid. Senyuman khas mas Fikry
menyambutku, kulepaskan Rayyan dan Zayyan untuk terus bermain.
“
Kenapa dek? Inget Rifky lagi?”, pertanyaan mas Fikry mengejutkanku, aku
mengangguk pelan. Tetesan bening mengalir perlahan dari mataku.
“
Ya udah, sini…!!”, ia menarikku dalam rengkuhnya. Betapa damai, semoga Rifky
juga merasakan kedamaian yang sama.
***
Punteuet, 19 juni 2007
Aku
dedikasi untuk kak Dian dan bang Razy yang sudah pergi. Semoga arwahnya tenang
disisi rabb yang agung. Amien ya Allah..

