Rabu, 18 April 2012

Sepotong Kisah yang Tertinggal


Hembusan angin sepoi membelai lembut jilbab biruku. Aku merapikannya kembali. Sepasang jundi kembarku, zayyan dan rayyan sedang bermain didekat kolam ikan dengan papanya sambil sekali-sekali dilemparkannya umpan ke kolam. Aku hanya tersenyum melihat mereka berteriak gembira ketika ikan-ikan itu menyerbu berebutan makanan.
Ah… ternyata waktu begitu cepat berlalu, jundiku saja sudah tiga tahun setengah. Berarti, kepergianmu sudah berjalan tujuh tahun dan sejak saat itu aku tidak pernah menginjakkan kakiku di Tanah Rencong ini karena aku tidak ingin mengingatmu dan takut luka lama kehilanganmu semakin menganga. Aku kembali ke Yogyakarta karena kurasa itu lebih baik bagi diriku.
Kenangan tentang kita di Langsa dulu masih terekam bagus dalam flashdisk di brainku dan semua kebersamaan kita tercatat dalam buku harianku yang kusimpan rapi digudang rumah ibu dikampung. Dan saat ini, kenangan ini terus menari diruang imajinasiku, aku seakan berjalan dilabirin masa lalu.

***

Aku menyukaimu karena kamu shaleh dan pintar. Setiap memberikan pertanyaan selalu berlandaskan hadist Rasulullah, berbeda lagi dengan Najib dan Imam yang mengajukan pertanyaan berdasarkan Tafsir dan Hikayat. Aku tidak tahu kapan rasa itu dapat muncul, mungkin karena kebersamaan kita dalam satu kelas. Tapi, perasaan sukaku tidak pernah kuungkapkan di depan teman-teman. Aku tetap menjaga marwahmu di depan semua.  Hal itu kusimpan rapat dalam hatiku.
Pernah suatu hari Tia menanyakan perasaanku terhadapmu,
“Qayla suka sama Rifki kan?”, tebaknya asal
“Enggak.. Qayla gak suka kok. Cuma temen aja”, aku mengelak sambil berusaha menyembunyikan rona wajahku yang kian semerah tomat.
“Jujur aja deh..”, ia menudingkan telunjuk kanannya ke mukaku. Sebuah pertanyaan yang sangat menggoda.
“Udah ah. Qayla gak suka diejek sama Rifki, Qayla bakal marah ne..”, itu senjata terakhirku untuk hari ini. Walaupun keesokan harinya mereka kembali mengolok-olok aku dan kamu.
Hari-hari kita lewati dalam satu kelas. Rasanya senang dan bahagia karena aku bisa bersamamu selama tiga tahun. Selama itu pula aku mencoba mengenal hatimu. Ternyata semakin kukenal, semakin pula aku jatuh cinta pada hatimu, aku takut jika suatu hari akan kehilangan hati seperti milikmu. Olokan teman-teman semakin gencar saja. Tapi, kamu masih bisa bertahan dengan ejekan mereka. Aku pikir, mereka hanya mengolok-olokku saja, ternyata juga kamu. Waktu itu, kamu hendak ke perpustakaan di samping gedung Aliyah, teman-teman sedang berkumpul di koridor depan kelas. Aku hanya mengamatimu dari jauh, akhlakmu kian tampan saja. Tiba-tiba suara serak Indi memanggilmu,
“Rifki…Qayla titip salam tuh.”, kamu hanya melihat sekilas, aku menahan degup jantung yang tidak beraturan dibalik gorden jendela kelas kita. Tuhan..aku malu pada Rifki. Kupikir akan ada reaksi negatif darimu, ternyata kamu hanya diam dan terus mengatur langkah menuju kearah perpustakaan kampus kita. Rifki..kamu terlalu dingin.
Penghujung kelas tiga…
Kita mulai konsentrasi untuk belajar ujian akhir sekolah dan dayah. Aku sibuk dan kamu juga sangat sibuk. Tapi, akhir-akhir ini aku gelisah, entah apa yang aku risaukan. Mungkin karena hatiku sangat takut kehilangan hatimu. Entahlah… aku masih menyimpan perasaanku. Tidak ada yang tahu selain aku dan Tuhan.
Malam perpisahan aku lewati dengan kesan yang mendalam, namun tidak ada kesan khusus darimu. Tak ada signal yang mampu kutangkap walaupun untuk terakhir kalinya aku berjumpa denganmu. Engkau masih menatapku seperti dulu, sekilas lalu menunduk…padahal aku ingin berteriak,
“Rifki…katakan sesuatu!!”
Tapi aku tidak mampu. Kubiarkan saja waktu yang akan menjawab semua itu. Hingga akhirnya kita sama-sama meninggalkan Aceh, kamu mendapat beasiswa Strata 1 ke Thailand dan aku lulus undangan ke Yogyakarta. Jarak membentang jauh antara kita, melewati lautan. Dan aku hanya mampu menyerahkan semuanya pada Tuhan, jika kita memang sehati maka Tuhan akan menyatukan kita kembali dalam satu cawan cintaNya yang agung. Aku percaya akan janji Tuhan.
Nun jauh di kota pelajar, aku mencoba belajar sesibuk mungkin. Ikut terjun dalam kesibukan organisasi di kampus, dan kucoba lumpuhkan perasaan ku terhadap masa lalu antara kita. Kucoba menghibur diri dengan berpertualang ke dunia maya, hingga akhirnya kutemukan satu “Email tersesat” dalam inbox milikku..

>>Ass. Qayla.. met ulang tahun ke 22 ya. Maaf kalo’ selama ini gak hubungin Qayla.(Rifki)

Air mata meleleh pelan dari mataku, langsung aku bersujud syukur di lantai kamar. Tuhan menjawab doa yang kupanjat ketika mata-mata lelah manusia terkatup kuat dan lelap dalam selimut malam yang dingin dan senyap, dalam embun-embun pagi yang turun dari langit tujuhNya. Ku reply cepat Email darimu sambil kucoba bayangkan kamu saat itu.

>>Wss. Makasi rifki, masih ingat hari istimewanya Qayla. Senang akhirnya bisa ketemu sama rifki lagi. Kapan kita bisa chatting?

Kuberanikan diri untuk lebih agresif, seperti Tia katakan kalau kamu tidak akan pernah berubah. Getaran itu semakin dahsyat menguasaiku. Tapi kurasa, kamu mulai sedikit berubah.
Kita chatting dua hari selanjutnya, aku tidak dapat menggambarkan suasana hatiku saat itu. Dengan agak malu aku menanyakan,

>>Rifki kok gak marah waktu temen-temen ngejek kita dulu?
>>Ngapain marah. Bukan Rifki kok yang capek
>>Berarti senang donk.. B-p
>>Gak juga. Biasa saja
Sikapmu masih juga sama. Cuek dan tak terlalu peduli.
>>Emmm…Rifki gak suka sama Qayla ya?
Agak lama kamu me-reply nya. Aku tak sabar. Menyinggungmu kah??
>>Afwan, tadi dhuha dulu. Siapa yang gak suka sama Qayla??
Ya tuhan…itukah jawaban untukku? Jebolan air bah membuncah dari mataku. Aku sudah cukup bahagia dengan kabar itu.
>>Pulang ke Aceh yuk. Ntar ketemu di Mesjid Raya Baiturrahman saja, gimana? Maukan?? J
>>Insya Allah 24 ini Qayla sampai.
>>Yupz, Rifki akan pulang lebih cepat.

Dengan hati yang penuh harapan, aku kembali ke Aceh. Tujuanku hanya ingin menemuimu. Aku malu mengakui pada Tia, namun akhirnya kuceritakan juga yang sebenarnya dan kuharap ia bisa menemaniku sewaktu bertemu denganmu.
“ Yang suka sama Rifki kan, Qayla?.  Jadi perginya sendiri aja yah..”
“ Qayla gak berani. Qayla malu sama Rifky !”, aku merengek padanya.
Akhirnya anggukan kepala Tia cukup menjadi jawaban yang sangat menggembirakan untukku. Seperti janji, aku menunggumu di teras mesjid. Agak lama aku mencarimu karena belum muncul-muncul juga. Dari arah dalam mesjid, kamu datang. Aku mencoba untuk mengendalikan suara hatiku yang bergejolak. Inikah Rifky yang selama ini telah menawan hatiku? Yang selalu hadir dalam doa di setiap usai shalatku? Ia memberi salam.
“ wa’alaikum salam!”, aku menjawabnya dengan sangat malu-malu.
“ Saya tahu, kalo udah ketemu setiap perempuan pasti malu-malu”, mukaku kian merah seperti tomat ketika kamu mengatakan seperti itu. Hari itu kita bicara banyak di teras mesjid. Aku ikut mencatat dalam perjalanan hidupku, 25 Desember, pertama kalinya seorang Rifky duduk berbicara denganku, di tempat yang maha mulia. Kemudian setelah itu, kamu pergi karena harus menyiapkan rapat untuk besok, ada Mubes ORALEXISMUQ (Musyawarah Besar Organisasi Alumni dan Eks Santri Madrasah Ulumul Qur’an). Banyak anggota dan ustadz-ustadz yang ikut menghadirinya. Aku juga mohon diri. Untuk terakhir kalinya, kamu masih sempat memberikan senyum untukku. Terima kasih, Rifky.
Malam itu aku tersentak dari lena yang panjang. Entah apa yang terjadi, aku mengkhawatirkan sesuatu akan terjadi padamu, karena aku tiba-tiba teringat padamu ketika bangun. Tuhan, tolong jaga Rifky,,pintaku pelan dalam doa tahajudku.
Minggu pagi…
Tiba-tiba semua bergoncang. Aku berzikir dalam hati, memohon pertolongan pada yang Esa. Padahal saat itu, aku sedang bersiap-siap hendak menghadiri acara ORALEXISMUQ. Goncangan itu semakin dahsyat. Hingga aku tak sempat memikirkanmu, aku sibuk berzikir. Tak lama kemudian, terdengan suara ribut orang-orang yang mengatakan bahwa air laut mulai naik dan aku juga ikut berlari bersama mereka. Ini mungkin akhir cerita di dunia. it’s the real kiamat.
Aku tidak sanggup menceritakan secara detail padamu. Yang aku tahu, semua bangunan roboh, banjir dengan air hitam yang setinggi pohon kelapa, menghanyutkan semuanya. Ibu terpisah dari anak, suami dari istrinya, keluarga dari saudara-saudaranya. Aceh berduka kala itu, berpuluh ribu orang ikut tenggelam bersama ie beuna, Tsunami melanda. Aku juga ikut mencatat dalam buku harianku, tidak ! bukan hanya aku, tapi dunia mencatat dalam peradabannya, Aceh menangis pilu saat itu.
Rifky, aku tidak tahu kamu dimana. Kucoba menghubungi lewat ponsel, tak ada jaringan. Teman-teman tak ada yang tahu. Tahajudku sedikit membantu memberi ketenangan. Kucoba untuk tilawah, namun fikiranku hampa dan melayang entah kemana. Hingga kabar keesokan harinya mengejutkanku, menghentikan kerja organ dalam tubuhku, kamu meninggal saat ikut berlari bersama teman-teman yang sedang mempersiapkan acara Mubes. Duniaku berputar, tak kutemukan lagi pijakan. Rifky, secepat itu ? padahal kita sudah berjanji selesai rapat ORALEXISMUQ, kita akan membicarakan tentang rancangan masa depan kita. Tapi, sekarang.. semua hancur cuma beberapa saat setelah Allah menunjukkan kuasanya yang agung.
Meskipun demikian, aku mencari jasadmu diantara ribuan mayat yang lain, diantara puing reruntuhan yang tak bernama lagi. Tapi, nihil. Kamu bagai ditelan bumi. Aku lelah dan tidak menemukan apa-apa. Aku ridhai kepergianmu, tapi tak bisakah aku melihatmu untuk keterakhir kalinya? Sebelum kita berpisah untuk selama-lamanya? Beberapa teman yang mencarimu juga tidak mendapatimu. Aku semakin putus asa. Rifky, semua kehilanganmu. Ibumu menangis kehilangan pelita hidupnya, ayahmu berduka kehilangan tonggak harapan, dua adikmu lebih-lebih lagi, mereka seakan kehilangan separuh hidup mereka dan aku, separuh hatiku telah kau bawa pergi dan aku hidup saat ini dengan setengah hatiku lagi.
Dalam temaram lampu tengah malam, kadang aku berpikir. Kenapa kita ditemukan kembali setelah lama dipisahkan, toh  ujung-ujungnya dipisahkan juga. Tapi, aku harus yakin bahwa ada rahasia tuhan untukku dan untukmu. Meskipun demikian, aku belum mampu menutup kisah kita. Terlalu banyak cerita dan ketika aku mencoba melupakannya sangat sulit dan akhirnya kuputuskan untuk kembali ke Yogyakarta dan tidak akan pernah kembali lagi ke Aceh karena trauma kehilanganmu. Kusibukkan diriku dengan banyak kegiatan, tak kupedulikan stamina yang kurang fit. Pokoknya aku tidak boleh duduk karena tanpa sadar bayangan tentangmu akan terselip diantara khayalku dan akan membuatku sesenggukan menangis. Walaupun demikian, harus kuakui bahwa aku selalu menangis saat mendoakanmu.
Hingga suatu hari sebuah proposal datang kepadaku. Ada ikhwan ingin mengkhitbahku. Aku meminta waktu yang cukup lama untuk mempertimbangkannya. Lalu kucoba untuk konsultasi pada guru ngajiku, Ustazah Raihana. Aku sempat terkejut mendengar jawabannya, “Qayla, menikahlah. Kau harus menyadarinya bahwa Rifky dan kamu sekarang berada di alam yang berbeda. Mustahil akan bersatu dan kamu juga harus melanjutkan hidupmu”, tepukan lembut di bahuku sedikit menyadarkanku bahwa keadaannya memang telah berbeda. Ya, aku harus membulatkan sebagian purnamaku yang belum penuh, menggenapkan separuh dienku lagi.

***

“ Mama.. yuk !. papa dah nunggu tuh !”, tarikan Rayyan dan Zayyan membuyarkan semuanya. Lakon cerita di masa lalu terurai entah kemana.
“ Mama, ayuk..!”.
Aku memalingkan wajahku ke arah mesjid. Jantungku seketika berdetak lebih kencang, bola mataku membulat. Rifky !!!. kukedipkan mata berkali-kali, tak percaya dengan penglihatanku sendiri. Oh tuhan, suamiku. Ia duduk di tempat Rifky duduk saat itu. Entah hanya kebetulan atau memang rencana Tuhan, wajah mas Fikry dan Rifky memang sangat mirip. Persis bahkan, seperti kembar identik, begitu juga dengan namanya. Ini adalah sebagian kecil dari keajaiban Tuhan menurutku.
Kusunggingkan senyum pada dua jundiku,
“ Ayuk…!!!”, ajakku sambil berjalan menuju teras mesjid. Senyuman khas mas Fikry menyambutku, kulepaskan Rayyan dan Zayyan untuk terus bermain.
“ Kenapa dek? Inget Rifky lagi?”, pertanyaan mas Fikry mengejutkanku, aku mengangguk pelan. Tetesan bening mengalir perlahan dari mataku.
“ Ya udah, sini…!!”, ia menarikku dalam rengkuhnya. Betapa damai, semoga Rifky juga merasakan kedamaian yang sama.

***
Punteuet, 19 juni 2007
Aku dedikasi untuk kak Dian dan bang Razy yang sudah pergi. Semoga arwahnya tenang disisi rabb yang agung. Amien ya Allah..

Quote

Quote

Total Pageviews